Bab 59Kebusukan yang TerbongkarHari ini aku datang ke rumah Mas Mamat untuk menanyakan tentang kesediaannya untuk meminjamkan modal kepadaku atau tidak. Berhubung ini adalah hari libur, jadi aku datang tanpa Mas Saleh dan Kevin.Bukan apa-apa, hanya untuk berjaga-jaga saja kalau nanti Mas Mamat dan istrinya menanyakan tentang pekerjaan Mas Saleh, aku tidak mau Mas Saleh jadi tertekan. Biarkan saja mereka tidak tahu apa pekerjaan suamiku selama ini.“Assalamu’alaikum.” Kuketuk pintu rumah Mas Mamat. Sebelumnya aku sudah mengabarinya kalau akan datang ke sini. Tentu saja agar tidak mengganggu aktivitas mereka.“Wa’alaikum—“ Jawaban salam itu tidak selesai saat kedua mata Mbak Desi mendapati kehediranku. Tampaknya dia tidak tahu kalau aku akan datang. Wajahnya seketika berubah menjadi masam, sedikit terkejut juga saat pertama kali tatapan kami bertemu. “Mau apa kamu ke sini?!” Dan respons ucapannya pun sangat ketus.“Mas Mamatnya ada, Mbak?” tanyaku dengan sedikit melempar senyum. “Kem
Bab 61Merasa DikhianatiMasih di tempat yang sama, situasi yang sama, dan konflik yang sama. Kurasa saat ini bukan saatnya aku untuk bicara, tetapi mulutku ini sudah lebih dulu menginterupsi pertikaian suami istri di depanku ini.“Mas Mamat, dengarkan aku dulu.”Di tengah mereka yang cekcok, suaraku membuat keduanya menatapku. Tentu saja dengan tatapan yang berbeda. Pria yang memakai kaus putih polos dan celana panjang itu menatapku dengan sorot mata penuh rasa bersalah, berbeda dengan istrinya. Mbak Desi seakan menembakkan sinar laser melalui kedua mata yang hampir meloncat dari posisinya itu.“Mega, kamu nggak apa-apa? Mau Mas antar saja pulangnya?” tanya kakakku cemas.“Nggak usah, Mas. aku bisa pulang—“ Kutelan salivaku sendiri saat tatapan Mbak Desi mengisyaratkan sesuatu. Dia seakan memintaku untuk menjelaskan apa yang terjadi, tentu saja versi bohong agar dirinya selamat dari amukan suaminya. “Soal tadi, aku rasa Mas Mamat perlu dengarkan penjelasan Mbak Desi dulu, aku—““Ngga
Bab 62Awal yang BaruSetelah sampai di rumah, aku disambut Mas Saleh dengan pertanyaan, “Gimana, Dek? Apa semuanya lancar?”“Nggak, Mas,” jawabku lesu dengan sedikit tersenyum.“Eh? Memangnya kenapa, Dek? Mas Mamat nggak kasih pinjam, ya?”Kugelangkan kepala pelan. Saat ini kami sedang duduk di teras. Kevin sedang asyik bermain sendirian dengan setumpuk mainannya, sedangkan Mas Saleh duduk sambil memainkan ponselnya. “Bukan begitu, Mas. Cuma keadaan aja yang nggak mendukung,” sahutku dengan menghela panjang.“Maksud kamu?” Tampaknya Mas Salah mulai tertarik dengan pembicaraan ini, jadi dia meletakkan ponselnya ke atas meja dan memerhatikanku sepenuhnya. “Keadaan yang nggak mendukung?” ucapnya penasaran.“Iya.” Aku awalnya ragu untuk membicarakan soal kejadian di rumah Mas Mamat tadi. Bukan apa-apa, tetapi kalau Mas Saleh tahu Mbak Desi memakiku lagi, dia pasti tidak akan tinggal diam. Dan … yang paling parah adalah dia yang mungkin bisa ragu dengan keputusannya sendiri untuk menyera
