Melihat sang Tuan terkapar mengenaskan dengan kondisi buruk di lantai, bodyguardnya bergegas menghampiri dan membantu untuk duduk. Lalu, sang bodyguard beralih menatap Aditama geram. Giginya gemeretak.Ia tidak terima ... seorang pria yang tidak mempunyai nama dan belum jelas latar belakangnya itu. Akan tetapi, bisa mengalahkan majikannya yang notabene adalah salah satu seseorang yang berpengaruh di kota Ferandia. Ia tidak mau tahu ... pokoknya ia harus bisa menghabisi pria itu untuk membalas apa yang telah ia lakukan kepada Tuan Theonya barusan. Lalu, ia langsung berdiri dengan muka memerah karena marah, napasnya menderu, kemudian langsung merangsek maju sambil berteriak —hendak menyerang Aditama. Melihat hal itu, dua tukang pukul senior Aditama melotot, mencerna apa yang terjadi dalam sepersekian detik sebelum kemudian bergegas melangkah maju. "Kali ini biar kami yang urus dia, Tuan!" kata tukang pukul itu yang langsung diangguki tukang pukul satunya. Tanpa menunggu respon d
Tentu saja Theo langsung merasa takut.Apalagi saat melihat Panji yang terlihat begitu murka. Pasalnya, ia tunduk pada keluarga Gandara."T-tuan Panji ... k-kenapa Anda bisa ada di sini? Ada urusan apa Anda datang ke sini?" tanya Theo sambil menunjuk Panji. Seketika ia tercekat.Ia menjadi bertanya-tanya dengan kemunculan orang kepercayaan keluarga Gandara tersebut secara tiba-tiba dan menghubungkanya dengan kejadian yang baru terjadi. Mendengar hal itu, Panji mendengus dingin. "Berani-beraninya kau menyentuh istrinya Tuan Muda keluarga Gandara!!!" seru Panji dengan suara meninggi dan wajah mengeras sambil menunjuk muka Theo. Mengabaikan pertanyaan pria itu. Sontak, Theo melotot. Tuan Muda keluarga Gandara? Siapa Tuan Muda yang dimaksud Panji?Selama sesaat, Theo tampak kebingungan, tengah mencerna perkataan Panji untuk beberapa saat. Pandangan Theo lalu pindah menatap Aditama sekilas yang juga sedang menatapnya dengan senyuman penuh arti. Mendadak, Theo merasa tak karu-karuan.
Tiba di apartemen, Aditama langsung menyuruh Vania duduk di sofa. Sang istri mengangguk menurut. Sedangkan Aditama bergegas pergi ke dapur dan kemudian membuatkan minuman hangat untuk Vania. Tak lama kemudian, Aditama telah kembali dengan membawa segelas minuman hangat, duduk di samping Vania, lalu menyodorkannya kepada sang istri.Vania menerimanya seraya berkata. "Terima kasih, Tam." Lagi-lagi, hal kecil tapi manis yang dilakukan oleh Aditama membuat Vania merasa tersentuh. Aditama tersenyum. "Sama-sama." Dia kemudian menambahkan. "Minum lah."Vania mengangguk menurut dan segera meminumnya. Lalu, setelah Vania mulai tenang, Aditama meminta sang istri untuk menceritakan kejadian sebelumnya.Akhirnya, setelah terdiam sesaat, sambil berusaha mengingat-ngingat, Vania pun mulai bercerita. Setelah mendengar cerita dari sang istri, Aditama kembali mengepalkan tangan dengan geram.Mata pria itu lalu menutup seiring rahangnya mengeras. Kala teringat hal itu, emosi dalam dirinya seke
Keesokan paginya, Aditama dan Vania bangun dalam keadaan tubuh tanpa pakaian, saling berpelukan dan dalam satu selimut yang sama. Seharusnya pemandangan seperti itu sudah menjadi pemandangan biasa bagi pasangan suami istri. Akan tetapi, tidak bagi pasangan suami istri Aditama dan Vania.Pemandangan demikian pagi itu baru pertama kali terjadi setelah empat tahun pernikahan mereka. Pakaian mereka tergeletak begitu saja di lantai dan di atas ranjang—yang juga tampak kusut karena permainan panas keduanya tadi malam. Semalam, tubuh keduanya telah menyatu.Dan pagi ini—menjadi pagi yang sangat indah dan bersejarah—bagi pasangan suami istri tersebut. Layaknya sepasang pengantin baru yang habis melakukan malam pertama. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, keduanya memang baru pertama kali melakukan malam pertama setelah empat tahun menikah.Pasalnya, selama empat tahun menikah itu, mereka tidak tidur dalam satu ranjang yang sama. Tadi, saat bangun, Aditama mau pun Vania sama-sama terkejut
