"Lihat aku, Risa. Kenapa kamu mengemasi pakaianmu? Apa yang terjadi?" kini Dave menyentuh kedua sisi tubuh Risa.Risa menatap Dave keheranan."Pak, bukannya saya harus berhenti sekarang juga? Saya sedang mengemas pakaian dan hendak pergi kembali ke rumah orang tua saya. Maaf karena telah mengecewakan bapak," kata Risa pelan dan sedih. Dan iapun tidak bisa lagi menahan tetesan air matanya yang memaksa untuk keluar."Kamu? Mau pulang? Kenapa? Apakah karena apa yang kuucapkan tadi?"Risa mengangguk pelan. Ia melakukannya memang karena ucapan Dave tadi yang tidak mau lagi mempekerjakan dirinya."Risa... maafkan aku. Maafkan kalau aku mungkin terlalu terburu-buru dalam mengatakannya. Aku tidak bermaksud memaksamu untuk....uhmm... tunggu. Bukankah aku belum menyatakan perasaanku?""Maksudnya?" Risa malah bingung, sama bingungnya dengan Dave."Risa... kata-kata mana yang aku katakan sehingga kamu mengemas pakaianmu?" tanya Dave, ia merasa telah terjadi salah faham di sini."Bukankah tadi Pak
Risa benar-benar tak bisa menjawab celotehan bocah kecil itu, mengingat bagaimana dekatnya ia dengan Ceila. Berat rasanya untuk pergi dari tempat itu, namun bagaimanapun ia harus punya harga diri. Ia sangat takut Dave hanyalah melecehkan dirinya saja."Mommy, apakah Mommy harus pergi?" tanya bocah itu dan memegangi tangan Risa. "Kalau mommy pergi, maka Ceila akan ikut Mommy," kata bocah itu kemudian.Risa yang masih terpaku dalam kebingungannya, antara melanjutkan langkahnya atau meladeni ucapan bocah itu. Ia sungguh takut Ceila semakin memberatkan langkahnya untuk pergi."Mommy?" kini bocah itu mengguncang tubuh Risa, menuntut penjelasan dari Risa apakah dia bisa ikut kemanapun Risa pergi.Risa menggigit bibirnya, ia merasa kelu mendengarkan rengekan Ceila kecil, ia sangat pilu mendengarnya."Ceila, Daddy pasti akan mendapatkan mommy yang lebih baik dalam merawat Ceila, jadi Ceila nggak perlu khawatir, ya. Ceila pasti akan senang dengan Mommy baru Ceila, hmm?" kata Risa mengelus punc
Barbara dan juga Ovan saling melemparkan pandangan dengan tersenyum geli. Mereka memang belum mengabarkan perihal kehamilan dikarenakan rencana ayahnya yang ingin menikahkan Barbara dengan Leo. Terlebih lagi, kehamilan itu bisa saja membuat ayahnya semakin murka."Papa, kami baru mau mengabarkan, akan tetapi papa malah mau menikahkan aku dengan Leo. Apa papa tau, berapa terkejutnya aku dengan keadaan itu. Rasanya aku hampir putus asa mengingat bagaimana papa memaksaku seperti itu."Anton Bagaskara mengingat kejadian itu dengan jelas, dan ia tahu bahwa ia memang bersalah terhadap putrinya."Maafkan papa, Ya. Papa sungguh tidak tau lagi ia harus berbuat apa. Papa harus menjebak Leo, tapi tidak menyangka kalau kamu sedang hamil. Akan tetapi apakah bayimu baik-baik saja?""Tentu saja, Pa. Dia sangat kuat seperti ibunya."Anton Bagaskara memeluk Barbara dan sangat terharu. Merasa bahagia bersama dengan rasa bersalah. Putri semata wayang yang ia harapkan mengganti posisinya suatu hari nanti
Ia juga tahu telah banyak berkata-kata yang mungkin menyakiti perasaan Risa dahulu. Ia menyadari bahwa kesalahan itu mungkin masih terasa menyakitkan bagi Risa. Akan tetapi soal perasaannya yang memang menyukai Risa saat ini, ia juga tidak berbohong. Namun bagaimana ia memperbaiki keadaan jika sudah begini?"Aku tahu aku memang bodoh dalam bersikap. Aku tidak bisa mengendalikan diriku dan bersikap kekanak-kanakan, Risa. Itulah sebabnya kini cara pandangku kini berubah. Kenyataan bahwa cinta memang tidak memandang status sosial seseorang, sekarang sama-sama tidak bisa kita pungkiri bukan?" ujarnya kemudian.Risa diam, karena sekarang keadaan justru berbalik arah. Ia merasa memang Dave tidak memandang status sosial sekarang ini, akan tetapi justru dirinya yang perduli perihal status sosial mereka."Hmm, aku bersyukur. Setidaknya aku menjadi sedikit percaya diri. Masalah perasaanku, aku harus memastikan dulu... bolehkah?" kata Risa dengan tersenyum.***Nyonya Veina memeluk Barbara saat
