Bab 58PengembalianKeesokan paginya, Mas Joko sudah membawa beberapa barang seperti baju, sepatu, tas, dan jam tangan. Kamu adalah barang pemberian dari Tante Feby. Seperti yang sudah kami bicarakan tadi malam bahwa semua barang pemberian atau hasil dari pekerjaan sampingan Mas Saleh itu harus dikembalikan. Aku juga menagih uang yang jumlahnya puluhan juta sebelumnya pernah diperlihatkan melalui sebuah cek. Aku yakin masih ada uang lain ya disimpan oleh Mas Joko karena hanya dengan cek itu saja dia tidak mungkin meminta untuk membeli rumah baru."Kamu yakin cuma ini aja, Mas?" tanyaku. "Uangnya nggak ada di simpan di tempat lain? Coba kamu ingat-ingat barangkali kelupaan." Sambil menyimpan barang-barang itu ke dalam paper bag, aku menanyainya. "Kamu benar-benar teliti, ya?" Ada protes di ucapannya, tetapi kendati demikian dia tetap mengeluarkan beberapa cek lain. Lalu, sebuah kartu kredit atas nama Tante Feby. Lihat kartun itu aku menghentikan kegiatanku dan menatap tak percaya pa
Bab 59Akhir yang BerbedaSetelah selesai urusan dengan Tante Feby, aku langsung pulang. Di rumah pasti Mas Saleh sedang menungguku. Rasa lega sekali setelah selesai mengurus pengembalian semua barang yang didapat Mas Saleh dari Tante Feby. Seperti beban di pundakku selama ini telah hilang. Saat ini waktunya untuk fokus kami memulai lembar kehidupan baru. Tentang ucapan Tante Feby sebelumnya tentang kemungkinan Mas Saleh punya klien selain dia, aku sudah melihatnya saat meminjam ponsel suamiku itu. Memang, yang dekat dengannya melalui chat tidak hanya satu dua saja. Namun, dari semua yang aku periksa, tidak sampai ada yang mengajaknya bertemu. Kurasa belum, karena seperti masih dalam tahap bernegosiasi. Aku mendapat telepon dari Mas Saleh saat aku sedang naik angkutan umum. “Assalamu’alaikum, Mas.”“Wa’alaikum salam,” jawabnya dari seberang telepon. “Dek, kamu udah masih lama, ya?”“Nggak, kok, Mas. Ini lagi naik angkot.” Kutolehkan kepala ke jendela. “Udah setengah jalan. Sebentar
Bab 59Kebusukan yang TerbongkarHari ini aku datang ke rumah Mas Mamat untuk menanyakan tentang kesediaannya untuk meminjamkan modal kepadaku atau tidak. Berhubung ini adalah hari libur, jadi aku datang tanpa Mas Saleh dan Kevin.Bukan apa-apa, hanya untuk berjaga-jaga saja kalau nanti Mas Mamat dan istrinya menanyakan tentang pekerjaan Mas Saleh, aku tidak mau Mas Saleh jadi tertekan. Biarkan saja mereka tidak tahu apa pekerjaan suamiku selama ini.“Assalamu’alaikum.” Kuketuk pintu rumah Mas Mamat. Sebelumnya aku sudah mengabarinya kalau akan datang ke sini. Tentu saja agar tidak mengganggu aktivitas mereka.“Wa’alaikum—“ Jawaban salam itu tidak selesai saat kedua mata Mbak Desi mendapati kehediranku. Tampaknya dia tidak tahu kalau aku akan datang. Wajahnya seketika berubah menjadi masam, sedikit terkejut juga saat pertama kali tatapan kami bertemu. “Mau apa kamu ke sini?!” Dan respons ucapannya pun sangat ketus.“Mas Mamatnya ada, Mbak?” tanyaku dengan sedikit melempar senyum. “Kem
Bab 61Merasa DikhianatiMasih di tempat yang sama, situasi yang sama, dan konflik yang sama. Kurasa saat ini bukan saatnya aku untuk bicara, tetapi mulutku ini sudah lebih dulu menginterupsi pertikaian suami istri di depanku ini.“Mas Mamat, dengarkan aku dulu.”Di tengah mereka yang cekcok, suaraku membuat keduanya menatapku. Tentu saja dengan tatapan yang berbeda. Pria yang memakai kaus putih polos dan celana panjang itu menatapku dengan sorot mata penuh rasa bersalah, berbeda dengan istrinya. Mbak Desi seakan menembakkan sinar laser melalui kedua mata yang hampir meloncat dari posisinya itu.“Mega, kamu nggak apa-apa? Mau Mas antar saja pulangnya?” tanya kakakku cemas.“Nggak usah, Mas. aku bisa pulang—“ Kutelan salivaku sendiri saat tatapan Mbak Desi mengisyaratkan sesuatu. Dia seakan memintaku untuk menjelaskan apa yang terjadi, tentu saja versi bohong agar dirinya selamat dari amukan suaminya. “Soal tadi, aku rasa Mas Mamat perlu dengarkan penjelasan Mbak Desi dulu, aku—““Ngga
