Di kediaman keluarga Hermanto, saat ini, terlihat kakek Hermanto dan Bastian sedang duduk bersama di ruang makan. Pria tua itu baru saja pulang dari rumah sakit. Sementara anggota keluarga yang lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada pula yang sedang beraktivitas seperti hari-hari biasanya. "Ayah harus cepat-cepat mengembalikan uang Aditama. Ayah tak sudi menggunakan uang pria tak berguna itu!" ucap Hermanto tegas. Dia kemudian menambahkan. "Ayah juga tidak mau berhutang budi padanya hanya karena dia telah membayarkan biaya rumah sakit dan operasiku!" Bastian menoleh menatap sang Ayah mendengar hal itu, kemudian mengerutkan kening. "Sudah lah, Yah. Tak perlu diganti uangnya Aditama." sindirnya sinis. "Penyebab Ayah jadi seperti ini 'kan karenanya ... lagi pula ... dia belum pernah berkontribusi sedikit pun di keluarga ini! Yang bisanya hanya menjadi beban keluarga saja!" Hermanto mengerjap mendengar jawaban Bastian, balik menatap sang putra, mencerna perkataannya dal
Lalu, muncul Aditama dan Vania dari balik pintu setelahnya. Melihat kedatangan mereka berdua, Hermanto dan Bastian kompak mendecakan lidah, ekspresi wajah mendadak buruk, menandakan jika tidak senang dengan kedatangan mereka berdua. Akan tetapi, Vania dan Aditama tak mempedulikan respon sang paman dan kakek, memilih melanjutkan berjalan masuk ke dalam. Tiba-tiba Aditama dan Vania tersentak kaget, refleks menghentikan langkah saat melihat sosok Haryadi dan Edward. Lalu, mereka berdua saling pandang satu sama lain, seakan tengah menyamakan frequensi. Sedang apa mereka berdua di sini? Bukan kah ... hubungan antar dua keluarga tersebut telah bermusuhan? Alhasil, Vania pun langsung merasa cemas kalau-kalau mereka berdua akan memberitahu soal putusnya kerja sama antar dua perusahaan tersebut kepada Hermanto. Namun, melihat ekspresi wajah sang kakek saat ini, sepertinya Edward dan Ayahnya belum mengatakan hal demikian. Sementara Haryadi dan Edward tersenyum penuh arti ke
Vania dan Aditama berhasil membuat perusahaan keluarga Hermanto ... bekerja sama dengan Gandara corporation?! Selagi semua orang tengah terdiam kaget, Vania lanjut berkata. "Jika kalian tidak percaya ... aku akan menunjukan dokumen perjanjian kerja samanya." Vania lalu bangkit berdiri, menatap satu persatu semua orang yang ada di situ sambil mengangkat map berisi dokumen perjanjian kerja sama tinggi-tinggi di hadapan mereka semua.Melihat hal itu, membuat semua orang terbeliak kaget. Begitu pula dengan Haryadi dan Edward. Alhasil, mereka pun kompak termangu setelahnya. Kemudian, Vania menghadap Hermanto dan menyodorkan dokumen perjanjian kerja sama kepada sang kakek seraya berkata, "Kakek bisa membaca dan mengeceknya ... juga ... kalian semua." Hermanto menerima map yang disodorkan Vania dengan keadaan dirinya yang belum sepenuhnya sadar, lalu secara perlahan mulai membuka dan membacanya. Seketika para anggota keluarga Hermanto langsung mengerubungi sang kepala keluarga—hendak
Tentu semua orang tidak langsung percaya begitu saja mendengar hal itu. Akan tetapi, Aditama tidak mempedulikanya. "Terserah kalian mau percaya atau tidak ... aku tidak ambil pusing karena yang terpenting bagiku adalah ... perusahaan keluarga Hermanto telah menjalin kerja sama dengan Gandara corporation." ucap Aditama dengan tegas. Kemudian, ia pindah menatap Bastian untuk beberapa saat. "Dan sesuai janji Paman, jika hal itu terwujud. Maka, Paman tidak jadi memecat Vania dan harus kembali mempekerjakan Vania di perusahaan keluarga Hermanto!" kata Aditama lagi sambil membusungkan dada.Bastian terdiam mendengar hal itu. Seketika teringat dengan janjinya waktu itu. Begitu pula dengan semua orang.Di saat ini, Vania berujar, "Aku tahu ... kalian semua tidak percaya," Kemudian, ia menghela nafas berat. "Aku harus bagimana ... aku harus menunjukan bukti apa lagi kepada kalian ... biar kalian percaya jika perusahaan kita telah bekerja sama dengan Gandara corporation?" Semua orang k
