Bab 74Perekrutan Karyawan Namanya Retno, usianya 22 tahun. Tante Feby mengatakan bahwa gadis ini pernah bekerja di perusahaan anaknya. Dari informasi yang dia berikan, perusahaan itu bukan perusahaan yang sangat besar. Setahuku itu adalah perusahaan di bidang tekstil, masih termasuk rintisan, katanya.Sekarang Retno sedang berada di toko. Ada ruangan kecil di dalam toko, kami--aku dan Hilda menjadikannya ruang staff untuk sementara. Di sinilah kami berada. Tentu saja perlu adanya sesi interview untuk hal yang mendasar seperti pengenalan diri dan kinerjanya selama bekerja di tempat sebelumnya."Sebenarnya nggak banyak hal yang ingin kami tuntut dari kamu. Yang paling utama adalah ketekunan dan ramah tamah kepada pelanggan. Jangan lupa disiplin kerja." Aku memberitahunya setelah membaca CV Retno yang berada di tanganku. "Rajin-rajin saja beres barang-barang kalau toko lagi sepi atau pelanggan udah pada bubar. Ini buka jam 08.00 pagi sampai jam 04.00 sore. Tapi, rencananya jam buka ak
Bab 75Peralihan KepemilikanAku kesulitan berbicara karena saking terkejutnya mendengar ucapan Mas Saleh barusan. "Kenapa? Nggak mau?""Kamu ini bicara apa, sih, sebenernya? Tokoku, ya, sama aja tokomu, Mas. Kita yang punya bersama. Kenapa main kepemilikan segela, sih? Udah kayak perusahaan besar aja. Pergantian presdir, gitu?" Karena merasa lucu dengan ucapanku sendiri, jadilah kusambung dengan tawa."Beda, Dek. Kalau toko itu jadi milikku, aku bisa ngatur semuanya sesuka hatiku tanpa perlu persetujuanmu. Mau aku jadikan apa aja juga terserah padaku."Sama saja. Mas Saleh sama saja memintaku untuk melepas toko. “Mas—“ Lagi-lagi aku kesulitan untuk mengatakan sesuatu. Suamiku ini benar-benar tahu caranya membuatku kicep. "Kalau kamu ngerasa toko itu milik kita bersama, seharusnya nggak perlu pikir panjang buat nyerahin ke aku, dong, Dek?" Ya, seharusnya memang begitu. Tidak ada salahnya jika aku menyerahkan tokoku ke suami sendiri. Toh, pada akhirnya hasil dari penjualan juga masu
Bab 76Malam Bersama TantePov FebyTernyata seru juga membiarkan orangku masuk ke kehidupan Mega. Istri Saleh itu sebenarnya sangat baik—lebih terkesan naif dan polos, menurutku. Lagaknya saja yang sok pintar, padahal dia hanya wanita penurut yang sama sekali tidak bisa lepas dari suami.Aku akui dia sangat sabar, tetapi ketahuilah bahwa rasa sabar biasanya akan dimanfaatkan oleh orang lain untuk terus menyakiti diri kita. Sama halnya yang dilakukan Mega. Dia bersabar atas perlakukan Saleh yang jelas-jelas rela menjual diri demi uang. Berjuang demi kebaikan keluarga? Itu hanya omong kosong. Pada dasarnya, Saleh hanyalah lelaki mata duitan dan gila pengakuan.Lihat saja bagaimana sikap dia setelah tahu kalau usaha Mega, istrinya sendiri, maju dan mendapat banyak pujian dari teman, tetangga dan saudaranya. Apakah Saleh ikut bahagia? Tidak. Pria itu justru mengeluhkan semua yang perasaan irinya kepadaku.Apakah aku merasa keberatan? Tentu saja tidak. Justru senang karena sudah menjadi p
Bab 77Kemarahan yang Tak Kunjung HilangPov MegaSemalaman aku tidak bisa tidur karena menunggu kedatangan masalah yang bahkan sampai menjelang subuh pun dia tidak memunculkan batang hidungnya. Aku meneleponnya, tetapi tidak diangkat berikut juga dengan pesan-pesan beruntun yang terus aku kirim setiap 10 menit sekali. Rasanya semakin hari aku tidak tenang dengan gelagat Mas Saleh. Selain dia semakin dingin kepadaku, dia juga mulai bersikap seolah-olah tidak ada rumah untuk dia pulang. Maksudku adalah dia jadi seperti Bang Toyib. Sekarang sudah pukul 04.00 dini hari. Aku mau memutuskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti bersih-bersih sampai memasak dan baru selesai di jam 06.00 pagi. Saat itulah Mas Saleh pulang.Aku menyambutnya di depan pintu dengan tatapan penuh penilaian. "Kamu dari mana aja, Mas?" Sebuah pertanyaan umum yang biasa dilontarkan ketika mendapati seorang suami yang tidak pulang. "Kenapa sampai nggak pulang tadi malam tanda tanya kamu juga nggak angkat telep
