Bab 114Saat ini saya sedang berada di toko titik dia melihat karyawannya yaitu Retno dan Hilda yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Semenjak dirinya menjadi pemilik toko edelweis kegiatan yang Saleh lakukan tidak jauh-jauh dengan mengamati memperhatikan sedangkan hampir keseluruhan mengenai barang produk dan pengeluaran serta pendapatan masing-masing mendapat bagiannya.Saat itu juga, Saleh merasa benar-benar menjadi seorang usahawan yang sukses. Berbeda saat Mega yang menjadi pemilik toko itu, wanita tersebut tidak bisa membiarkan tubuhnya berada dalam keadaan santai. Bagi kedua karyawan di toko edelweis, sikap Saleh yang seperti itu sudah menjadi kebiasaan bagi mereka dan tidak perlu mempermasalahkannya karena memang karyawan yang harus bekerja."Retno," panggil saya ketika Si empunya nama sedang menata letak manekin yang digantung di tembok.Retno menjatuhkan pandangannya seraya menurunkan tongkat yang sedang dia pegang. "Ada apa Pak?""Bisa ikut saya ke ruang staf s
Bab 115Tak Bisa BerkutikRetno bingung harus berkata apa. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa akan mendapatkan tawaran makan malam bersama dari Saleh. Dia masih pada dirimu waktu di depan pintu toko sebelum akhirnya tiba-tiba Saleh menarik tangannya. "Pak Saleh?! Apa yang Anda lakukan?" Dia mulai jadi takut sekarang dia melihat ke sekeliling mencoba untuk mencari pertolongan.Namun, entah mengapa mendadak suasana menjadi sepi dan orang-orang tidak peduli kepadanya. Retno mencoba untuk melepaskan diri dari genggaman Saleh tetapi lelaki itu justru semakin mengeratkan pegangannya."Pak Saleh, Apa yang anda lakukan?! Tolong lepaskan saya segera!" Ratna sedikit berteriak, tetapi dia justru mendatan4g berarti karena langkah lelaki itu demikian. Saleh menoleh dan menatap Retno dengan sorot mata tajam. "Ikut saja denganku atau kamu akan tahu akibatnya!""Tapi mau ke mana, Pak?! Saya harus segera pulang karena ibu pasti sedang menunggu saya."Retno masih berusaha untuk melepaskan diri s
Bab 116Apakah Menyesal?Retno diantar pulang oleh Hilda dan Ari sedangkan Mega dan Saleh pulang ke rumahnya. Hal ini mengenai rumah tangga sepasang suami istri itu yang harus diselesaikan secara pribadi.Saat ini Retno Hilda berada di mobil Ari. Sambil menyetir lelaki itu bertanya, "Kapan kamu memanggil Mega? Kamu bilang nggak mau ngasih tahu dia lebih dulu."Hilda tampak murung, dia juga tidak menyangka bahwa dugaannya selama ini memang benar. "Aku cuma nggak mau Mbak Mega tahu dari orang lain, aku harus ngasih tahu dia karena dia yang paling berhak tahu tentang kelakuan suaminya." Dia melirik ke arah jok belakang di mana Retno berada. "Retno, aku minta maaf karena membiarkanmu menutup toko sendirian.""Ini bukan salah Mbak Hilda, kok. Lagian berkat mbak Hilda juga aku bisa selamat. Mas Ari saya benar-benar berterima kasih atas bantuannya yang tadi." Sekarang kondisi Retno jauh lebih membaik dia, tidak terlihat gemetaran seperti beberapa waktu yang lalu."Besok mungkin toko akan tut
Bab 117Mega tidak langsung menjawab pertanyaan dari Ari, teater diam beberapa saat. Di sisi lain Hilda meskipun merasa tidak enak dan ingin memarahi Ari yang ceritanya seperti itu, dia juga tidak bisa mengelak dengan rasa ingin tahu punya tentang perasaan Mega saat ini.Mega sendiri sudah cukup memikirkan hal ini sejak kemarin malam dia bertanya kepada dirinya sendiri tentang keputusan yang telah diambil dulu. Mungkinkah dirinya menyesal karena telah menerima oleh kembali dalam hidupnya? "Kalau terlalu berat buat dijawab, nggak perlu dijawab juga kok Mbak." Ari memberi pengertian karena hal yang dia tanyakan memang cukup sensitif."Akan terkesan bohong juga jika saya bilang baik-baik saja sekarang tapi Jika ditanya tentang penyesalan itu apa saya rasa nggak. Kalau dipikir-pikir memang menyakitkan karena telah dikhianati dua kali. Tapi di sisi lain aku merasa sudah melakukan hal yang tepat karena memberi kesempatan untuk seseorang bukan hal yang buruk." Mega tersenyum. "Aku merasa s
