Nama Bella terpampang di layar ponsel. Ternyata sang kakak sepupu yang menghubunginya. "Ada apa Kak Bella menghubungiku?" Vania bertanya-tanya. Ia pun segera menerima panggilan masuk tersebut dan menempelkan ponsel di telinga. "Hallo, Kak Bella. Ada apa Kak Bella menghubungiku?" tanya Vania begitu panggilan terhubung. "Aku hanya mau mengabarkan kepadamu Van jika kakek sudah diperbolehkan pulang." Mendengar hal itu, mata Vania melebar. Detik berikutnya, ia tersenyum seraya menghela nafas lega.Seketika ia mengucap syukur dalam hati. Akhirnya ... sang kakek diperbolehkan pulang juga. "Syukur lah kalau begitu, Kak. Aku senang mendengarnya."Vania lalu mengerutkan kening. "Oh ya, Kak ... ngomong-ngomong ... aku dan Aditama harus ke rumah sakit dulu atau bisa langsung ke rumah saja untuk menjenguk kakek?" tanya Vania lagi. "Kamu dan Aditama bisa langsung ke rumah saja, Van karena sebentar lagi kami juga akan segera pulang." "Ah begitu, Kak ... baik lah ... aku dan A
Di kediaman keluarga Hermanto, saat ini, terlihat kakek Hermanto dan Bastian sedang duduk bersama di ruang makan. Pria tua itu baru saja pulang dari rumah sakit. Sementara anggota keluarga yang lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada pula yang sedang beraktivitas seperti hari-hari biasanya. "Ayah harus cepat-cepat mengembalikan uang Aditama. Ayah tak sudi menggunakan uang pria tak berguna itu!" ucap Hermanto tegas. Dia kemudian menambahkan. "Ayah juga tidak mau berhutang budi padanya hanya karena dia telah membayarkan biaya rumah sakit dan operasiku!" Bastian menoleh menatap sang Ayah mendengar hal itu, kemudian mengerutkan kening. "Sudah lah, Yah. Tak perlu diganti uangnya Aditama." sindirnya sinis. "Penyebab Ayah jadi seperti ini 'kan karenanya ... lagi pula ... dia belum pernah berkontribusi sedikit pun di keluarga ini! Yang bisanya hanya menjadi beban keluarga saja!" Hermanto mengerjap mendengar jawaban Bastian, balik menatap sang putra, mencerna perkataannya dal
Lalu, muncul Aditama dan Vania dari balik pintu setelahnya. Melihat kedatangan mereka berdua, Hermanto dan Bastian kompak mendecakan lidah, ekspresi wajah mendadak buruk, menandakan jika tidak senang dengan kedatangan mereka berdua. Akan tetapi, Vania dan Aditama tak mempedulikan respon sang paman dan kakek, memilih melanjutkan berjalan masuk ke dalam. Tiba-tiba Aditama dan Vania tersentak kaget, refleks menghentikan langkah saat melihat sosok Haryadi dan Edward. Lalu, mereka berdua saling pandang satu sama lain, seakan tengah menyamakan frequensi. Sedang apa mereka berdua di sini? Bukan kah ... hubungan antar dua keluarga tersebut telah bermusuhan? Alhasil, Vania pun langsung merasa cemas kalau-kalau mereka berdua akan memberitahu soal putusnya kerja sama antar dua perusahaan tersebut kepada Hermanto. Namun, melihat ekspresi wajah sang kakek saat ini, sepertinya Edward dan Ayahnya belum mengatakan hal demikian. Sementara Haryadi dan Edward tersenyum penuh arti ke
Vania dan Aditama berhasil membuat perusahaan keluarga Hermanto ... bekerja sama dengan Gandara corporation?! Selagi semua orang tengah terdiam kaget, Vania lanjut berkata. "Jika kalian tidak percaya ... aku akan menunjukan dokumen perjanjian kerja samanya." Vania lalu bangkit berdiri, menatap satu persatu semua orang yang ada di situ sambil mengangkat map berisi dokumen perjanjian kerja sama tinggi-tinggi di hadapan mereka semua.Melihat hal itu, membuat semua orang terbeliak kaget. Begitu pula dengan Haryadi dan Edward. Alhasil, mereka pun kompak termangu setelahnya. Kemudian, Vania menghadap Hermanto dan menyodorkan dokumen perjanjian kerja sama kepada sang kakek seraya berkata, "Kakek bisa membaca dan mengeceknya ... juga ... kalian semua." Hermanto menerima map yang disodorkan Vania dengan keadaan dirinya yang belum sepenuhnya sadar, lalu secara perlahan mulai membuka dan membacanya. Seketika para anggota keluarga Hermanto langsung mengerubungi sang kepala keluarga—hendak
