Bab 78Panggilan yang DiabaikanPov AuthorHilda berteriak lantaran mendadak Mega tumbang di depannya. Dia meminta tolong kepada Retno agar membantunya mengangkat Mega. “Mbak Mega kenapa, Mbak?” Retno ikutan panik.“Nggak tahu. Dia tiba-tiba pingsan. Dari pagi emang udah kelihatan nggak sehat, sih.” Hilda mengalungkan tangan kanan Mega ke pundaknya, diikuti oleh Retno. Mereka membawa Mega ke ruang staff di mana ada sofa panjang di sana. Dia berusaha terus membangunkan teman sekaligus bosnya itu. “Mbak, bangun, Mbak!” serunya pelan sambil memijat lengan wanita itu.“Apa nggak sebaiknya kita bawa Mbak Mega ke rumah sakit atau klinik aja?” Hilda mengecek suhu tubuh Mega dengan menempelkan punggung tangan ke dahi wanita itu. Di sisi lain, Kevin yang sejak tadi memerhatikan dengan wajah polosnya mendadak menangis saat melihat sang ibu yang memejamkan mata.“Retno, kamu tenangin Kevin dulu, ya,” pinta Hilda merasa iba dengan situasi ini. Dia meraba saku rok panjang yang dikenakan Mega gu
Bab 79Sok Bekerja Keras, KatanyaPov MegaAku merasa badanku sakit semua, seakan-akan remuk karena habis terjun payung dan mendarat di bebatuan karang. Meskipun sejatinya aku tahu kalau jika benar-benar mengalaminya, aku sudah mati. Mendadak pikiranku sampai di sana. Pemikiran tentang apakah aku sudah mati?Seingatku, sebelumnya aku berada di toko dan sedang merapikan manekin bersama Hilda. Lalu, apa yang terjadi setelahnya?Aku membuka mata dengan berat dan saat itu cahaya lampu membuatku mengernyit.“Mega, kamu udah sadar?”Itu suara yang sangat aku kenali pemiliknya. Mas Mamat? Kenapa dia ada di sini?“Mas, aku panggilkan dokter aja, ya?”Dokter? Aku kenapa?Setelah beberapa saat, aku baru bisa melihat wajah Mas Mamat yang tampak cemas. Siluet Mbak Desi baru saja pergi.“Kamu nggak apa-apa, Ga?” tanyanya.“Mas, aku ada di mana?” Aku kesulitan untuk memikirkan apa yang terjadi padaku saat ini karena kepala seakan dihantam balok besi. “Rumah sakit,” jawab Mas Mamat. “Teman kamu bi
Bab 80Dipaksa Bercerai“Kamu kenapa, Mas? Kok, tiba-tiba ngomongnya bergitu?” Posisi berbaringku berubah jadi duduk bersandar, punggung yang menempel pada bantal, sementara Mas Saleh duduk di kursi yang tadinya ditempati Mas Mamat. “Salah kamu sendiri yang kerja nggak tahu waktu sampe pingsan segala. Apa yang kamu cari, sih? Apa uang dari hasil kerjaku nggak pernah cukup di matamu?”Dia mulai lagi. Rasanya tidak enak jika harus berdebat di rumah sakit. Bilik di sebelah kiriku masih ada pasien, orang tua yang sudah cukup renta. Kasihan jika suara kamu bisa mengganggunya. “Mas, jangan debat di sini, ya? Nggak baik. Kalau memang ada yang mau kamu keluhkan, tunggu kalau sampai kita pulang nanti.”“Apa bedanya nanti dan sekarang?”“Mas—“ Kepalaku seperti sudah tertutup kabut hingga sulit sekali bagiku untuk mengatakan sesuatu. “Begini, seharusnya aku yang marah karena kamu yang sulit buat dihubungi. Coba pikirkan sejak pagi sampai sore, kami susah banget menghubungi kamu.”“Kan aku uda
