Di suatu tempat, Leo bertengkar hebat dengan Selen."Kau harus tanggung jawab, Leo! Aku hamil!" Selen berteriak histeris karena Leo baru akan beranjak pergi.Mendengar perkataan Selen, langkahnya terhenti. Telapak tangannya mengepalkan tinjunya."Hamil? Bagaimana mungkin, Selen? Kau an aku melakukannya padamu?""Kau...kau mana mungkin ingat. Malam itu kau mabuk berat, dan melecehkan aku," ujarnya sambil terisak-isak.Leo memicingkan matanya. Awalnya mereka berbicara soal pernikahan, Selen meminta untuk bisa segera menikah, sedangkan kondisi ayah Leo sedang koma di rumah sakit. Ia tak ingin menikahi Selen dengan cepat hingga setidaknya kondisi keluarganya sedikit tenang.Akan tetapi ternyata Selen mendesak Leo dan tak mau perduli dengan kondisi keluarga Leo yang sedang kesusahan. Hal itu membuat mereka bertengkar hebat."Selen...kamu nggak salah ngomong 'kan? Benarkah aku melakukan hal yang tak senonoh kepadamu?""Leo, mana mungkin aku melakukannya dengan pria lain? Aku kekasihmu, dan
Dokter Lusi mematung, mencoba mencerna kalimat yang baru saja ia dengar dari Leo. Melihat mata pria itu seperti orang bingung dan penuh keraguan."Apa maksudmu, Leo?""Begini... masalahnya aku tak pernah merasa melakukan sesuatu kepadanya. Dia bilang, aku melakukannya saat mabuk tempo hari, tapi aku tak merasa aku melakukannya, tidak mungkin!""Bisakah kau mengingat, kapan kau mabuk berat waktu itu? Ini sangat penting untuk menjadi bukti."Leo mengingat kejadian dimana malam itu adalah malam ketika ayahnya pertama kali tidak sadarkan diri koma di rumah sakit."Kurasa dua bulan lalu, Dokter."Dokter tersenyum, sepertinya tidak cocok dengan kehamilan Selen."Aku tidak yakin, tetapi sepertinya tidak cocok dengan usia kehamilan Selen, karena Selen sudah hamil dua belas pekan yang artinya selisih satu bulan dengan kehamilan dan kejadian malam itu."Leo mengepalkan tangannya, merasa kesal karena dibodohi gadis itu. "Jadi apa yang akan kau lakukan, Leo?""Entahlah, aku sudah berjanji untuk
Setelah kejadian itu Barbara sedikit canggung. Apakah benar, seorang lelaki bisa menahan dirinya sampai segitunya meskipun mereka telah menikah?Barbara mencoba menghubungi Lisa, teman sekolahnya yang menikah karena perjodohan orang tuanya. Ia sangat penasaran dengan hal itu."Lis, boleh tanya nggak?""Tanya apa?""Waktu menikah dengan Bobi, kalian langsung pa enggak?""Langsung gimana sih, Bar? Aku nggak ngerti maksudmu.""Ya, langsung begitu lah," ujarnya malu malu.Lisa malah tertawa terbahak-bahak. "Gila kamu ya, lelaki menikah itu emang buat apaan? Ya mereka merasa rugi kalau nggak langsung.""Ooh... begitu.""Emangnya kenapa? Kalian belum setelah satu bulan ini? Hebat, impoten enggak suami elu?" Lisa black blakan.Barbara merenung. Kejadian setelah mandi ketika ia menggoda Ovan kemarin tidak menunjukkan kalau Ovan pria impoten."Enggak, Lis. Dia enggak impoten. Aku melihatnya.""Hah? Cuma ngeliat doang? Kenapa nggak kamu pakai? Ha hah hah." Lagi lagi Lisaterbahak-bahak.Barbar
Ovan menerima pass card untuk suite room. Waktu masih belum terlalu sore sehingga keadaan hotel cukup banyak lalu lalang pelanggan. Dengan segera, Ovan meminta office boy membawa perlengkapan mereka untuk dibawa ke ruangan mereka.Setelah selesai, seperti biasa Ovan akan membantu Barbara dengan tongkat berjalannya."Ovan, apakah kau malu memiliki istri pincang sepertiku?" katanya sambil mengawasi beberapa orang yang melihat Barbara dengan pandangan kasihan."Aku? Tentu tidak, Barbie. Itu tidak terjadi padaku, apalagi aku mengetahui apa yang terjadi padamu adalah bukan keinginan mu."Di sisi lain, banyak anak kampus yang mengatakan bahwa Ovan menikahi Barbara adalah karena uangnya. Bukankah kalau dipikir-pikir, mereka mengatakan yang sebenarnya, bahwa tujuan Ovan menikah dengan Barbara adalah untuk uang?"Jadi, kau sungguh menerima keadaanku apa adanya bukan? Menerima keadaanku yang cacat ini, menerima aku yang mungkin memiliki sesuatu yang buruk di belakangku.""Barbie, kau selalu mer