Pagi hari berikutnya, Vania tampak sedang sibuk memasak di dapur sambil bernyanyi ria. Setelah ia mengungkapkan perasaannya kepada sang suami, ia menjadi lega dan keduanya jadi tidak canggung lagi. Vania bertekad akan mulai perhatian dan menjadi istri yang baik untuk Aditama—membalas semua kebaikan yang telah dilakukan olehnya. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah tangan yang melingkar di perut dan kemudian sebuah dagu mendarat di bahu sebelah kanan setelahnya.Seketika Vania menghentikan kegiatan memasaknya sejenak, menoleh ke belakang dan mendapati Aditama tengah memeluknya dari belakang. "Tama ... kamu mengagetkanku saja!" decak Vania. Aditama hanya menyunggingkan senyum sambil masih memeluk sang istri yang sekarang telah berubah perhatian kepadanya. "Pergi lah, mandi, Tam." ucap Vania, kemudian ia melanjutkan kegiatan memasaknya. Mendengar hal itu, rahang Aditama mengeras. "Bagimana jika ... kita mandi bersama saja?" balas Aditama dengan sebelah alis terangkat. Son
Setelah selesai bicara dengan Ricard, Vania menoleh menatap Aditama. Detik berikutnya, ia berhambur ke arah sang suami dan memeluknya dengan erat yang langsung dibalas pelukan Aditama. "Makasih, Tama ... karena berkat kamu ... aku bisa membuat perusahaan kakek bekerja sama dengan Gandara corporation." ujar Vania seiring pelukan pada tubuh sang suami semakin mengketat. Dia kemudian menambahkan. "Pasti, kakek akan senang sekali setelah mengetahui kabar ini ... akhirnya ... aku juga tidak jadi dipecat dan akan kembali bekerja di perusahaan kakek." Mendengar hal itu, Aditama menyunggingkan senyum. Tiba-tiba rahang Aditama mengeras. Dia kemudian berkata. "Pasti, seluruh anggota keluarga kita juga akan kaget setelah mengetahui kabar ini, Van dan tidak menyangka jika perkataanku waktu itu menjadi kenyataan lagi." "Dan mereka sudah tidak bisa berkutik, mereka tidak akan bisa meremehkanmu dan juga tidak bisa terus-terusan menyudutkan kita sebagai penyebab kekacauan yang terjadi.
Nama Bella terpampang di layar ponsel. Ternyata sang kakak sepupu yang menghubunginya. "Ada apa Kak Bella menghubungiku?" Vania bertanya-tanya. Ia pun segera menerima panggilan masuk tersebut dan menempelkan ponsel di telinga. "Hallo, Kak Bella. Ada apa Kak Bella menghubungiku?" tanya Vania begitu panggilan terhubung. "Aku hanya mau mengabarkan kepadamu Van jika kakek sudah diperbolehkan pulang." Mendengar hal itu, mata Vania melebar. Detik berikutnya, ia tersenyum seraya menghela nafas lega.Seketika ia mengucap syukur dalam hati. Akhirnya ... sang kakek diperbolehkan pulang juga. "Syukur lah kalau begitu, Kak. Aku senang mendengarnya."Vania lalu mengerutkan kening. "Oh ya, Kak ... ngomong-ngomong ... aku dan Aditama harus ke rumah sakit dulu atau bisa langsung ke rumah saja untuk menjenguk kakek?" tanya Vania lagi. "Kamu dan Aditama bisa langsung ke rumah saja, Van karena sebentar lagi kami juga akan segera pulang." "Ah begitu, Kak ... baik lah ... aku dan A
Di kediaman keluarga Hermanto, saat ini, terlihat kakek Hermanto dan Bastian sedang duduk bersama di ruang makan. Pria tua itu baru saja pulang dari rumah sakit. Sementara anggota keluarga yang lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada pula yang sedang beraktivitas seperti hari-hari biasanya. "Ayah harus cepat-cepat mengembalikan uang Aditama. Ayah tak sudi menggunakan uang pria tak berguna itu!" ucap Hermanto tegas. Dia kemudian menambahkan. "Ayah juga tidak mau berhutang budi padanya hanya karena dia telah membayarkan biaya rumah sakit dan operasiku!" Bastian menoleh menatap sang Ayah mendengar hal itu, kemudian mengerutkan kening. "Sudah lah, Yah. Tak perlu diganti uangnya Aditama." sindirnya sinis. "Penyebab Ayah jadi seperti ini 'kan karenanya ... lagi pula ... dia belum pernah berkontribusi sedikit pun di keluarga ini! Yang bisanya hanya menjadi beban keluarga saja!" Hermanto mengerjap mendengar jawaban Bastian, balik menatap sang putra, mencerna perkataannya dal