Bab 81Diantar Pulang Pria LainPov AuthorMega tidak menyangka kalau masalah ini sampai mempertaruhkan keberlangsungan kehidupan rumah tangga kakaknya. Memang, perihal masalah Desi yang sulit hamil keduanya sepakati untuk dirahasiakan dari orang tuanya. Desi adalah anak tunggal dari keluarga yang cukup berada. Wajar jika orang tua wanita itu sangat mendambakan sosok cucu lebih dari apa pun. Mega tidak dimungkiri juga merasa sangat terpukul mendengar berita itu. Pantas saja Mamat terlihat sayu, lelah dan sedih pagi ini. “Mbak Desi yang sabar, ya.” Dia merasa tidak berguna karena tidak ada yang bisa dia lakukan saat kakak iparnya menangis tersedu-sedu seperti ini. “Mega, aku nggak mau pisah sama kakak kamu,” ungkap Desi berterus terang di sela isak tangis yang tak kunjung reda. “Tapi, di sisi lain juga aku nggak bisa pura-pura bodoh. Aku tahu kalau Mas Mamat juga pingin punya anak. Dia sesayang itu sama Kevin karena dia sudah menganggapnya sebagai anak sendiri—aku … rasanya nggak b
Bab 82Cemburu atau DengkiPov MegaAku keluar dari mobil dibantu oleh Hilda, sementara sepupunya membukakan pintu untukku. “Makasih banyak, ya, buat kalian.” Rasanya benar-benar terharu dengan kebaikan mereka. Hilda yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri selalu ada untukku dan bisa diandalkan, bahkan saat tidak ada orang lain yang menemaniku.“Iya, Mbak. Nggak perlu sungkan,” kata Hilda dengan senyum manis andalannya. “Kita ini sodara, saling membantu udah jadi kewajiban satu sama lain.” Aku sempat terkejut saat sepupu Hilda terlihat cukup akrab dengan Kevin. Biasanya anak itu akan butuh waktu buat menyesuaikan diri dengan orang lain, tetapi saat bersama lelaki itu dia terlihat nyaman.Kevin masih duduk manis di kursi mobil saat aku dan yang lain sudah turun, tiba-tiba Kevin mengulurkan tangan pada Ari, gelagat kalau dia minta digendong. Karena merasa tidak enak, aku menegurnya, “Kevin, jangan ngerepotin Om Ari, ya, Nak.” Dia sudah cukup banyak membantuku. Meski memang karena
Bab 83Si Mulut PedasPov AuthorSudut bibir Hilda berkedut. Dia melirik Mega yang masih terdiam, agaknya wanita itu terguncang, kaget, syok, atau sejenisnya. Sementara kakak sepupunya yang terhormat tampak tidak menunjukkan ekspresi bersalah sama sekali. Lelaki beralis tebal itu justru masih asyik meladeni Kevin--Hilda sendiri tidak tahu sejak kapan saudaranya itu bisa akrab dengan anak kecil--yang terua merengek karena ban mobil mainannya lepas. "A-anu, Mbak. Maksud Mas Ari bukan--""Udah jelas waktu kamu jelasin kalau suaminya sibuk kerja." Perkataan itu ditujukan kepada Hilda, tetapi fokus matanya masih sibuk pada mobil mainan Kevin. Tangannya dengan ulet membenarkan letak ban yang tadi lepas. "Seharusnya waktu mau pulang dari rumah sakit juga dia ada di samping istrinya.""Mas!" tegur Hilda, antara gemas dan kesal karena mulut lelaki itu tidak bida direm."Saya bilang begini bukan karena nggak ada suami Mbak Mega." Dia mengabaikan adiknya dan beralih menatap Mega. "Kalau Mbak b
Bab 84Menolak GratisanPov Author "Maksudmu?" Hilda terkekeh kecil. "Mungkin karena faktor usia kali, ya? Aku jadi sering lupa belakangan ini. Lebih ke cerebih juga, sih, Mbak."Mega masih belum bisa paham. "Gimana? Pelupa?"Hilda menegakkan punggung, bersiap menjelaskan. "Jadi gini, Mbak. Kemarin aku jadi sering lupa ngitung jumlah uang di kasir. Pertama waktu masih pagi, aku cek karena kemarin sorenya pas Mbak Mega pingsan aku nggak ngecek. Nah, sekalian juga buat survei soal produk baru kemarin. Uang yang udah aku hitung sekian jumlahnya, tapi pas mau aku masukkan lagi ke data, karena sempat aku tingg karena ada pelanggan yang manggil, pas balik lagi malah hitungan tadi berkurang." Hilda menghela panjang. "Aku bingung. Nggak mungkin ada tuyul, 'kan? Jadi kayaknya emang aku yang nggak fokus, jadi pelupa atau sejenisnya." Dia menyentuh dahi sendiri. Mega tampak tidak setuju, tetapi dia juga bingung. "Mungkin aja cuma kebetulan, Hil. Orang juga bisa lupa dan teledor sesekali. Buk