Bab 63Jerat Rindu Tante FebyPov FebySaat ini aku sedang menatap ponsel, menggulir layar yang menampakkan sebuah akun yang sudah kosong. Ya, tidak ada foto-fotonya lagi, tidak ada postingan yang tersisa di akunnya, bahkan foto profil pun sudah dihapus. Hanya ada nama yang tertera di sana, Gantengnya Tente.Benar, akun itu adalah akunnya Saleh yang digunakan untuk melakukan pekerjaannya sebagai simpananku. Pria yang entah mengapa setelah berminggu-minggu hubungannya putus denganku, bayang-bayangnya tidak sedikitpun hilang dalam kepalaku. Selama waktu itu juga aku tidak lagi bertegur sapa dengannya, sebisa mungkin aku menghindar agar tidak berpapasan, meskipun itu cukup sulit karena dia bekerja sebagai satpam di komplek yang aku tinggali. Rasanya seperti main kucing-kucingan. Entah apa dia juga merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Lucu sekali, aku seperti ABG yang sedang galau karena memikirkan mantan, sulit move on dari mantan terindah. Hahaha. Padahal, dengan uangku, aku bisa
Bab 64Istri yang SuksesPov AuthorSatu minggu setelah toko Mega buka, pelanggan datang bagaikan semut yang mengerubungi gula. Sistem diskon untuk pembukaan memang hanya berlaku selama dua hari saja, tetapi ternyata pelanggan baru yang berada di kawasan toko itu banyak yang tertarik dengan produk yang Mega jual.“Alhamdulillah, ya, Mbak,” kata Hilda di saat toko sedang sedikit lengang. “Nggak nyangka kalau toko kita bisa seramai ini. Saya pikir bakalan sepi di hari-hari awal kita buka karena masih belum ada yang tahu tentang Edelweis di kawasan ini.” Saat ini mereka sedang berada di balik etalase toko. Ada meja kasir juga yang gabung dengan etalase itu. Mega yang sedang memegang pulpen dan buku kuitansi tampak tersenyum cerah. Pandangannya tak teralihkan dari para pengunjung yang tengah memilih barang. “Iya, Hil,” sambung Mega. “Semua kerja keras kita dibayar dengan sangat luar biasa. Semoga bisa bertahan untuk seterusnya, ya, Hil. Kita jangan lupa untuk senantiasa bersyukur dan be
Part 65Marahnya Suami Sepulang dari makan malam di luar, kami langsung pulang. Sesampainya di rumah, Mas Saleh langsung mandi dan pergi ke kamar. Dia tidak banyak bicara semenjak makan malam tadi. Hanya perasaanku saja atau memang dia saat ini sedang tidak dalam suasana hati yang baik?“Mas, kamu udah tidur?” tanyaku padanya. Dia sedang tidur membelakangi posisiku yang saat ini sedang berdiri. Tidak ada jawaban darinya. Kuyakin kalau dia belum tidur. Sekarang masih jam 8 malam, dan bukan kebiasaannya tidur jam segini. Akhirnya aku mendekati Mas Saleh dengan naik ke ranjang. Masih dengan jarak yang dibatasi guling, aku menjulurkan tangan dan menepuk lengannya pelan. “Mas,” panggilku lagi.“Ada apa, sih, Dek?” Aku bisa mendengar nada ketus disahutannya. “Kamu kenapa, Mas? Tumben banget jam segini udah tiduran di kamar.”“Emangnya kenapa? Nggak boleh?” Dia menjawab tanpa membalikkan badan sama sekali. Aku rasa dia marah, tetapi kenapa? Apa alasannya? “Kamu—““Aku ngantuk, Dek. Uda
Bab 66Suami yang Dingin“Maksud kamu gimana, Hil?” Hilda menghela napasnya panjang. Tiba-tiba dia menarik tangan dan membimbingku untuk duduk dia kursi yang berada di belakang kami. Dia masih dengan senyum menawan ketika mengatakan, “Aku nggak tahu apa yang terjadi sama Mbak Mega secara keseluruhan, tapi yang jelas selama ini Mbak Mega sudah menjalani kehidupan yang sangat baik. Aku saja kagum sama Mbak, loh. Sudah jadi istri yang baik, ibu yang pengertian, dan sekarang berhasil mengembangkan bisnis juga.” Dia menjelaskan dengan sangat halus, seolah-olah apa yang dia katakan barusan benar-benar dari hatinya yang paling dalam. Ada sedikit perasaan lega saat mendengarnya. Bukan karena aku merasa demikin baik seperti yang dikatakan Hilda barusan, hanya saja, aku bersyukur masih bisa memiliki teman yang sangat baik dan pengertian seperti wanita cantik di sampingku ini.“Terima kasih, Hil. Tapi, aku nggak sebaik apa yang kamu katakan tadi, kok.” Kalau aku sebaik itu, mana mungkin Mas Sa