EndingBab 1182 tahun kemudian.Pasca perceraian Mega dan Saleh, tidak ada yang menempati rumah kontrakan mereka sebelumnya. Mega memilih untuk tinggal di perumahan sederhana yang berada dekat dengan toko edelweis. Wanita yang kini single parent tersebut terlihat sedang menyiapkan keperluan sekolah anaknya."Kevin, Nak. Ayo segera, nanti kamu terlambat kalau mau nonton TV terus," ujarnya sambil menata bekal yang dia masukkan ke dalam tas sang anak. "Ibu, besok ulang tahunku." Dibanding dengan memberitahu, Kevin terdengar lebih seperti anak yang sedang merengek. "Oh, ya?!" Mega terlihat terkejut. "Masa, sih? Bukannya minggu depan, ya?" Melihat reaksi ibunya, Kevin memberenggut kesal. Tampaknya anak itu kecewa karena dia pikir sang Ibu sudah mempersiapkan sesuatu untuk hari kelahirannya besok. Dia berjalan dengan bahu yang terkulai lemas menuju ibunya, mengulurkan tangan untuk mengambil tas. "Ya udah, deh," bisiknya.Mega diam-diam tersenyum geli. "Wah, Nak. Gimana, nih? Besok bang
"Wah belum tidur nih. Kebetulan sekali aku punya kejutan untuk kamu, Dek," ucap Mas Saleh saat kucium punggung tangannya. "Iya ini tadi masih ngerekap pesanan pembeli, Mas. Alhamdulillah hari ini banyak pesanan, jadi bisa buat bayar kontrakan minggu depan, Mas, " ucapku sambil tersenyum.Memang biasanya aku setiap hari selalu sudah tidur di jam delapan malam, karena hari ini benar-benar laris. Maka aku pun sangat bersemangat untuk menyelesaikannya.Begitu pula dengan suamiku ini. Mas Saleh biasanya pulang dari sift pagi pukul delapan malam. Tapi sejak beberapa hari terakhir dia memiliki pekerjaan sampingan, jadi pulangnya pun agak telat. Paling sore dia pulang pukul sebelas malam seperti saat ini."Jangan terlalu capek begitu dong, Dek. Tidur itu tepat waktu, jika Kevin sudah tidur, lebih baik kamu pun ikut tidur saja. Atau lebih enak mungkin mulai sekarang kamu tak usah susah-susah berjualan. Duduk di rumah saja temani Kevin," uc
"Pokoknya ada deh, Dek! Yang penting bukan menjadi pencuri atau pembunuh. Dan, dengan pekerjaan yang kumiliki saat ini, kupastikan bulan depan kita pasti akan bisa membeli mobil!"Bukannya menjawab pertanyaanku tadi, Mas Saleh malah makin membuatku penasaran dengan pekerjaan sampingannya itu. "Beli mobil, Mas? Mobil mainan buat Kevin?" tanyaku yang memang lah masih sangat bingung."Kok mobil untuk Kevin sih, Dek? Itu kan mobil mainan ... hahaha kamu itu kok lucu sih. Ya mobil beneran dong, Dek. Seperti milik Mas Mamat itu loh." Mas Saleh coba menjelaskan.Mulutku kembali melongo, meski sebenarnya dalam otakku ini muncul banyak sekali pertanyaan. Mas Mamat adalah satu-satunya kakak kandung, saat ini dia telah menjadi seorang kontraktor dan tinggal di pulau seberang."Kamu sedang nggak habis minum-minuman kan, Mas?" tanyaku lagi."Ampun deh, ya nggak dong, Dek. Kamu ini kok ya ada-ada aja sih? Kamu pikir suamimu ini
[Kenapa cuma dibaca aja? Ada niat bayar nggak? Jangan pikir itu uang nenek moyangnya ya! Ayo cepat bayar, saat ini si Saleh kan sudah kerja! Jangan cuma mau enaknya saja!] [Maaf, Mbak. Bukannya tidak ada niat untuk membayar, tapi ini saya masih mengumpulkan uang. Insyaallah bulan depan ya, Mbak.] Balasku.[Halah alasan saja kamu itu! Selalu kataku masih nabung-nabung saja terus, lalu sampai kapan aku harus nunggu tabunganmu itu cukup? Sampe lebaran monyet?] Balas Mbak Desi lagi.[Astaghfirullah, Mbak. Saya ini memang benar-benar masih mengumpulkan uang. Atau Mbak Desi mau saya transfer yang seadanya saja dulu? Kalau iya, malam.ini juga saya transfer seadanya.] Balasku cepat.Aku sebenarnya susah sering berysnya pada Mbak Desi, apa dia mau ku bayar dulu seadanya uang itu? Tapi nyatanya kakak iparku itu tak pernah mau. Dia ingin semua hutangku itu langsung dibayar lunas beserta dengan bunganya.[Enak saja! Kamu dulu hutang padaku