Bab 85Gara-gara DiskonPov AuthorHilda rasanya ingi sekali menggetok kepala Ari dengan manekin. Entah apa yang membuat lelaki itu terlihat sensitif dengan Mega. Sebelumnya, meski Ari kadang berbicara terlalu jujur, tetapi tidak sampai menunjukkan sikapnya yang seperti ini.“Diskonnya cuma 30 persen?” Ari melirik sinis pada Hilda. “Aku kira bakalan lebih tinggi karena kamu secara pribadi ngasih diskonnya,” lanjut dia sembari menyantap es krim rasa mangga.“Masih untung juga, Mas. Nggak usah protes, deh.”Saat ini mereka sedang duduk santai di bangku depan toko. Mega mengizinkan Hilda untuk berbicang dengan saudaranya. Lagi pula di jam siang seperti ini pengunjung tidak terlalu ramai. Lelaki yang mengenakan celana jeans panjang itu berdecak. “Harusnya aku nggak nolak pas ditawarin gratis dari bosmu, ya.” Tampangnya tidak menunjukkan keseriusan sama sekali.“Siapa suruh—eh, Mas. ngomong-ngomong soal Mbak Mega, kenapa Mas kelihatan nggak suka sama dia? Padahal Mbak Mega ini baik, lho.
EndingBab 1182 tahun kemudian.Pasca perceraian Mega dan Saleh, tidak ada yang menempati rumah kontrakan mereka sebelumnya. Mega memilih untuk tinggal di perumahan sederhana yang berada dekat dengan toko edelweis. Wanita yang kini single parent tersebut terlihat sedang menyiapkan keperluan sekolah anaknya."Kevin, Nak. Ayo segera, nanti kamu terlambat kalau mau nonton TV terus," ujarnya sambil menata bekal yang dia masukkan ke dalam tas sang anak. "Ibu, besok ulang tahunku." Dibanding dengan memberitahu, Kevin terdengar lebih seperti anak yang sedang merengek. "Oh, ya?!" Mega terlihat terkejut. "Masa, sih? Bukannya minggu depan, ya?" Melihat reaksi ibunya, Kevin memberenggut kesal. Tampaknya anak itu kecewa karena dia pikir sang Ibu sudah mempersiapkan sesuatu untuk hari kelahirannya besok. Dia berjalan dengan bahu yang terkulai lemas menuju ibunya, mengulurkan tangan untuk mengambil tas. "Ya udah, deh," bisiknya.Mega diam-diam tersenyum geli. "Wah, Nak. Gimana, nih? Besok bang
Bab 117Mega tidak langsung menjawab pertanyaan dari Ari, teater diam beberapa saat. Di sisi lain Hilda meskipun merasa tidak enak dan ingin memarahi Ari yang ceritanya seperti itu, dia juga tidak bisa mengelak dengan rasa ingin tahu punya tentang perasaan Mega saat ini.Mega sendiri sudah cukup memikirkan hal ini sejak kemarin malam dia bertanya kepada dirinya sendiri tentang keputusan yang telah diambil dulu. Mungkinkah dirinya menyesal karena telah menerima oleh kembali dalam hidupnya? "Kalau terlalu berat buat dijawab, nggak perlu dijawab juga kok Mbak." Ari memberi pengertian karena hal yang dia tanyakan memang cukup sensitif."Akan terkesan bohong juga jika saya bilang baik-baik saja sekarang tapi Jika ditanya tentang penyesalan itu apa saya rasa nggak. Kalau dipikir-pikir memang menyakitkan karena telah dikhianati dua kali. Tapi di sisi lain aku merasa sudah melakukan hal yang tepat karena memberi kesempatan untuk seseorang bukan hal yang buruk." Mega tersenyum. "Aku merasa s