Tentu semua orang tidak langsung percaya begitu saja mendengar hal itu. Akan tetapi, Aditama tidak mempedulikanya. "Terserah kalian mau percaya atau tidak ... aku tidak ambil pusing karena yang terpenting bagiku adalah ... perusahaan keluarga Hermanto telah menjalin kerja sama dengan Gandara corporation." ucap Aditama dengan tegas. Kemudian, ia pindah menatap Bastian untuk beberapa saat. "Dan sesuai janji Paman, jika hal itu terwujud. Maka, Paman tidak jadi memecat Vania dan harus kembali mempekerjakan Vania di perusahaan keluarga Hermanto!" kata Aditama lagi sambil membusungkan dada.Bastian terdiam mendengar hal itu. Seketika teringat dengan janjinya waktu itu. Begitu pula dengan semua orang.Di saat ini, Vania berujar, "Aku tahu ... kalian semua tidak percaya," Kemudian, ia menghela nafas berat. "Aku harus bagimana ... aku harus menunjukan bukti apa lagi kepada kalian ... biar kalian percaya jika perusahaan kita telah bekerja sama dengan Gandara corporation?" Semua orang k
Vania kembali menatap Bastian. "Bisa," jawab Vania dengan dingin setelah terdiam sebentar. Tak terlihat ada keraguan sedikit pun pada ekspresi wajah dan ucapannya itu. Bastian mengerjap diikuti oleh yang lain. Setelah mengatakan hal itu, Vania langsung merogoh tas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana dan kemudian langsung menghubungi wakil direktur Gandara corporation melalui pesan. Sebenarnya Vania merasa agak cemas jika wakil direktur tidak langsung membalas pesannya—apalagi dirinya bukan orang penting yang pesannya harus segera dibalas saat itu juga. Akan tetapi, kecemasan Vania tak berlangsung lama karena pesannya ternyata langsung dibalas oleh sang wakil direktur. Hal tersebut tentunya membuat Vania kegirangan bukan main. Namun di sisi lain, ia merasa ... heran.Kenapa seorang wakil direktur perusahaan konglomerat multinasional langsung membalas pesannya?Padahal ... ia bukan orang penting dan berpengaruh! Akan tetapi, Vania buru-buru menggelengkan kepalanya, tak ma
Mendengar hal itu, anggota keluarga Hermanto menjadi kasak-kusuk. Agak terpengaruh.Vania tersenyum kecut, lalu menyodorkan ponselnya kepada Edward. Dengan ekspresi wajah buruk, muka merah padam, Edward menerima ponsel itu setengah merebut. Lalu, Edward dan sang Ayah segera mengecek nomor ponsel yang mereka berdua miliki dengan yang ada di ponsel Vania.Selagi mereka berdua tengah fokus pada layar ponsel, anggota keluarga Hermanto menunggu dengan agak gelisah karena takut jika nomornya berbeda. Tiba-tiba Edward dan sang Ayah melotot, kemudian membeku di sofa untuk beberapa saat. Melihat mereka berdua bersikap demikian, semua orang langsung mengajukan pertanyaan. "Bagimana, Ed?" "Nomornya sama atau berbeda?""Itu ... benar-benar nomornya wakil direktur Gandara corporation atau tidak?!" Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu tak elak membuat mereka berdua tersadar. Akan tetapi, mereka berdua tidak mempedulikannya, malah kembali melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Seperti
Mendengar hal itu, seketika Haryadi dan Edward menjadi gelagapan. "Iya! Benar itu!" sambung Bastian yang secara refleks bangkit berdiri sambil menunjuk-nunjuk ke arah mereka berdua dengan wajah mengeras. Bastian bukan bermaksud berpihak dan setuju dengan Aditama—lagi pula ia tak sudi. Akan tetapi, ia hendak menyampaikan apa yang menjadi kecurigaannya terhadap mereka berdua. "Saya menduga jika kedatangan kalian berdua ke sini itu bukan semata-mata karena mau menjenguk Ayah. Tapi, pasti ada niat buruk dibaliknya! Iya, 'kan?!" seru Bastian lagi dengan gigi gemeretak. "Bagimana tidak? Hubungan keluarga kita sudah tak baik lagi sejak kejadian di hotel Gandhi Life itu!" Seketika wajah Haryadi dan Edward menggelap, sepertinya sudah tidak perlu menyembunyikan kepura-puraan lagi di depan mereka. Sementara itu, tiba-tiba Hermanto mengerjap kala teringat sesuatu. Ia pun menghadap Bella dan berujar, "Tadi kamu bilang ... jika ... Bintoro Group sudah tidak bekerja sama dengan Gandara corp
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di