Malam hari, setelah selesai makan, Aditama dan Vania melanjutkan menonton TV bersama sembari bermesraan, ditemani camilan dan minuman. Selagi mereka berdua tengah fokus pada tayangan acara TV, tiba-tiba Vania mengerjap kala teringat sesuatu, lalu ia segera menarik kepala dari lengan sang suami. Melihat hal itu, Aditama menoleh ke arah Vania sembari mengernyitkan dahi. Ada apa?Vania lalu memperbaiki posisi duduk lebih dulu, menghadap Aditama. "Bagimana jika ... unit apartemen yang kita sewa ini ... kita beli saja, Tam?" Rahang Aditama mengeras mendengar hal itu.Selama sesaat, ia tampak berpikir. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, Aditama mengangguk dan berujar. "Boleh." Dalam hati, Aditama tertawa. Asal Vania tahu saja, jika sebenarnya, unit apartemen yang mereka berdua tempati sekarang ini—memang telah menjadi milik mereka berdua—Aditama tak menyewanya. Waktu itu, tentu saja, ia harus berbohong kepada Vania supaya alasan tersebut terdengar masuk akal. Namu
Vania meletakan ponselnya di atas meja, kemudian menghempaskan punggung ke sandaran sofa lagi seraya melipat tangan di depan dada—dengan wajah tertekuk—kentara sekali jika wanita itu sedang kesal. "Pesan dari grup chatting teman-teman kuliahku dulu, Tam. Mereka membicarakan acara reuni yang akan diadakan dan itu ... membuat suasana hatiku langsung menjadi buruk!" Jelas Vania dengan emosi yang meluap-luap. Kemudian, ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar—untuk mencoba meredakan emosinya. Suasana hatinya benar-benar berantakan setelah membaca isi pesan di group chat teman-teman kuliahnya dulu. "Dan yang lebih mengesalkannya lagi adalah ... mereka menyindirku, Tam ... mengejekku dan membujuku biar aku datang ke acara reuni kali ini dengan mengajak kamu!" Kata Vania lagi. Wajahnya tampak tegas sekaligus masih bercampur kesal. Di tahun pertama pernikahan mereka, Vania mengajak Aditama menghadiri acara reuni teman-teman kuliahnya dulu. Dikarenakan ia menikah d
"Bisa kah kamu datang ke rumah kontrakan mama sekarang, Tama?" ucap sang ibu dengan suara terdengar risau. "Ada hal yang ingin mama sampaikan kepadamu." Aditama mengernyitkan dahi. "Apa yang hendak mama sampaikan? Kenapa mama urung bercerita barusan?" sambar Aditama dengan nada mendesak. "Lanjutkan perkataan mama barusan saja ... jangan membuat Tama khawatir, ma." "Papa sakit keras, Tama ... dan ... mama ... memutuskan kembali ke rumah ... ke keluarga besar Gandara." Jawab sang ibu setelah terdiam sesaat. Aditama melotot mendengar hal itu dan kemudian membeku untuk beberapa saat. "S-secepat ... itu kah, ma?" balas Aditama dengan terbata. "Tama ... papamu sedang sakit keras dan kita harus cepat kembali!" Nada suara sang ibu terdengar mendesak dan dipenuhi kecemasan.Hal tersebut membuat Aditama terdiam, mendadak memikirkan perkataan sang ibu. "Kamu ke sini saja ya ... kita bicarakan secara langsung." Ucapan sang ibu membuat Aditama tersadar. Akan tetapi, matanya malah menutu
Akan tetapi, Aditama tidak menjawab perkataan sang ibu, malah menghempaskan punggung ke sandaran kursi dengan tatapan mata lurus ke depan seraya melipat tangan di depan dada. "Mama dulu saja yang kembali." ucap Aditama tanpa menoleh ke arah sang ibu pada akhirnya setelah terdiam sesaat. Dia kemudian menambahkan. "Aku belum siap kembali dan rasanya ... aku masih belum percaya saja mengenai kondisi ... papa itu." Mendengar jawaban Aditama, membuat Sophia menghela nafas berat dan memasang wajah tak berdaya diikuti Panji setelahnya. Aditama tidak percaya jika sang Ayah sedang sakit keras?Dan apakah itu artinya ... ia juga belum bisa memaafkan dan menerima sang Ayah kembali? Masih marah? Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, Sophia menatap putra satu-satunya itu dengan lembut. "Kalau itu keputusanmu ... mama hargai, Tam. Mama mengerti. Mama akan berikan kamu waktu untuk berpikir." ucap Sophia. "Tapi mama mohon kepadamu ... pikirkan lah hal tersebut secepatnya. Mama tidak ingin
