Ovan menerima pass card untuk suite room. Waktu masih belum terlalu sore sehingga keadaan hotel cukup banyak lalu lalang pelanggan. Dengan segera, Ovan meminta office boy membawa perlengkapan mereka untuk dibawa ke ruangan mereka.Setelah selesai, seperti biasa Ovan akan membantu Barbara dengan tongkat berjalannya."Ovan, apakah kau malu memiliki istri pincang sepertiku?" katanya sambil mengawasi beberapa orang yang melihat Barbara dengan pandangan kasihan."Aku? Tentu tidak, Barbie. Itu tidak terjadi padaku, apalagi aku mengetahui apa yang terjadi padamu adalah bukan keinginan mu."Di sisi lain, banyak anak kampus yang mengatakan bahwa Ovan menikahi Barbara adalah karena uangnya. Bukankah kalau dipikir-pikir, mereka mengatakan yang sebenarnya, bahwa tujuan Ovan menikah dengan Barbara adalah untuk uang?"Jadi, kau sungguh menerima keadaanku apa adanya bukan? Menerima keadaanku yang cacat ini, menerima aku yang mungkin memiliki sesuatu yang buruk di belakangku.""Barbie, kau selalu mer
"Ovan, kita hanya sedikit bersenang senang, kenapa kau begitu marah?"Ovan tak menjawab, ia diam seribu bahasa sampai mobil itu mengantarkan sampai tempat tujuan."Turunlah sayang, kita sudah sampai."Sedikit ragu, Ovan akhirnya turun dari mobil yang mereka tumpangi. Mereka masuk ke sebuah ruangan kafe dengan hiruk pikuk yang sudah biasa di telinganya."Jadi, siapa yang akan kau temui?""Sabarlah sayang, dia adalah suami istri, dan suaminya seorang seniman terkenal di Jakarta. Aku juga tak yakin apakah sudah pernah mengenalnya atau belum. Yang jelas, aku akan membeli sebuah lukisan dari mereka.""Benarkah? Aku tak pernah tahu kalau kau menyukai lukisan.""Ovan, kau baru mengenalku, tentu saja kau tak akan banyak tahu kesukaanku."Seratus persen, ucapan itu hanya karangan belaka. Ia tak pernah menyukai sesuatu yang bersifat melankolis seperti seni lukis atau musik apapun namanya. Ia lebih suka berkuda, memanah atau memainkan senapan. Terkadang, ia akan berlatih boxing, Thai chi atau je
Malam larut, mereka hanya insan yang kesepian di sebuah kamar hotel, hanya membutuhkan satu sama lain. Ovan mulai melihat pesona Barbara yang begitu menggoda meskipun ia sadar, tak seharusnya ia tertarik. Seharusnya ia mencurahkan perasaan itu hanya untuk Vanessa. Sementara wanita di hadapannya itu menatap sendu seakan mendambakan sesuatu. Sama seperti dirinya yang menginginkan hal itu. Mereka terbuai dalam gejolak hasrat saling melampiaskan. Barbara merengkuh leher Ovan begitu erat, menyatukan bibir mereka dan bahkan lebih dan lebih dari itu mereka mulai terbakar gairah.Hingga sebuah dering telepon mengejutkan mereka."Ovan, siapa yang menelpon malam malam begini?" tanya Barbara dalam posisi masih terkungkung tubuh Ovan. Dengan segera Ovan meraih ponsel Barbara."Ini dari papa, angkatlah, sepertinya sangat penting."Barbara mengangkat panggilan itu."Papa, apa yang terjadi? Kenapa meneleponku?""Barbara, kau harus pulang ke rumah malam ini juga. Ada masalah penting di kantor. Kau h
Mata Barbara sedikit berbinar, setidaknya ia bisa berharap Ovan tidak sebrengsek itu. Ia akan memaafkan masa lalu Ovan, toh dirinya juga tidak sempurna. "Kalau begitu, kau melakukannya karena apa? Apakah karena uang?"Ovan memalingkan wajahnya, melihat jalanan padat di sekitarnya di luar mobilnya. Ia selalu melakukan segalanya untuk uang, bukan untuk mencari bahagia bagi dirinya sendiri, akan tetapi demi seseorang yang sangat ia cintai. Lalu bagaimana ini bisa dikatakan mencintai, kalau dia benar-benar terjatuh dalam pesona Barbara?'Tidak, itu berbeda. Aku tidak jatuh cinta pada wanita ini, ini hanya sedikit kesalahan, ini karena rasa kasihan untuk sementara waktu,' batinnya bermonolog."Ovan?""Oh, Barbara...aku jadi sedikit malu mengatakannya.""Kenapa malu? Aku ini istrimu, apakah dulu kau butuh uang untuk kuliah? Hmm, sekarang, kau bisa mengatakannya kepadaku berapapun yang kau butuhkan. Aku punya uang, kau bisa memakainya.""Barbie, kau tak perlu terlalu memikirkan hal semacam