Bab 116Apakah Menyesal?Retno diantar pulang oleh Hilda dan Ari sedangkan Mega dan Saleh pulang ke rumahnya. Hal ini mengenai rumah tangga sepasang suami istri itu yang harus diselesaikan secara pribadi.Saat ini Retno Hilda berada di mobil Ari. Sambil menyetir lelaki itu bertanya, "Kapan kamu memanggil Mega? Kamu bilang nggak mau ngasih tahu dia lebih dulu."Hilda tampak murung, dia juga tidak menyangka bahwa dugaannya selama ini memang benar. "Aku cuma nggak mau Mbak Mega tahu dari orang lain, aku harus ngasih tahu dia karena dia yang paling berhak tahu tentang kelakuan suaminya." Dia melirik ke arah jok belakang di mana Retno berada. "Retno, aku minta maaf karena membiarkanmu menutup toko sendirian.""Ini bukan salah Mbak Hilda, kok. Lagian berkat mbak Hilda juga aku bisa selamat. Mas Ari saya benar-benar berterima kasih atas bantuannya yang tadi." Sekarang kondisi Retno jauh lebih membaik dia, tidak terlihat gemetaran seperti beberapa waktu yang lalu."Besok mungkin toko akan tut
Bab 115Tak Bisa BerkutikRetno bingung harus berkata apa. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa akan mendapatkan tawaran makan malam bersama dari Saleh. Dia masih pada dirimu waktu di depan pintu toko sebelum akhirnya tiba-tiba Saleh menarik tangannya. "Pak Saleh?! Apa yang Anda lakukan?" Dia mulai jadi takut sekarang dia melihat ke sekeliling mencoba untuk mencari pertolongan.Namun, entah mengapa mendadak suasana menjadi sepi dan orang-orang tidak peduli kepadanya. Retno mencoba untuk melepaskan diri dari genggaman Saleh tetapi lelaki itu justru semakin mengeratkan pegangannya."Pak Saleh, Apa yang anda lakukan?! Tolong lepaskan saya segera!" Ratna sedikit berteriak, tetapi dia justru mendatan4g berarti karena langkah lelaki itu demikian. Saleh menoleh dan menatap Retno dengan sorot mata tajam. "Ikut saja denganku atau kamu akan tahu akibatnya!""Tapi mau ke mana, Pak?! Saya harus segera pulang karena ibu pasti sedang menunggu saya."Retno masih berusaha untuk melepaskan diri s
Bab 114Saat ini saya sedang berada di toko titik dia melihat karyawannya yaitu Retno dan Hilda yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Semenjak dirinya menjadi pemilik toko edelweis kegiatan yang Saleh lakukan tidak jauh-jauh dengan mengamati memperhatikan sedangkan hampir keseluruhan mengenai barang produk dan pengeluaran serta pendapatan masing-masing mendapat bagiannya.Saat itu juga, Saleh merasa benar-benar menjadi seorang usahawan yang sukses. Berbeda saat Mega yang menjadi pemilik toko itu, wanita tersebut tidak bisa membiarkan tubuhnya berada dalam keadaan santai. Bagi kedua karyawan di toko edelweis, sikap Saleh yang seperti itu sudah menjadi kebiasaan bagi mereka dan tidak perlu mempermasalahkannya karena memang karyawan yang harus bekerja."Retno," panggil saya ketika Si empunya nama sedang menata letak manekin yang digantung di tembok.Retno menjatuhkan pandangannya seraya menurunkan tongkat yang sedang dia pegang. "Ada apa Pak?""Bisa ikut saya ke ruang staf s
Bab 113Mega tidak mengajak Saleh bicara lagi setelah pertengkaran beberapa menit yang lalu. Saat ini dirinya masih berada di ruang tamu sedangkan Saleh sudah masuk ke dalam kamar. Setidaknya, Saleh tidak keluar lagi malam ini seperti malam-malam sebelumnya.Wanita itu sedang merenungkan, berpikir tentang apa yang kemungkinan terjadi pada suaminya itu sampai bisa marah besar dan memintanya agar pergi dari hadapan Mega merasa sakit hati, terluka dan tercabik-cabik namun dia juga berpikir bahwa mungkin saja terjadi sesuatu hal yang buruk saat Saleh berada di luar dan hal yang memungkinkan bagi lelaki tersebut melepaskan emosi ketika berhadapan dengan sang istri.Karena hal itulah Mega mencoba untuk mengerti dan memaafkan Saleh sekali lagi.Setelah cukup lama dia berada di ruang tamu sambil menunggu Anda harus suaminya tertidur terlebih dahulu, dia beranjak dari sana dan menuju ke kamar. Saat itu juga dia baru tersadar ada pakaian yang teronggok di lantai dan itu terlihat asing di matany