"Ovan, kita hanya sedikit bersenang senang, kenapa kau begitu marah?"Ovan tak menjawab, ia diam seribu bahasa sampai mobil itu mengantarkan sampai tempat tujuan."Turunlah sayang, kita sudah sampai."Sedikit ragu, Ovan akhirnya turun dari mobil yang mereka tumpangi. Mereka masuk ke sebuah ruangan kafe dengan hiruk pikuk yang sudah biasa di telinganya."Jadi, siapa yang akan kau temui?""Sabarlah sayang, dia adalah suami istri, dan suaminya seorang seniman terkenal di Jakarta. Aku juga tak yakin apakah sudah pernah mengenalnya atau belum. Yang jelas, aku akan membeli sebuah lukisan dari mereka.""Benarkah? Aku tak pernah tahu kalau kau menyukai lukisan.""Ovan, kau baru mengenalku, tentu saja kau tak akan banyak tahu kesukaanku."Seratus persen, ucapan itu hanya karangan belaka. Ia tak pernah menyukai sesuatu yang bersifat melankolis seperti seni lukis atau musik apapun namanya. Ia lebih suka berkuda, memanah atau memainkan senapan. Terkadang, ia akan berlatih boxing, Thai chi atau je
Malam larut, mereka hanya insan yang kesepian di sebuah kamar hotel, hanya membutuhkan satu sama lain. Ovan mulai melihat pesona Barbara yang begitu menggoda meskipun ia sadar, tak seharusnya ia tertarik. Seharusnya ia mencurahkan perasaan itu hanya untuk Vanessa. Sementara wanita di hadapannya itu menatap sendu seakan mendambakan sesuatu. Sama seperti dirinya yang menginginkan hal itu. Mereka terbuai dalam gejolak hasrat saling melampiaskan. Barbara merengkuh leher Ovan begitu erat, menyatukan bibir mereka dan bahkan lebih dan lebih dari itu mereka mulai terbakar gairah.Hingga sebuah dering telepon mengejutkan mereka."Ovan, siapa yang menelpon malam malam begini?" tanya Barbara dalam posisi masih terkungkung tubuh Ovan. Dengan segera Ovan meraih ponsel Barbara."Ini dari papa, angkatlah, sepertinya sangat penting."Barbara mengangkat panggilan itu."Papa, apa yang terjadi? Kenapa meneleponku?""Barbara, kau harus pulang ke rumah malam ini juga. Ada masalah penting di kantor. Kau h
Mata Barbara sedikit berbinar, setidaknya ia bisa berharap Ovan tidak sebrengsek itu. Ia akan memaafkan masa lalu Ovan, toh dirinya juga tidak sempurna. "Kalau begitu, kau melakukannya karena apa? Apakah karena uang?"Ovan memalingkan wajahnya, melihat jalanan padat di sekitarnya di luar mobilnya. Ia selalu melakukan segalanya untuk uang, bukan untuk mencari bahagia bagi dirinya sendiri, akan tetapi demi seseorang yang sangat ia cintai. Lalu bagaimana ini bisa dikatakan mencintai, kalau dia benar-benar terjatuh dalam pesona Barbara?'Tidak, itu berbeda. Aku tidak jatuh cinta pada wanita ini, ini hanya sedikit kesalahan, ini karena rasa kasihan untuk sementara waktu,' batinnya bermonolog."Ovan?""Oh, Barbara...aku jadi sedikit malu mengatakannya.""Kenapa malu? Aku ini istrimu, apakah dulu kau butuh uang untuk kuliah? Hmm, sekarang, kau bisa mengatakannya kepadaku berapapun yang kau butuhkan. Aku punya uang, kau bisa memakainya.""Barbie, kau tak perlu terlalu memikirkan hal semacam
Ovan merasa sakit, sejauh ini ia melangkah ia telah kehilangan kesempatan yang sangat berharga dalam hidupnya. Menyelamatkan Vanessa, itu adalah tujuan utamanya, tapi apa?Ia terlena dengan kemesraan bersama Barbara, ia lupa bahwa Nyonya Vein telah benar-benar melakukan keinginannya sendiri karena kehilangan kesabaran padanya."Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" lirihnya dengan pandangan kosong di lantai yang dingin.Di Perusahaan, beberapa orang berkumpul dengan perangkat mereka. Terlihat sekali bagaimana sibuknya dan seriusnya mereka. Tuan Anton Bagaskara menunggu dengan cemas, apa yang sedang mereka kerjakan. "Papa, berapa uang kita yang hilang?" bisik Barbara.Anton menatap putrinya, ia sedih karena harus mengganggu acara bersenang senang pengantin baru putrinya."Hanya seratus ribu setiap beberapa menit, dan ini sudah berlangsung selama tiga puluh jam. Sepertinya mereka akan menguras seluruh aset milik kita.""Apa yang harus kita lakukan, Pa?""Sebagian, Papa sudah mem