Ovan merasa sakit, sejauh ini ia melangkah ia telah kehilangan kesempatan yang sangat berharga dalam hidupnya. Menyelamatkan Vanessa, itu adalah tujuan utamanya, tapi apa?Ia terlena dengan kemesraan bersama Barbara, ia lupa bahwa Nyonya Vein telah benar-benar melakukan keinginannya sendiri karena kehilangan kesabaran padanya."Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" lirihnya dengan pandangan kosong di lantai yang dingin.Di Perusahaan, beberapa orang berkumpul dengan perangkat mereka. Terlihat sekali bagaimana sibuknya dan seriusnya mereka. Tuan Anton Bagaskara menunggu dengan cemas, apa yang sedang mereka kerjakan. "Papa, berapa uang kita yang hilang?" bisik Barbara.Anton menatap putrinya, ia sedih karena harus mengganggu acara bersenang senang pengantin baru putrinya."Hanya seratus ribu setiap beberapa menit, dan ini sudah berlangsung selama tiga puluh jam. Sepertinya mereka akan menguras seluruh aset milik kita.""Apa yang harus kita lakukan, Pa?""Sebagian, Papa sudah mem
"Kau sudah datang? Uhmm, maaf, aku tertidur jadi tak mendengar kalau kau sudah sampai di rumah.""Tak apa, ayolah ganti pakaianmu. Kau terlihat sangat letih, seharusnya tidurlah yang nyaman di tempat tidur."Ovan menurut saat Barbara memintanya untuk berganti pakaian. Wanita itu sedikit tertatih tatih karena apa yang dideritanya belum sembuh total."Jangan dipaksakan, aku bisa melakukannya sendiri," ujarnya saat Barbara mencoba menyiapkan pakaian untuk Ovan. "Dan kau pasti lebih letih dariku, kau juga harus membersihkan dirimu dan mengganti pakaian yang nyaman."Barbara tersenyum, Ovan yang begitu perhatian, ia sungguh menyukainya. Bagaimana mungkin ayahnya menuduh Ovan seorang pria yang berkhianat?"Aku akan membantumu ke kamar mandi, dan setelah selesai mari kita beristirahat bersama.""Hmm."Mereka berbaring di pembaringan dengan berpelukan erat. Meskipun Ovan merasa brengsek melakukannya, hatinya masih belum stabil dan membutuhkan seseorang untuk bisa menghiburnya. Entah mengapa,
Mendengar umpatan Barbara, jantung Ovan berdesir kencang. Ia menatap binar kemarahan yang teramat sangat di mata gadis itu, akan tetapi itu sangat wajar juga.Lalu bagaimana kalau seandainya Barbara tahu, dirinya adalah pelakunya?Kekecewaan Barbara kepadanya pasti akan berlipat-lipat dari hanya sekedar kecewa kepada Leo yang berkhianat kepada Barbara itu. Kekecewaan Barbara mungkin tidak akan habis sampai tujuh turunan karena ini tidak hanya penipuan uang, tapi penipuan cinta.Mereka tiba di Perusahaan. Anton Bagaskara masih sibuk dengan pekerjaannya mengawasi team yang sedang mengatasi keadaan perusahaan yang genting. Saat masuk ke ruangan itu Barbara dikejutkan dengan kehadiran Leo di dalam ruangan kerja mereka."Leo?" "Hai Barbara, kau bekerja di perusahaan ini? Ouh, bahkan Ovan suamimu ini juga di perusahaan yang sama." Pandangan Leo menusuk ke arah Ovan yang berdiri di samping Barbara."Bukan urusanmu, kami tidak merepotkan kamu, untuk apa kamu julid begitu?""Bukan julid, tapi
"Aku tahu, aku tahu dan ini membuatku harus membuktikan dengan caraku sendiri, jangan sampai Ovan menjadi orang yang bersalah atas sesuatu yang bukan perbuatannya."Leo merasa kesal, ia tak mengerti mengapa Barbara melindungi seorang penjahat seperti Ovan, membiarkan orang rendahan seperti Ovan berada di sisinya. Ya, Ovan tak lebih baik dari dirinya."Baik, terserah padamu. Aku hanya merasa heran, bagaimana mungkin perusahaan ini tidak memeriksa latar belakang seseorang dan bahkan memanfaatkan kamu? Orang seperti Ovan bisa bekerja di tempat ini pastilah karena kamu terlalu percaya kepadanya."Barbara tak perduli dengan ocehan Leo mengenai Ovan. Ia masih shock dan belum hilang rasa terkejutnya."Barbie, aku juga tahu bahwa Ovan itu hanyalah pria brengsek, aku tahu siapa jati dirinya dengan sebutan sang Pangeran."Barbara terkejut. "K-kau juga tahu itu?""Ya, aku tahu dan aku waktu itu hendak memberi tahu kepadamu di hari pernikahanmu..., tapi sayangnya kau malah marah kepadaku."Barbar