"Dia adalah wanita yang sangat baik sebelum aku tahu semua kebenaran ini. Dia sangat perhatian kepadaku, tapi ternyata semua itu hanyalah kedok belaka," kata Barbara menerangkan, mengenang masa indah bersama Selen yang berakhir kehancurannya.Veina mengerti sekarang, bahwa putrinya mengahadapi banyak sekali rintangan dalam hidupnya tanpa dirinya sebagai seorang ibu. Ia bisa membayangkan bagaimana gadis seperti Barbara dikhianati lalu hendak dibunuh sahabatnya sendiri. Seharusnya, ia ada sebagai pelindung di sisi Barbara. Apa hendak dikata, semua itu telah berlalu dan menjadi sebuah sejarah kelam antara dirinya dengan putrinya sendiri. Ia sungguh menyesali semua itu, akan tetapi semua tidak akan berguna lagi.Veina ingin memeluk Barbara, akan tetapi tubuhnya terkurung dalam jeruji besi yang kokoh. Ia tak bisa memeluk putrinya yang kini sedang bersedih hati."Apakah kau ingin menangis?" tanya Veina lembut, mengulurkan tangannya menyentuh untaian rambut Barbara."Tidak, Ma. Aku tidak la
"Kenapa Papa berpikir seperti itu? Aku telah memaafkan mama, meskipun semua itu telah menjadi mimpi buruk bagiku. Akan tetapi toh semua sudah berlalu. Wanita yang telah melahirkan dan merawatku meskipun tidak begitu lama, tapi dia tetaplah ibuku. Darahnya telah mengalir di tubuhku, Papa. Aku tidak perduli soal apa yang telah aku alami dahulu," ujarnya penuh keyakinan."Baiklah. Aku bisa mengerti. Kau memang selalu bersikap netral, tapi bagaimana dengan Lena, dia adalah istriku yang selalu menjagamu. Apa kau tidak mengerti, bagaimana kau selama ini selalu menuduhnya pengkhianat, apa itu juga sepadan untuknya, Barbara?"Lena terlihat bergeser, meraih tangan suaminya dan menahan pria itu untuk tidak perlu mengatakan apapun. Ia tidak mau menjadi tidak nyaman di hadapan anak tirinya. Terlebih sekarang Veina sudah ada di Indonesia, ia akan memilih untuk tidak terlihat. Apapun yang Barbara tuduhkan kepadanya, itu hanya masa lalu dan bagian dari resiko hidupnya."Pa, Barbara tahu kalau Barbar
"Benarkah? Di mana dia ditemukan?"Barbara terkejut mendengarnya, ia merasa ada sesuatu yang membuatnya merasa sedih tapi juga merasa lega. Bagaimana juga, sahabatnya itu telah melakukan tindakan kriminal."Kenapa Barbara, kau terlihat tidak senang? Penjahatnya sudah ditemukan, kamu tidak ingin dia tertangkap padahal kamu hampir saja mati di tangannya. Apa aku salah?"kata Ovan, ia memicingkan matanya demi melihat istrinya yang terlihat bingung dengan berita itu."Bukan begitu, aku hanya merasa persahabatan kami dulu masih sangat berarti. Tentu saja aku merasa sedih kalau aku harus memberikan hukuman untuk dia. Tapi baiklah...aku akan bersikap tegas untuk membuat dia jera. Tapi tolong diingat, dia juga ibu dari keponakanku, suamiku," ujarnya memelas.Ovan tersenyum kecut. Bagaimana mungkin persahabatan itu lebih penting dari nyawanya sendiri. Bahkan bagi Ovan, kejahatan Selen itu bertumpuk dan berlapis -lapis.Sudah berkhianat, berniat membunuh, memanipulasi dan sekarang meninggalkan
Barbara makin serius menatapnya. Ia bisa memahami meskipun Dave tidak mengatakannya, akan tetapi menjadikan Ceila sebagai alasan?"Kamu sungguh hanya perduli karena dia menyayangi Ceila?" desak Barbara."Hmm, iya, memangnya apa lagi? Kau pikir aku begitu mencintai gadis seperti Risa? Aku punya Ceila yang cantik, aku akan melakukan apapun untuk Ceila.""Dave, apa kau yakin dengan apa yang kamu katakan? Aku justru melihatmu sangat menyukainya, jujurlah Dave," katanya lagi."Aish, kau ini. Masalah cinta bukan yang terpenting, Barbara. Tapi Ceila...uuh, bagaimana aku merawatnya kalau tidak ada Risa?"Barbara menggelengkan kepalanya, tak mengerti dengan jalan pikiran Dave yang keterlaluan. Ia sangat yakin tatapan Risa pada Dave adalah tatapan cinta dan begitu juga tatapan Dave terhadap Risa. Akan tetapi masih saja Dave tidak berterus terang. Ini cukup menyebalkan.Dan ternyata, mereka juga tak menyadari kalau Risa mendengar semua percakapan itu. Tentu saja itu membuatnya marah. Ia sungguh