Bab 67Pov FebyBukan sebuah kebetulan aku mendatangi toko Mega. Memang apa hebatnya toko kecil dan barang murahan di sana sampai aku harus capek-capek ke sana?! Sekarang aku sedang berada di restoran mahal, tempat biasa aku dan Saleh dulu menghabiskan waktu santai setelah dia pulang bekerja. Dan … lelaki gagah berkulit sawo matang dengan topi kebanggaannya sebagai satpam sudah terlihat di mataku.Bagi sebagaian orang mungkin ini terlalu mengejutkan, tetapi tidak juga buatku. Benar, Saleh saat ini sedang berada di luar restoran, kemudian masuk dan berjalan ke arah mejaku. Aku melambaikan tangan dan tersenyum lebar padanya. Saleh hanya melempar senyum kecil dan membalas lambaian seadanya. “Udah pesan makanannya, Tante?” tanyanya seraya duduk berhadapan denganku. Dia melepas topi dan menaruhnya di atas meja yang hanya tersedia segelas air putih.“Udah tadi. Makanan favorit kamu di sini. Tunggu aja, bentar lagi pasti datang, kok,” jawabku tanpa melepas senyuman. Bagi yang masih bin
EndingBab 1182 tahun kemudian.Pasca perceraian Mega dan Saleh, tidak ada yang menempati rumah kontrakan mereka sebelumnya. Mega memilih untuk tinggal di perumahan sederhana yang berada dekat dengan toko edelweis. Wanita yang kini single parent tersebut terlihat sedang menyiapkan keperluan sekolah anaknya."Kevin, Nak. Ayo segera, nanti kamu terlambat kalau mau nonton TV terus," ujarnya sambil menata bekal yang dia masukkan ke dalam tas sang anak. "Ibu, besok ulang tahunku." Dibanding dengan memberitahu, Kevin terdengar lebih seperti anak yang sedang merengek. "Oh, ya?!" Mega terlihat terkejut. "Masa, sih? Bukannya minggu depan, ya?" Melihat reaksi ibunya, Kevin memberenggut kesal. Tampaknya anak itu kecewa karena dia pikir sang Ibu sudah mempersiapkan sesuatu untuk hari kelahirannya besok. Dia berjalan dengan bahu yang terkulai lemas menuju ibunya, mengulurkan tangan untuk mengambil tas. "Ya udah, deh," bisiknya.Mega diam-diam tersenyum geli. "Wah, Nak. Gimana, nih? Besok bang
Bab 117Mega tidak langsung menjawab pertanyaan dari Ari, teater diam beberapa saat. Di sisi lain Hilda meskipun merasa tidak enak dan ingin memarahi Ari yang ceritanya seperti itu, dia juga tidak bisa mengelak dengan rasa ingin tahu punya tentang perasaan Mega saat ini.Mega sendiri sudah cukup memikirkan hal ini sejak kemarin malam dia bertanya kepada dirinya sendiri tentang keputusan yang telah diambil dulu. Mungkinkah dirinya menyesal karena telah menerima oleh kembali dalam hidupnya? "Kalau terlalu berat buat dijawab, nggak perlu dijawab juga kok Mbak." Ari memberi pengertian karena hal yang dia tanyakan memang cukup sensitif."Akan terkesan bohong juga jika saya bilang baik-baik saja sekarang tapi Jika ditanya tentang penyesalan itu apa saya rasa nggak. Kalau dipikir-pikir memang menyakitkan karena telah dikhianati dua kali. Tapi di sisi lain aku merasa sudah melakukan hal yang tepat karena memberi kesempatan untuk seseorang bukan hal yang buruk." Mega tersenyum. "Aku merasa s