Bab 78Panggilan yang DiabaikanPov AuthorHilda berteriak lantaran mendadak Mega tumbang di depannya. Dia meminta tolong kepada Retno agar membantunya mengangkat Mega. “Mbak Mega kenapa, Mbak?” Retno ikutan panik.“Nggak tahu. Dia tiba-tiba pingsan. Dari pagi emang udah kelihatan nggak sehat, sih.” Hilda mengalungkan tangan kanan Mega ke pundaknya, diikuti oleh Retno. Mereka membawa Mega ke ruang staff di mana ada sofa panjang di sana. Dia berusaha terus membangunkan teman sekaligus bosnya itu. “Mbak, bangun, Mbak!” serunya pelan sambil memijat lengan wanita itu.“Apa nggak sebaiknya kita bawa Mbak Mega ke rumah sakit atau klinik aja?” Hilda mengecek suhu tubuh Mega dengan menempelkan punggung tangan ke dahi wanita itu. Di sisi lain, Kevin yang sejak tadi memerhatikan dengan wajah polosnya mendadak menangis saat melihat sang ibu yang memejamkan mata.“Retno, kamu tenangin Kevin dulu, ya,” pinta Hilda merasa iba dengan situasi ini. Dia meraba saku rok panjang yang dikenakan Mega gu
Bab 79Sok Bekerja Keras, KatanyaPov MegaAku merasa badanku sakit semua, seakan-akan remuk karena habis terjun payung dan mendarat di bebatuan karang. Meskipun sejatinya aku tahu kalau jika benar-benar mengalaminya, aku sudah mati. Mendadak pikiranku sampai di sana. Pemikiran tentang apakah aku sudah mati?Seingatku, sebelumnya aku berada di toko dan sedang merapikan manekin bersama Hilda. Lalu, apa yang terjadi setelahnya?Aku membuka mata dengan berat dan saat itu cahaya lampu membuatku mengernyit.“Mega, kamu udah sadar?”Itu suara yang sangat aku kenali pemiliknya. Mas Mamat? Kenapa dia ada di sini?“Mas, aku panggilkan dokter aja, ya?”Dokter? Aku kenapa?Setelah beberapa saat, aku baru bisa melihat wajah Mas Mamat yang tampak cemas. Siluet Mbak Desi baru saja pergi.“Kamu nggak apa-apa, Ga?” tanyanya.“Mas, aku ada di mana?” Aku kesulitan untuk memikirkan apa yang terjadi padaku saat ini karena kepala seakan dihantam balok besi. “Rumah sakit,” jawab Mas Mamat. “Teman kamu bi
Bab 80Dipaksa Bercerai“Kamu kenapa, Mas? Kok, tiba-tiba ngomongnya bergitu?” Posisi berbaringku berubah jadi duduk bersandar, punggung yang menempel pada bantal, sementara Mas Saleh duduk di kursi yang tadinya ditempati Mas Mamat. “Salah kamu sendiri yang kerja nggak tahu waktu sampe pingsan segala. Apa yang kamu cari, sih? Apa uang dari hasil kerjaku nggak pernah cukup di matamu?”Dia mulai lagi. Rasanya tidak enak jika harus berdebat di rumah sakit. Bilik di sebelah kiriku masih ada pasien, orang tua yang sudah cukup renta. Kasihan jika suara kamu bisa mengganggunya. “Mas, jangan debat di sini, ya? Nggak baik. Kalau memang ada yang mau kamu keluhkan, tunggu kalau sampai kita pulang nanti.”“Apa bedanya nanti dan sekarang?”“Mas—“ Kepalaku seperti sudah tertutup kabut hingga sulit sekali bagiku untuk mengatakan sesuatu. “Begini, seharusnya aku yang marah karena kamu yang sulit buat dihubungi. Coba pikirkan sejak pagi sampai sore, kami susah banget menghubungi kamu.”“Kan aku uda
Bab 81Diantar Pulang Pria LainPov AuthorMega tidak menyangka kalau masalah ini sampai mempertaruhkan keberlangsungan kehidupan rumah tangga kakaknya. Memang, perihal masalah Desi yang sulit hamil keduanya sepakati untuk dirahasiakan dari orang tuanya. Desi adalah anak tunggal dari keluarga yang cukup berada. Wajar jika orang tua wanita itu sangat mendambakan sosok cucu lebih dari apa pun. Mega tidak dimungkiri juga merasa sangat terpukul mendengar berita itu. Pantas saja Mamat terlihat sayu, lelah dan sedih pagi ini. “Mbak Desi yang sabar, ya.” Dia merasa tidak berguna karena tidak ada yang bisa dia lakukan saat kakak iparnya menangis tersedu-sedu seperti ini. “Mega, aku nggak mau pisah sama kakak kamu,” ungkap Desi berterus terang di sela isak tangis yang tak kunjung reda. “Tapi, di sisi lain juga aku nggak bisa pura-pura bodoh. Aku tahu kalau Mas Mamat juga pingin punya anak. Dia sesayang itu sama Kevin karena dia sudah menganggapnya sebagai anak sendiri—aku … rasanya nggak b