Bab 55CemasMas Saleh marah saat kami sudah berada di rumah. Dia marah karena aku otak-atik ponselnya sampai menghilangkan beberapa nomor kontak. Dia tidak berbicara denganku, bahkan sampai kami mau tidur. “Mas ….” Aku menusuk-nusuk lengannya menggunakan jemari telunjuk. Saat ini dia berbaring membelakangiku. Tidak ada tanggapan sama sekali, meski aku tahu kalau dia saat ini masih terjaga. “Aku salah, aku minta maaf karena nggak minta izin dulu sama kamu. Itu karena kamu pasti akan beralasan ini itu dan nggak akan mengizinkaku—“ Masih tidak ada jawaban.“Kamu nggak tidur, ‘kan, Mas?”Aku berdecak kesal. Dia selalu begini kalau sedang marah. Mengabaikanku dan diam seribu bahasa. Karena tidak bisa tidur, aku memilih beranjak dari tempat tidur dan menuju ke ruang tamu. Sekarang sudah lewat jam 10.00 malam, Kevin sudah pasti tengah tertidur pulas, sedangkan Mas Saleh entah sudah tertidur atau belum.Karena seharian aku berada di luar, jadi belum sempat merekap pesanan untuk besok. Sam
Bab 56Sebuah Ikhtiar Akhirnya aku mengobrol lagi dengan Hilda. Dia datang ke rumah sesuai bdengan janjinya. Penampilan perempuan cantik itu terlihat kurang sehat, matanya satu dengan kantong mata yang gelap dan bibirnya pun pucat. "Kamu baik-baik aja, Hil?" "Baik-baik aja, kok, Mbak." Dia tersenyum, tetapi jelas keadaannya sangat bertolak belakang dari ucapannya itu."Kamu begadang, ya, semalam?" Bukan hanya begadang, kurasa dia juga menangis semalaman penuh setelah meneleponku. "Aku udah berusaha buat nggak bergadang, Mbak. Tapi, mataku nggak mau terpejam." Dia tertawa, bahkan suaranya saja terdengar sumbang. "Karena suamimu?"Dia mengangguk dan aku hanya bisa diam dan mencoba untuk tidak membuatnya dalam suasana hati yang semakin buruk. "Ngomong-ngomong, Mbak. Suami Mbak Mela baik-baik aja, 'kan? Maksudku Mbak Mega nggak pernah cerita apa pun soal masalah itu. Bukan bermaksud apa-apa, cuma takutnya aku yang banyak curhat begini bikin Mbak jadi nambah terbebani. Bagaimanapun,
Bab 57Tentang SalehPOV SalehAku tahu bahwa istriku adalah wanita yang bijak, baik hati dan penyayang terhadap keluarganya. Dia adalah takdir indah yang pernah kutemui sepanjang hidupku.Menikahinya adalah sebuah keberuntungan yang tidak bisa aku jabarkan dengan kata-kata. Hanya saja, memiliki sebuah kehidupan di mana bisa dihina siapa saja membuatku merasa bersalah kepadanya dan anak kami."Aku mau kamu kembalikan semua pemberian dari tante Feby," kata dia saat kami tengah ngobrol. Sudah menjadi kebiasaan setelah aku pulang dan menyantap makan malam yang dia buat, kami sering mengobrol banyak atau sekedar nonton TV bersama.Sesekali, memang aku lebih fokus kepada ponselku sendiri karena di jam-jam seperti ini, jika tidak mendapat panggilan dari Tante Feby, aku membalas chat dari beberapa calon klienku. Masih bernegosiasi, tentang masalah harga dan yang lainnya. Tentu saja bahasa yang digunakan juga harus halus dan bisa mengundang perhatian mereka. Gampangnya adalah, aku harus meng
Bab 58PengembalianKeesokan paginya, Mas Joko sudah membawa beberapa barang seperti baju, sepatu, tas, dan jam tangan. Kamu adalah barang pemberian dari Tante Feby. Seperti yang sudah kami bicarakan tadi malam bahwa semua barang pemberian atau hasil dari pekerjaan sampingan Mas Saleh itu harus dikembalikan. Aku juga menagih uang yang jumlahnya puluhan juta sebelumnya pernah diperlihatkan melalui sebuah cek. Aku yakin masih ada uang lain ya disimpan oleh Mas Joko karena hanya dengan cek itu saja dia tidak mungkin meminta untuk membeli rumah baru."Kamu yakin cuma ini aja, Mas?" tanyaku. "Uangnya nggak ada di simpan di tempat lain? Coba kamu ingat-ingat barangkali kelupaan." Sambil menyimpan barang-barang itu ke dalam paper bag, aku menanyainya. "Kamu benar-benar teliti, ya?" Ada protes di ucapannya, tetapi kendati demikian dia tetap mengeluarkan beberapa cek lain. Lalu, sebuah kartu kredit atas nama Tante Feby. Lihat kartun itu aku menghentikan kegiatanku dan menatap tak percaya pa