Bab 116Apakah Menyesal?Retno diantar pulang oleh Hilda dan Ari sedangkan Mega dan Saleh pulang ke rumahnya. Hal ini mengenai rumah tangga sepasang suami istri itu yang harus diselesaikan secara pribadi.Saat ini Retno Hilda berada di mobil Ari. Sambil menyetir lelaki itu bertanya, "Kapan kamu memanggil Mega? Kamu bilang nggak mau ngasih tahu dia lebih dulu."Hilda tampak murung, dia juga tidak menyangka bahwa dugaannya selama ini memang benar. "Aku cuma nggak mau Mbak Mega tahu dari orang lain, aku harus ngasih tahu dia karena dia yang paling berhak tahu tentang kelakuan suaminya." Dia melirik ke arah jok belakang di mana Retno berada. "Retno, aku minta maaf karena membiarkanmu menutup toko sendirian.""Ini bukan salah Mbak Hilda, kok. Lagian berkat mbak Hilda juga aku bisa selamat. Mas Ari saya benar-benar berterima kasih atas bantuannya yang tadi." Sekarang kondisi Retno jauh lebih membaik dia, tidak terlihat gemetaran seperti beberapa waktu yang lalu."Besok mungkin toko akan tut
Bab 115Tak Bisa BerkutikRetno bingung harus berkata apa. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa akan mendapatkan tawaran makan malam bersama dari Saleh. Dia masih pada dirimu waktu di depan pintu toko sebelum akhirnya tiba-tiba Saleh menarik tangannya. "Pak Saleh?! Apa yang Anda lakukan?" Dia mulai jadi takut sekarang dia melihat ke sekeliling mencoba untuk mencari pertolongan.Namun, entah mengapa mendadak suasana menjadi sepi dan orang-orang tidak peduli kepadanya. Retno mencoba untuk melepaskan diri dari genggaman Saleh tetapi lelaki itu justru semakin mengeratkan pegangannya."Pak Saleh, Apa yang anda lakukan?! Tolong lepaskan saya segera!" Ratna sedikit berteriak, tetapi dia justru mendatan4g berarti karena langkah lelaki itu demikian. Saleh menoleh dan menatap Retno dengan sorot mata tajam. "Ikut saja denganku atau kamu akan tahu akibatnya!""Tapi mau ke mana, Pak?! Saya harus segera pulang karena ibu pasti sedang menunggu saya."Retno masih berusaha untuk melepaskan diri s
Bab 114Saat ini saya sedang berada di toko titik dia melihat karyawannya yaitu Retno dan Hilda yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Semenjak dirinya menjadi pemilik toko edelweis kegiatan yang Saleh lakukan tidak jauh-jauh dengan mengamati memperhatikan sedangkan hampir keseluruhan mengenai barang produk dan pengeluaran serta pendapatan masing-masing mendapat bagiannya.Saat itu juga, Saleh merasa benar-benar menjadi seorang usahawan yang sukses. Berbeda saat Mega yang menjadi pemilik toko itu, wanita tersebut tidak bisa membiarkan tubuhnya berada dalam keadaan santai. Bagi kedua karyawan di toko edelweis, sikap Saleh yang seperti itu sudah menjadi kebiasaan bagi mereka dan tidak perlu mempermasalahkannya karena memang karyawan yang harus bekerja."Retno," panggil saya ketika Si empunya nama sedang menata letak manekin yang digantung di tembok.Retno menjatuhkan pandangannya seraya menurunkan tongkat yang sedang dia pegang. "Ada apa Pak?""Bisa ikut saya ke ruang staf s
Bab 113Mega tidak mengajak Saleh bicara lagi setelah pertengkaran beberapa menit yang lalu. Saat ini dirinya masih berada di ruang tamu sedangkan Saleh sudah masuk ke dalam kamar. Setidaknya, Saleh tidak keluar lagi malam ini seperti malam-malam sebelumnya.Wanita itu sedang merenungkan, berpikir tentang apa yang kemungkinan terjadi pada suaminya itu sampai bisa marah besar dan memintanya agar pergi dari hadapan Mega merasa sakit hati, terluka dan tercabik-cabik namun dia juga berpikir bahwa mungkin saja terjadi sesuatu hal yang buruk saat Saleh berada di luar dan hal yang memungkinkan bagi lelaki tersebut melepaskan emosi ketika berhadapan dengan sang istri.Karena hal itulah Mega mencoba untuk mengerti dan memaafkan Saleh sekali lagi.Setelah cukup lama dia berada di ruang tamu sambil menunggu Anda harus suaminya tertidur terlebih dahulu, dia beranjak dari sana dan menuju ke kamar. Saat itu juga dia baru tersadar ada pakaian yang teronggok di lantai dan itu terlihat asing di matany