Di kantor, Vania tak menyangka jika akan mendapat kejutan tak terduga dari teman-teman dan bawahannya. Kedatangannya disambut ucapan selamat dan buket bunga atas keberhasilan dirinya dalam membuat Hermanto Group bekerja sama dengan Gandara Group. Berita tersebut ternyata langsung menyebar cepat di telinga seluruh para karyawan perusahaan dan menjadi bahan gossip panas pagi itu. Hal tersebut membuat Vania mendadak menjadi seperti seorang selebriti saja. Mendapati hal itu, Vania merasa campur aduk menjadi satu—tak karu-karuan. Selain itu, teman-temannya juga menyambut dirinya dengan penuh haru dan suka cita karena ia telah kembali bekerja di Hermanto Group. Ternyata mereka menyayangkan dirinya yang dipecat dan mereka merasa kehilangan. "Kenapa Presdir tiba-tiba memecatmu, Van?" "Memangnya apa yang telah kamu lakukan? Apa kamu membuat kesalahan?" "Atau ... ada masalah yang terjadi?" "Dan ... kenapa kamu tidak meminta bantuan kepada kakekmu saja, Van?" "Kamu tahu,
Sang satpam menatap Aditama dan Vania dengan tajam. "Mau apa kalian berdua?!" tanyanya dengan kedua alis terangkat tinggi. Tidak ada senyuman di bibirnya dan sama sekali tidak ada kesan ramah pada sikap yang ditunjukan. Kemudian, ia berganti mengamati penampilan dua orang yang ada di depannya itu dari atas kepala hingga ujung kaki. Ia tiba-tiba mengerutkan kening dan dari tatapan matanya terpancar perasaan jijik ketika melihat penampilan Aditama yang ... mirip seperti gelandangan jalanan! Melihat hal itu, Aditama mendecakan lidahnya. "Memangnya ini tempat apa? Showroom mobil, 'kan?!" Aditama malah balik bertanya dengan nada dingin seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Balas menatap sang satpam tajam. "Jadi, sudah jelas, bukan? Jika kedatangan kami ke sini ... karena hendak membeli mobil?" Aditama mengangkat sebelah alisnya. Setelah mengatakan hal itu, Aditama menghela nafas berat, sikap satpam showroom ini menjengkelkan sekali. Pasti gara-gara penampilan dirinya
Akhirnya, setelah terjadi adu mulut, sang satpam terpaksa mengizinkan Aditama dan Vania masuk ke dalam showroom. Tentu saja dengan perasaan jengkel bukan main.Akan tetapi, ia sudah menduga jika pasangan suami istri tersebut cuma membual saja dan tidak sungguh-sungguh akan membeli mobil di showroom ini dan pasti, tidak akan lama di dalam sana karena para karyawan showroom jelas tidak akan percaya dengan mereka berdua. Sesampainya di dalam showroom, Vania langsung takjub saat melihat mobil-mobil mewah dan mahal yang terpajang diikuti Aditama setelahnya.Pria itu refleks melakukan hal yang sama supaya sang istri tidak curiga padanya, menunjukan reaksi orang pertama kali mengunjungi showroom dan melihat mobil-mobil mewah. Padahal, ia sudah sering sekali mengunjungi showroom-showroom mobil mewah sebelumnya—bahkan ada yang lebih besar dari showroom yang sedang mereka kunjungi saat ini. Selagi mereka berdua tengah melihat-lihat mobil yang begitu memanjakan mata, sang satpam bergegas mend
Aditama dan Vania begitu geram dengan pelayanan yang buruk yang mereka berdua dapatkan dari para karyawan showroom.Tidak hanya itu, bahkan, sang manager dan sales girl bernama Evita itu menghina-hina, mengejek dan merendahkan mereka berdua.Lalu, tanpa mempedulikan apa pun lagi, Aditama dan Vania balik badan, kemudian melangkahkan kakinya hendak pergi dari sana. "Tunggu!" Tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita yang membuat Aditama dan Vania menghentikan langkah. Sementara sang manager dan Evita kompak menoleh ke arah sumber suara.Ternyata sales girl lain bernama Arin yang baru saja memanggil Aditama dan Vania. Melihat hal itu, sang manager dan Evita pun kompak mengerutkan kening. Bertanya-tanya. Kenapa Arin menahan mereka berdua?Padahal, bagus jika Aditama dan Vania pergi. Akan tetapi, Arin tidak mempedulikan tatapan mata keheranan dari sang manager dan rekan kerjanya.Perhatiannya saat ini tengah tertuju kepada pasangan suami istri tersebut. Melihat Aditama dan Vania me
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di