Bab 62Awal yang BaruSetelah sampai di rumah, aku disambut Mas Saleh dengan pertanyaan, “Gimana, Dek? Apa semuanya lancar?”“Nggak, Mas,” jawabku lesu dengan sedikit tersenyum.“Eh? Memangnya kenapa, Dek? Mas Mamat nggak kasih pinjam, ya?”Kugelangkan kepala pelan. Saat ini kami sedang duduk di teras. Kevin sedang asyik bermain sendirian dengan setumpuk mainannya, sedangkan Mas Saleh duduk sambil memainkan ponselnya. “Bukan begitu, Mas. Cuma keadaan aja yang nggak mendukung,” sahutku dengan menghela panjang.“Maksud kamu?” Tampaknya Mas Salah mulai tertarik dengan pembicaraan ini, jadi dia meletakkan ponselnya ke atas meja dan memerhatikanku sepenuhnya. “Keadaan yang nggak mendukung?” ucapnya penasaran.“Iya.” Aku awalnya ragu untuk membicarakan soal kejadian di rumah Mas Mamat tadi. Bukan apa-apa, tetapi kalau Mas Saleh tahu Mbak Desi memakiku lagi, dia pasti tidak akan tinggal diam. Dan … yang paling parah adalah dia yang mungkin bisa ragu dengan keputusannya sendiri untuk menyera
Bab 63Jerat Rindu Tante FebyPov FebySaat ini aku sedang menatap ponsel, menggulir layar yang menampakkan sebuah akun yang sudah kosong. Ya, tidak ada foto-fotonya lagi, tidak ada postingan yang tersisa di akunnya, bahkan foto profil pun sudah dihapus. Hanya ada nama yang tertera di sana, Gantengnya Tente.Benar, akun itu adalah akunnya Saleh yang digunakan untuk melakukan pekerjaannya sebagai simpananku. Pria yang entah mengapa setelah berminggu-minggu hubungannya putus denganku, bayang-bayangnya tidak sedikitpun hilang dalam kepalaku. Selama waktu itu juga aku tidak lagi bertegur sapa dengannya, sebisa mungkin aku menghindar agar tidak berpapasan, meskipun itu cukup sulit karena dia bekerja sebagai satpam di komplek yang aku tinggali. Rasanya seperti main kucing-kucingan. Entah apa dia juga merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Lucu sekali, aku seperti ABG yang sedang galau karena memikirkan mantan, sulit move on dari mantan terindah. Hahaha. Padahal, dengan uangku, aku bisa
Bab 64Istri yang SuksesPov AuthorSatu minggu setelah toko Mega buka, pelanggan datang bagaikan semut yang mengerubungi gula. Sistem diskon untuk pembukaan memang hanya berlaku selama dua hari saja, tetapi ternyata pelanggan baru yang berada di kawasan toko itu banyak yang tertarik dengan produk yang Mega jual.“Alhamdulillah, ya, Mbak,” kata Hilda di saat toko sedang sedikit lengang. “Nggak nyangka kalau toko kita bisa seramai ini. Saya pikir bakalan sepi di hari-hari awal kita buka karena masih belum ada yang tahu tentang Edelweis di kawasan ini.” Saat ini mereka sedang berada di balik etalase toko. Ada meja kasir juga yang gabung dengan etalase itu. Mega yang sedang memegang pulpen dan buku kuitansi tampak tersenyum cerah. Pandangannya tak teralihkan dari para pengunjung yang tengah memilih barang. “Iya, Hil,” sambung Mega. “Semua kerja keras kita dibayar dengan sangat luar biasa. Semoga bisa bertahan untuk seterusnya, ya, Hil. Kita jangan lupa untuk senantiasa bersyukur dan be
Part 65Marahnya Suami Sepulang dari makan malam di luar, kami langsung pulang. Sesampainya di rumah, Mas Saleh langsung mandi dan pergi ke kamar. Dia tidak banyak bicara semenjak makan malam tadi. Hanya perasaanku saja atau memang dia saat ini sedang tidak dalam suasana hati yang baik?“Mas, kamu udah tidur?” tanyaku padanya. Dia sedang tidur membelakangi posisiku yang saat ini sedang berdiri. Tidak ada jawaban darinya. Kuyakin kalau dia belum tidur. Sekarang masih jam 8 malam, dan bukan kebiasaannya tidur jam segini. Akhirnya aku mendekati Mas Saleh dengan naik ke ranjang. Masih dengan jarak yang dibatasi guling, aku menjulurkan tangan dan menepuk lengannya pelan. “Mas,” panggilku lagi.“Ada apa, sih, Dek?” Aku bisa mendengar nada ketus disahutannya. “Kamu kenapa, Mas? Tumben banget jam segini udah tiduran di kamar.”“Emangnya kenapa? Nggak boleh?” Dia menjawab tanpa membalikkan badan sama sekali. Aku rasa dia marah, tetapi kenapa? Apa alasannya? “Kamu—““Aku ngantuk, Dek. Uda