Bab 112"Kenapa kamu jadi bentak-bentak aku?! Emangnya apa yang salah, hah? Orang Kamu yang bilang sendiri waktu dulu, kok. Kamu butuh uang yang banyak karena nggak mau jadi bahan tertawaan dan ejekan teman, tenagga dan saudara sendiri!" Tidak mau kalah, Febi membalas dengan suara yang lebih nyaring. Hal itu tentu saja membuat orang-orang di sekitar mereka memperhatikan keduanya dengan tatapan heran sekaligus tatapan seolah mereka terganggu. Pelayan yang sedang menyajikan makanan di atas meja Mereka pun sampai melirik takut-takut baik kepada si wanita maupun pria."Tapi itu dulu, tante! Itu karena aku benar-benar putus asa! Aku nggak mau dipandang rendah sama orang lain! Tante mungkin nggak merasakan gimana penderitaanku saat itu karena tante emang nggak pernah kekurangan uang sama sekali!" Wajah Saleh memerah dengan bola mata yang melotot dan seolah hampir keluar hanya dengan satu kali hentakan saja. Dia tidak peduli dengan Bagaimana pandangan orang di sekitar melihatnya.. sudah ter
Bab 111“Ini, aku serius. Kalau aku jadi cowok, udah naksir berat sama Mbak Mega.” Hilda masih tetap bersikeras menjadikan mantan bosnya itu sebagai topik pembicaraan kali ini.“Kenapa mikirnya begitu?”“Yah, Mas ini nggak peka atau emang nggak peduli, sih?”“Apa bedanya?”Hilda terkikik. “Ya emang, sih. Apa yang bisa diharapkan sama Mas Ari? Hidupnya seakan terjebak dalam tempurung kelapa. Masa lalu masih aja menjadi alasan buat nggak melirik orang lain.” Dia mencibir, tidak peduli dengan eskpresi Ari yang hampi seperti ingin memakannya.“Nggak punya kaca atau emang udah lupa kalau kamu punya muka?” tukasnya tak mau kalah. “Orang yang punya masalah sama kenapa harus saling meledek, sih?” Jeda sesaat untuknya meminum es hingga tandas. “Kamu juga harus ingat kepada siapa kamu mengadu soal perceraianmu dan berapa lama kamu menggalau.”Hilda meringis. Mana mungkin dia lupa tentang masalah yang menjadi titik balik kehidupannya? Dia dan mantan suami yang berakhir dengan perpisahan. Masalah
Bab 110Retno masih menangis tersedu-sedu di rumahnya. Saat ini sudah ada Mega dan Hilda yang berkunjung. Setelah insiden Retno yang tertangkap melakukan pencurian di toko dia terus menyesali perbuatannya setiap kali berhadapan dengan mantan bos dan rekan kerjanya, dia tidak bisa menyembunyikan rasa bersalah. "Kami ke sini bukan untuk melihat kamu menangis, melainkan mau melihat ibumu." Hilda yang tidak tega melihat tangisan Retno akhirnya bersuara. Sementara Mega mengeluarkan tisu dari tasnya. Dia mengulurkan tisu itu untuk Retno. "Di sini juga ada kesalahan kami karena tidak terlalu memperhatikan kesulitan kamu. Mau bagaimanapun juga kamu tetap bagian dari rekan kami yang seharusnya mendapatkan perhatian yang layak." Dia menambahkan, mencoba untuk menenangkan gadis itu.Retno membersit hidungnya sebelum menjawab, "Tetap aja saya merasa bersalah karena sudah melakukan hal yang memaluka, Mbak.""Kalau kamu merasa bersalah dan malu, aku rasa itu udah cukup. Tandanya, kamu nggak meny