Bab 59Akhir yang BerbedaSetelah selesai urusan dengan Tante Feby, aku langsung pulang. Di rumah pasti Mas Saleh sedang menungguku. Rasa lega sekali setelah selesai mengurus pengembalian semua barang yang didapat Mas Saleh dari Tante Feby. Seperti beban di pundakku selama ini telah hilang. Saat ini waktunya untuk fokus kami memulai lembar kehidupan baru. Tentang ucapan Tante Feby sebelumnya tentang kemungkinan Mas Saleh punya klien selain dia, aku sudah melihatnya saat meminjam ponsel suamiku itu. Memang, yang dekat dengannya melalui chat tidak hanya satu dua saja. Namun, dari semua yang aku periksa, tidak sampai ada yang mengajaknya bertemu. Kurasa belum, karena seperti masih dalam tahap bernegosiasi. Aku mendapat telepon dari Mas Saleh saat aku sedang naik angkutan umum. “Assalamu’alaikum, Mas.”“Wa’alaikum salam,” jawabnya dari seberang telepon. “Dek, kamu udah masih lama, ya?”“Nggak, kok, Mas. Ini lagi naik angkot.” Kutolehkan kepala ke jendela. “Udah setengah jalan. Sebentar
Bab 59Kebusukan yang TerbongkarHari ini aku datang ke rumah Mas Mamat untuk menanyakan tentang kesediaannya untuk meminjamkan modal kepadaku atau tidak. Berhubung ini adalah hari libur, jadi aku datang tanpa Mas Saleh dan Kevin.Bukan apa-apa, hanya untuk berjaga-jaga saja kalau nanti Mas Mamat dan istrinya menanyakan tentang pekerjaan Mas Saleh, aku tidak mau Mas Saleh jadi tertekan. Biarkan saja mereka tidak tahu apa pekerjaan suamiku selama ini.“Assalamu’alaikum.” Kuketuk pintu rumah Mas Mamat. Sebelumnya aku sudah mengabarinya kalau akan datang ke sini. Tentu saja agar tidak mengganggu aktivitas mereka.“Wa’alaikum—“ Jawaban salam itu tidak selesai saat kedua mata Mbak Desi mendapati kehediranku. Tampaknya dia tidak tahu kalau aku akan datang. Wajahnya seketika berubah menjadi masam, sedikit terkejut juga saat pertama kali tatapan kami bertemu. “Mau apa kamu ke sini?!” Dan respons ucapannya pun sangat ketus.“Mas Mamatnya ada, Mbak?” tanyaku dengan sedikit melempar senyum. “Kem
Bab 61Merasa DikhianatiMasih di tempat yang sama, situasi yang sama, dan konflik yang sama. Kurasa saat ini bukan saatnya aku untuk bicara, tetapi mulutku ini sudah lebih dulu menginterupsi pertikaian suami istri di depanku ini.“Mas Mamat, dengarkan aku dulu.”Di tengah mereka yang cekcok, suaraku membuat keduanya menatapku. Tentu saja dengan tatapan yang berbeda. Pria yang memakai kaus putih polos dan celana panjang itu menatapku dengan sorot mata penuh rasa bersalah, berbeda dengan istrinya. Mbak Desi seakan menembakkan sinar laser melalui kedua mata yang hampir meloncat dari posisinya itu.“Mega, kamu nggak apa-apa? Mau Mas antar saja pulangnya?” tanya kakakku cemas.“Nggak usah, Mas. aku bisa pulang—“ Kutelan salivaku sendiri saat tatapan Mbak Desi mengisyaratkan sesuatu. Dia seakan memintaku untuk menjelaskan apa yang terjadi, tentu saja versi bohong agar dirinya selamat dari amukan suaminya. “Soal tadi, aku rasa Mas Mamat perlu dengarkan penjelasan Mbak Desi dulu, aku—““Ngga
Bab 62Awal yang BaruSetelah sampai di rumah, aku disambut Mas Saleh dengan pertanyaan, “Gimana, Dek? Apa semuanya lancar?”“Nggak, Mas,” jawabku lesu dengan sedikit tersenyum.“Eh? Memangnya kenapa, Dek? Mas Mamat nggak kasih pinjam, ya?”Kugelangkan kepala pelan. Saat ini kami sedang duduk di teras. Kevin sedang asyik bermain sendirian dengan setumpuk mainannya, sedangkan Mas Saleh duduk sambil memainkan ponselnya. “Bukan begitu, Mas. Cuma keadaan aja yang nggak mendukung,” sahutku dengan menghela panjang.“Maksud kamu?” Tampaknya Mas Salah mulai tertarik dengan pembicaraan ini, jadi dia meletakkan ponselnya ke atas meja dan memerhatikanku sepenuhnya. “Keadaan yang nggak mendukung?” ucapnya penasaran.“Iya.” Aku awalnya ragu untuk membicarakan soal kejadian di rumah Mas Mamat tadi. Bukan apa-apa, tetapi kalau Mas Saleh tahu Mbak Desi memakiku lagi, dia pasti tidak akan tinggal diam. Dan … yang paling parah adalah dia yang mungkin bisa ragu dengan keputusannya sendiri untuk menyera