Chris mengedar pandangan ke sekeliling lebih dulu sebelum kemudian membusungkan dada, menatap Evan tajam, lalu melanjutkan kalimatnya. "Tuan Theo tidak akan mau melepaskan istrinya kuli bangunan gembel itu ... lagi pula ... kau lihat sendiri 'kan tadi ... betapa senangnya Tuan Theo ketika mendapatkan Vania?!" Mendengar hal itu, Evan memasang wajah tak berdaya. Selagi Evan terdiam, Chris kembali bicara. "Sudah lah, Van. Kau tenang saja." ucap Chris, mencoba menenangkan mantan bawahannya tersebut. Kemudian, ia menghempaskan punggung ke sandaran kursi kembali sambil menghembuskan napas pelan. "Yang benar saja kau! Rencana kita telah berhasil ... kita juga telah mendapatkan uang yang begitu banyak karena hal itu ... tapi ... apa yang akan kau lakukan?!" "Lagi pula, Tuan Theo pasti akan membantu kita kalau kuli gembel itu nekat melakukan sesuatu kepada istri dan anakmu, Van!" kata Chris lagi. Evan terdiam, mencerna perkataan Chris dalam sepersekian detik sebelum kemudian mengangguk
Seketika muka Theo memerah karena marah, kedua tangannya terkepal kuat, ekspresi wajahnya langsung memancarkan aura kemarahan hebat. Siapa yang berani melakukan hal demikian pada ketiga anak buahnya? "Kurang ajar! tidak tahu kah dia sedang mencari masalah dengan siapa?!" seru Theo dengan penuh emosi menggebu. Suaranya meninggi dan wajahnya mengeras.Tiba-tiba ia mengerjap kala teringat dengan wanita itu yang berada di dalam mobil selagi ia tengah berada di ruang VIP. Ia lalu menatap bodyguardnya dengan tajam. "Segera cek wanita itu ... masih ada di dalam mobil atau tidak!" titahnya tegas. Sang bodyguard mengangguk cepat dan bergegas melakukan perintah dari sang Tuan.Selagi bodyguardnya tengah mengecek mobil, Theo berkacak pinggang dengan rahang mengeras. Ia harus segera mengecek CCTV untuk mengetahui siapa yang telah menghabisi anak buahnya. Begitu ia telah mengetahui siapa yang telah melakukan hal demikian, maka, akan ia cari sampai ketemu setelahnya dan tentu saja ia akan m
Mendengar hal itu, Aditama tergelak, kemudian pandangannya memicing. "Apa yang barusan kau katakan? Vania ... sudah jadi milikmu?" tanya Aditama, hendak memastikan perkataan Theo barusan yang sungguh terdengar menggelitik. Dia kemudian menambahkan. "Apa aku tidak salah dengar? Coba ... ulangi sekali lagi." Mendengar nada meremehkan Aditama, Theo seketika mengerjap, terdiam untuk beberapa saat sebelum kemudian tangannya langsung terkepal. Aditama lanjut berkata. "Kuperjelas hal ini kepadamu ... jika ... Vania itu adalah istri sahku! Jadi, tak kan kubiarkan orang lain dapat menyentuhnya ... apalagi ... sampai dapat memilikinya! Tak kan pernah kubiarkan hal itu sampai terjadi!" "Dan ... aku tak akan kasih ampun kepada orang yang berani menyentuh istriku barang sehelai rambut sedikit pun! Mengerti?!" ancam Aditama dengan gigi gemeretak. Sontak, mata Theo melebar.Detik berikutnya, ekspresi wajahnya menjadi buruk, kepalan tangannya semakin bertambah kuat. Berani sekali kuli bang
Mendengar hal itu, Aditama menyeringai. "Memang aku yang melakukannya!" jawab Aditama tegas pada akhirnya dengan alis terangkat tinggi setelah terdiam sebentar. Kemudian, ia melirik Elias sekilas sebelum kemudian menatap Theo lagi dan melanjutkan kalimatnya. "Dengan bantuan Tuan Elias dan orang-orang suruhannya pastinya." Mendengar hal itu, Theo melebarkan matanya.Seketika Theo melotot ke arah Elias dengan muka merah padam.Akan tetapi, Elias tetap mengangkat muka tinggi-tinggi. Tak terlihat gentar sekali pun mendapat pelototan mata dan aura kemarahan yang tengah terpancar jelas di wajah Theo. Jadi ... Elias adalah dalang dibalik kejadian yang menimpa anak buahnya tadi dan mengambil Vania dari dalam mobilnya?Theo pun mendengus. Berani sekali Elias melakukan hal itu padanya? Apa dia tidak takut dengannya?Mendadak, kepala Theo langsung dipenuhi oleh banyak pertanyaan.Theo buru-buru melepaskan cengkraman pada kerah baju Aditama, kemudian dia beralih menghadap Elias dan beru