Vania kembali menatap Bastian. "Bisa," jawab Vania dengan dingin setelah terdiam sebentar. Tak terlihat ada keraguan sedikit pun pada ekspresi wajah dan ucapannya itu. Bastian mengerjap diikuti oleh yang lain. Setelah mengatakan hal itu, Vania langsung merogoh tas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana dan kemudian langsung menghubungi wakil direktur Gandara corporation melalui pesan. Sebenarnya Vania merasa agak cemas jika wakil direktur tidak langsung membalas pesannya—apalagi dirinya bukan orang penting yang pesannya harus segera dibalas saat itu juga. Akan tetapi, kecemasan Vania tak berlangsung lama karena pesannya ternyata langsung dibalas oleh sang wakil direktur. Hal tersebut tentunya membuat Vania kegirangan bukan main. Namun di sisi lain, ia merasa ... heran.Kenapa seorang wakil direktur perusahaan konglomerat multinasional langsung membalas pesannya?Padahal ... ia bukan orang penting dan berpengaruh! Akan tetapi, Vania buru-buru menggelengkan kepalanya, tak ma
Mendengar hal itu, anggota keluarga Hermanto menjadi kasak-kusuk. Agak terpengaruh.Vania tersenyum kecut, lalu menyodorkan ponselnya kepada Edward. Dengan ekspresi wajah buruk, muka merah padam, Edward menerima ponsel itu setengah merebut. Lalu, Edward dan sang Ayah segera mengecek nomor ponsel yang mereka berdua miliki dengan yang ada di ponsel Vania.Selagi mereka berdua tengah fokus pada layar ponsel, anggota keluarga Hermanto menunggu dengan agak gelisah karena takut jika nomornya berbeda. Tiba-tiba Edward dan sang Ayah melotot, kemudian membeku di sofa untuk beberapa saat. Melihat mereka berdua bersikap demikian, semua orang langsung mengajukan pertanyaan. "Bagimana, Ed?" "Nomornya sama atau berbeda?""Itu ... benar-benar nomornya wakil direktur Gandara corporation atau tidak?!" Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu tak elak membuat mereka berdua tersadar. Akan tetapi, mereka berdua tidak mempedulikannya, malah kembali melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Seperti
Mendengar hal itu, seketika Haryadi dan Edward menjadi gelagapan. "Iya! Benar itu!" sambung Bastian yang secara refleks bangkit berdiri sambil menunjuk-nunjuk ke arah mereka berdua dengan wajah mengeras. Bastian bukan bermaksud berpihak dan setuju dengan Aditama—lagi pula ia tak sudi. Akan tetapi, ia hendak menyampaikan apa yang menjadi kecurigaannya terhadap mereka berdua. "Saya menduga jika kedatangan kalian berdua ke sini itu bukan semata-mata karena mau menjenguk Ayah. Tapi, pasti ada niat buruk dibaliknya! Iya, 'kan?!" seru Bastian lagi dengan gigi gemeretak. "Bagimana tidak? Hubungan keluarga kita sudah tak baik lagi sejak kejadian di hotel Gandhi Life itu!" Seketika wajah Haryadi dan Edward menggelap, sepertinya sudah tidak perlu menyembunyikan kepura-puraan lagi di depan mereka. Sementara itu, tiba-tiba Hermanto mengerjap kala teringat sesuatu. Ia pun menghadap Bella dan berujar, "Tadi kamu bilang ... jika ... Bintoro Group sudah tidak bekerja sama dengan Gandara corp
Malam hari, setelah selesai makan, Aditama dan Vania melanjutkan menonton TV bersama sembari bermesraan, ditemani camilan dan minuman. Selagi mereka berdua tengah fokus pada tayangan acara TV, tiba-tiba Vania mengerjap kala teringat sesuatu, lalu ia segera menarik kepala dari lengan sang suami. Melihat hal itu, Aditama menoleh ke arah Vania sembari mengernyitkan dahi. Ada apa?Vania lalu memperbaiki posisi duduk lebih dulu, menghadap Aditama. "Bagimana jika ... unit apartemen yang kita sewa ini ... kita beli saja, Tam?" Rahang Aditama mengeras mendengar hal itu.Selama sesaat, ia tampak berpikir. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, Aditama mengangguk dan berujar. "Boleh." Dalam hati, Aditama tertawa. Asal Vania tahu saja, jika sebenarnya, unit apartemen yang mereka berdua tempati sekarang ini—memang telah menjadi milik mereka berdua—Aditama tak menyewanya. Waktu itu, tentu saja, ia harus berbohong kepada Vania supaya alasan tersebut terdengar masuk akal. Namu