Bab 68Ketidakpuasan SuamiMega masih dibingungkan oleh Saleh yang sikapnya menjadi dingin akhir-akhir ini. Wanita itu juga kesulitan untuk mengajak bicara suaminya meski sedang dalam keadaan senggang atau santai. Semakin lama, Mega merasa bahwa ada jarak diantara mereka. Jika semua itu berawal dari kelalaiannya yang sampai melewatkan masak makan malam bagi suaminya, dia siap untuk meminta maaf meski sudah dijelaskan alasannya berkali-kali."Mas, kamu ini kenapa, sih?" Sudah dua hari sejak kepulangan Saleh yang mengabaikannya. Mega tidak bisa menahan lagi jika didiamkan seperti ini terus. "Kalau ada masalah, seharusnya kita bicarakan itu baik-baik. Kita sepakat, 'kan, untuk sering berdiskusi kalau sedang terjadi masalah? Udah 2 hari, loh, kamu diemin aku. Siapapun pasti bakalan merasa aneh dan nggak nyaman kalau berada di posisiku." Mega berkata dengan nada penuh pengertian, berhati-hati dalam memprotes. "Kamunya aja yang sensian." Hanya satu kalimat itu yang terlontar dari mulut Sa
Bab 69Suami yang SensitifPov MegaAku sudah kehilangan semangat sejak dua hari yang lalu. Mas Saleh tidak kunjung bersikap hangat kepadaku. Dia terus saja menghindar dariku, entah saat aku tidak sengaja berpapasan dengannya di rumah, atau saat aku sengaja mengajak bicara dengannya lebih dulu. Rasanya ingin menyerah dalam usaha mengajak berdamai. Mas Saleh tidak pernah marah selama ini, apa lagi sampai mengabaikanku. Hari ini adalah weekend, biasanya Mas Saleh akan mengajak kami jalan-jalan. Sebenarnya juga aku masih ada kerjaan di toko, hanya saja untuk berjaga-jaga kalau dia akan bersedia damai, aku meminta Hilda yang meng-handle-nya lebih dulu. Mungkin nanti, agak sorean aku akan ke toko.Pagi kami seperti biasanya, sarapan bersama. Bedanya adalah tidak seceria dan seramai dulu. Jujur saja, aku merasa kesepian dengan Mas Saleh yang begini. “Mas—“ Lihat? Baru saja aku mengeluarkan satu kata, dia sudah bergegas mau pergi. Nasi goreng spesial pagi ini hanya dia makan empat sendo
Bab 70Keakraban yang CanggungAku bertemu dengan Mbak Desi saat sedang menunggu angkutan umum. Dia terlihat berbeda dari biasanya. Maksudku adalah dandanannya tidak seheboh dulu, atau aku yang salah lihat? “Hai, Mega.” Dia tersenyum padaku, jenis senyuman yang juga sangat berbeda dari yang dulu-dulu. Kalau sebelumnya selalu terlihat angkuh dan merendahkan, sekarang kesan itu sudah hilang.“Mbak Desi, ada apa? Mbak mau ke mana?” tanyaku tak lupa juga melepar senyum padanya. “Mau nemuin kamu, Ga. Tapi, tadi aku nggak sengaja lihat kamu, jadi sekalian sapa aja. Eh, tapi kamu mau ke mana?” Siapa pun yang tahu tentang siapa Mbak Desi dan bagaimana sikapnya padaku, pasti akan merasakan apa yang kurasakan saat ini. Aku seperti sedang berbicara dengan orang yang beda, bukan Mbak Desi yang selama ini aku kenal. Bukan maksudku tidak suka, malah sebaliknya. Aku sangat bersyukur kalau dia mau berubah. Itu artinya Mas Mamat berhasil mendidik istrinya dengan baik. Semoga saja kali ini Mbak
Bab 71Masih BerjarakSetelah aku pulang, rupanya Mas Saleh belum ada di rumah, pesanku juga tidak kunjung dia balas. Akhir-akhir ini, selain dia mengabaikanku secara langsung, Mas Saleh juga selalu mengabaikan pesan atau telepon dariku. Mungkin saja dia sibuk, tetapi apakah tidak ada sedikitpun waktu untuk sekedar mengetikkan beberapa kalimat untuk dia kirimkan kepadaku?Aku tidak ingin kembali mencurigainya, tetapi siapa yang bisa tenang ketika suami sendiri mulai tak acuh dan menjaga jarak?Saat aku sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak untuk makan malam, ponselku yang berada di atas meja berdering. Kupikir itu berasal dari Mas Saleh, tetapi ternyata si penelepon adalah Mbak Desi."Waalaikumsalam, Mbak." Aku menjawab salamnya."Kamu udah ada di rumah atau masih di toko?" "Aku lagi di rumah, Mbak. Memangnya kenapa?""Lagi sama Saleh nggak?"Aku heran karena mendadak Mbak Desi menanyakan suamiku. "Mas Saleh belum pulang, Mbak.""Apa kamu tahu dia ada di mana sekarang?"S