Bab 112"Kenapa kamu jadi bentak-bentak aku?! Emangnya apa yang salah, hah? Orang Kamu yang bilang sendiri waktu dulu, kok. Kamu butuh uang yang banyak karena nggak mau jadi bahan tertawaan dan ejekan teman, tenagga dan saudara sendiri!" Tidak mau kalah, Febi membalas dengan suara yang lebih nyaring. Hal itu tentu saja membuat orang-orang di sekitar mereka memperhatikan keduanya dengan tatapan heran sekaligus tatapan seolah mereka terganggu. Pelayan yang sedang menyajikan makanan di atas meja Mereka pun sampai melirik takut-takut baik kepada si wanita maupun pria."Tapi itu dulu, tante! Itu karena aku benar-benar putus asa! Aku nggak mau dipandang rendah sama orang lain! Tante mungkin nggak merasakan gimana penderitaanku saat itu karena tante emang nggak pernah kekurangan uang sama sekali!" Wajah Saleh memerah dengan bola mata yang melotot dan seolah hampir keluar hanya dengan satu kali hentakan saja. Dia tidak peduli dengan Bagaimana pandangan orang di sekitar melihatnya.. sudah ter
Bab 111“Ini, aku serius. Kalau aku jadi cowok, udah naksir berat sama Mbak Mega.” Hilda masih tetap bersikeras menjadikan mantan bosnya itu sebagai topik pembicaraan kali ini.“Kenapa mikirnya begitu?”“Yah, Mas ini nggak peka atau emang nggak peduli, sih?”“Apa bedanya?”Hilda terkikik. “Ya emang, sih. Apa yang bisa diharapkan sama Mas Ari? Hidupnya seakan terjebak dalam tempurung kelapa. Masa lalu masih aja menjadi alasan buat nggak melirik orang lain.” Dia mencibir, tidak peduli dengan eskpresi Ari yang hampi seperti ingin memakannya.“Nggak punya kaca atau emang udah lupa kalau kamu punya muka?” tukasnya tak mau kalah. “Orang yang punya masalah sama kenapa harus saling meledek, sih?” Jeda sesaat untuknya meminum es hingga tandas. “Kamu juga harus ingat kepada siapa kamu mengadu soal perceraianmu dan berapa lama kamu menggalau.”Hilda meringis. Mana mungkin dia lupa tentang masalah yang menjadi titik balik kehidupannya? Dia dan mantan suami yang berakhir dengan perpisahan. Masalah
Bab 110Retno masih menangis tersedu-sedu di rumahnya. Saat ini sudah ada Mega dan Hilda yang berkunjung. Setelah insiden Retno yang tertangkap melakukan pencurian di toko dia terus menyesali perbuatannya setiap kali berhadapan dengan mantan bos dan rekan kerjanya, dia tidak bisa menyembunyikan rasa bersalah. "Kami ke sini bukan untuk melihat kamu menangis, melainkan mau melihat ibumu." Hilda yang tidak tega melihat tangisan Retno akhirnya bersuara. Sementara Mega mengeluarkan tisu dari tasnya. Dia mengulurkan tisu itu untuk Retno. "Di sini juga ada kesalahan kami karena tidak terlalu memperhatikan kesulitan kamu. Mau bagaimanapun juga kamu tetap bagian dari rekan kami yang seharusnya mendapatkan perhatian yang layak." Dia menambahkan, mencoba untuk menenangkan gadis itu.Retno membersit hidungnya sebelum menjawab, "Tetap aja saya merasa bersalah karena sudah melakukan hal yang memaluka, Mbak.""Kalau kamu merasa bersalah dan malu, aku rasa itu udah cukup. Tandanya, kamu nggak meny