"Jika kau bisa mengalahkanku, aku akan membiarkanmu pergi dan kau akan mendapatkan istrimu kembali." ujar Theo dengan senyum licik dan meremehkan di bibirnya. Aditama berdecih. "Kau masih tidak percaya kalau aku telah mendapatkan istriku kembali?" kata Aditama dengan sebelah alis terangkat.Tiba-tiba ekspresi wajah Theo menjadi buruk mendengar hal itu. "Kau pikir aku akan percaya dengan perkataanmu begitu saja?!" sergah Theo dengan gigi gemeretak. Kemudian, dia menggeleng dan melanjutkan kalimatnya. "Aku tidak bisa kau bodohi. Bisa saja kau berbohong soal kau telah mendapatkan istrimu kembali. Eh, asal kau tau saja bocah kemarin sore. Aku bisa mendapatkan wanita itu kembali dengan cepat setelah ini!" Mendengar hal itu, Aditama mendengus dan tangannya kembali terkepal kuat.Bagimana ia tidak jengkel saat mendengar pria lain mengatakan hal demikian tentang istrinya?Akan tetapi, Aditama buru-buru mengontrol emosinya. Pasalnya, ia tengah merasa di atas angin. Toh, Vania sudah bersam
Mata semua orang melebar!Seketika berseru panik. Kecuali bodyguardnya Theo, Evan dan Chris yang kompak mengepalkan tangan, berseru senang melihat Aditama terdesak. Aditama terbanting dua langkah, kuda-kudanya goyah. Ia hampir terjatuh. Akan tetapi, ia segera menghentakan kaki kanan, tegak memasang posisi baru. Melihat hal itu, dua tukang pukul senior bergegas menghampiri Aditama. "Biar kami yang urus sisanya, Tuan." kata tukang pukul itu dengan wajah mengeras. "Mundur lah, Tuan." sambung satunya lagi.Keduanya kompak mendengus dingin, tinjunya telah terkepal, siap menghadapi Theo. Akan tetapi, Aditama tiba-tiba mengangkat tangan, sebagai pertanda jika tidak memberi ijin kepada dua tukang pukulnya untuk menggantikan dirinya menyerang Theo.Apa kata Theo nanti ... jika dia membiarkan tukang pukulnya menggantikan dirinya?Itu ... sama saja dengan ia menyerah.Lagi pula, yang barusan terjadi padanya itu tak kan berarti dan tidak ada apa-apanya baginya.Mendapati hal itu, k
Melihat sang Tuan terkapar mengenaskan dengan kondisi buruk di lantai, bodyguardnya bergegas menghampiri dan membantu untuk duduk. Lalu, sang bodyguard beralih menatap Aditama geram. Giginya gemeretak.Ia tidak terima ... seorang pria yang tidak mempunyai nama dan belum jelas latar belakangnya itu. Akan tetapi, bisa mengalahkan majikannya yang notabene adalah salah satu seseorang yang berpengaruh di kota Ferandia. Ia tidak mau tahu ... pokoknya ia harus bisa menghabisi pria itu untuk membalas apa yang telah ia lakukan kepada Tuan Theonya barusan. Lalu, ia langsung berdiri dengan muka memerah karena marah, napasnya menderu, kemudian langsung merangsek maju sambil berteriak —hendak menyerang Aditama. Melihat hal itu, dua tukang pukul senior Aditama melotot, mencerna apa yang terjadi dalam sepersekian detik sebelum kemudian bergegas melangkah maju. "Kali ini biar kami yang urus dia, Tuan!" kata tukang pukul itu yang langsung diangguki tukang pukul satunya. Tanpa menunggu respon d
Tentu saja Theo langsung merasa takut.Apalagi saat melihat Panji yang terlihat begitu murka. Pasalnya, ia tunduk pada keluarga Gandara."T-tuan Panji ... k-kenapa Anda bisa ada di sini? Ada urusan apa Anda datang ke sini?" tanya Theo sambil menunjuk Panji. Seketika ia tercekat.Ia menjadi bertanya-tanya dengan kemunculan orang kepercayaan keluarga Gandara tersebut secara tiba-tiba dan menghubungkanya dengan kejadian yang baru terjadi. Mendengar hal itu, Panji mendengus dingin. "Berani-beraninya kau menyentuh istrinya Tuan Muda keluarga Gandara!!!" seru Panji dengan suara meninggi dan wajah mengeras sambil menunjuk muka Theo. Mengabaikan pertanyaan pria itu. Sontak, Theo melotot. Tuan Muda keluarga Gandara? Siapa Tuan Muda yang dimaksud Panji?Selama sesaat, Theo tampak kebingungan, tengah mencerna perkataan Panji untuk beberapa saat. Pandangan Theo lalu pindah menatap Aditama sekilas yang juga sedang menatapnya dengan senyuman penuh arti. Mendadak, Theo merasa tak karu-karuan.
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di