Bab 72Obrolan SensitifAku berhenti berlari saat Tante Feby menggendong Kevin. “Aduh, Sayang … ini kaki kamu luka. Di mana ibu kamu, Kevin?”Dari jarak kurang lebih 5 meter aku masih bisa mendengar suaranya di tengah hiruk pikuk ramainya taman bermain. “Tante,” panggilku saat sudah tepat berada di depannya. Tante Feby yang sedang berjongkok sambil memeluk anakku pun mendongak tanpa melepas pelukannya. “Mega, kamu ini ke mana aja? Lihat, Kevin nangis karena jatuh dan kakinya lecet.” Tanpa perlu dijelaskan pun aku sudah tahu, dan tanpa menjawab ucapannya, aku menarik pelan Kevin dari pelukannya. Segera kugendong dia yang masih terisak. “Maaf, Sayang. Kita cari tempat duduk dulu, yuk?” kataku menenangkannya. Bangku yang tadi aku duduki sudah ditempati orang lain, jadilah perlu berjalan beberapa saat untuk menemukan tempat yang sedikit lebih tenang. Namun, bukannya langsung berpamitan, Tante Feby malah mengikutiku. Tentu saja awalnya risih, karena itulah aku merasa ada alasan di mana
Bab 73Kebaikan Tante FebyAku uring-uringan setelah melihat foto Mas Saleh yang candid. Mbak Desi bilang kalau dirinya tidak sengaja melihat suamiku saat baru pulang dari arisan. Foto itu diambil saat Mbak Desi naik angkot. [Aku kira kamu sama dia, Ga. Tapi, aku lihat dia sendirian.]Itu pesan yang dia tulis setelah mengirim foto itu. Panggilan kami berakhir dan memilih untuk melanjutkannya lewat chat saja.Ada banyak yang baku pikirkan setelah melihat foto itu. Pertama adalah aku kecewa karena Mas Saleh ternyata ada di tempat dan waktu yang sama denganku dan Kevin, tapi dia tidak mengabariku, apa lagi menghampiri kami. Kedua adalah ada kemungkinan Mas Saleh bertemu dengan Tante Feby. Ya, meskipun aku tahu kalau wanita itu datang bersama anak dan cucunya, sulit jika dibayangkan kalau mereka bertemu dengan sengaja. Pasti anak dan menantu Tante Feby bertanya-tanya tentang siapa Mas Saleh. Dia juga tidak mungkin sebodoh itu untuk memperkenalkan pria lain yang jauh dari usianya kepada
Bab 74Perekrutan Karyawan Namanya Retno, usianya 22 tahun. Tante Feby mengatakan bahwa gadis ini pernah bekerja di perusahaan anaknya. Dari informasi yang dia berikan, perusahaan itu bukan perusahaan yang sangat besar. Setahuku itu adalah perusahaan di bidang tekstil, masih termasuk rintisan, katanya.Sekarang Retno sedang berada di toko. Ada ruangan kecil di dalam toko, kami--aku dan Hilda menjadikannya ruang staff untuk sementara. Di sinilah kami berada. Tentu saja perlu adanya sesi interview untuk hal yang mendasar seperti pengenalan diri dan kinerjanya selama bekerja di tempat sebelumnya."Sebenarnya nggak banyak hal yang ingin kami tuntut dari kamu. Yang paling utama adalah ketekunan dan ramah tamah kepada pelanggan. Jangan lupa disiplin kerja." Aku memberitahunya setelah membaca CV Retno yang berada di tanganku. "Rajin-rajin saja beres barang-barang kalau toko lagi sepi atau pelanggan udah pada bubar. Ini buka jam 08.00 pagi sampai jam 04.00 sore. Tapi, rencananya jam buka ak
Bab 75Peralihan KepemilikanAku kesulitan berbicara karena saking terkejutnya mendengar ucapan Mas Saleh barusan. "Kenapa? Nggak mau?""Kamu ini bicara apa, sih, sebenernya? Tokoku, ya, sama aja tokomu, Mas. Kita yang punya bersama. Kenapa main kepemilikan segela, sih? Udah kayak perusahaan besar aja. Pergantian presdir, gitu?" Karena merasa lucu dengan ucapanku sendiri, jadilah kusambung dengan tawa."Beda, Dek. Kalau toko itu jadi milikku, aku bisa ngatur semuanya sesuka hatiku tanpa perlu persetujuanmu. Mau aku jadikan apa aja juga terserah padaku."Sama saja. Mas Saleh sama saja memintaku untuk melepas toko. “Mas—“ Lagi-lagi aku kesulitan untuk mengatakan sesuatu. Suamiku ini benar-benar tahu caranya membuatku kicep. "Kalau kamu ngerasa toko itu milik kita bersama, seharusnya nggak perlu pikir panjang buat nyerahin ke aku, dong, Dek?" Ya, seharusnya memang begitu. Tidak ada salahnya jika aku menyerahkan tokoku ke suami sendiri. Toh, pada akhirnya hasil dari penjualan juga masu