Mendengar hal itu, Aditama tergelak, kemudian pandangannya memicing. "Apa yang barusan kau katakan? Vania ... sudah jadi milikmu?" tanya Aditama, hendak memastikan perkataan Theo barusan yang sungguh terdengar menggelitik. Dia kemudian menambahkan. "Apa aku tidak salah dengar? Coba ... ulangi sekali lagi." Mendengar nada meremehkan Aditama, Theo seketika mengerjap, terdiam untuk beberapa saat sebelum kemudian tangannya langsung terkepal. Aditama lanjut berkata. "Kuperjelas hal ini kepadamu ... jika ... Vania itu adalah istri sahku! Jadi, tak kan kubiarkan orang lain dapat menyentuhnya ... apalagi ... sampai dapat memilikinya! Tak kan pernah kubiarkan hal itu sampai terjadi!" "Dan ... aku tak akan kasih ampun kepada orang yang berani menyentuh istriku barang sehelai rambut sedikit pun! Mengerti?!" ancam Aditama dengan gigi gemeretak. Sontak, mata Theo melebar.Detik berikutnya, ekspresi wajahnya menjadi buruk, kepalan tangannya semakin bertambah kuat. Berani sekali kuli bang
Mendengar hal itu, Aditama menyeringai. "Memang aku yang melakukannya!" jawab Aditama tegas pada akhirnya dengan alis terangkat tinggi setelah terdiam sebentar. Kemudian, ia melirik Elias sekilas sebelum kemudian menatap Theo lagi dan melanjutkan kalimatnya. "Dengan bantuan Tuan Elias dan orang-orang suruhannya pastinya." Mendengar hal itu, Theo melebarkan matanya.Seketika Theo melotot ke arah Elias dengan muka merah padam.Akan tetapi, Elias tetap mengangkat muka tinggi-tinggi. Tak terlihat gentar sekali pun mendapat pelototan mata dan aura kemarahan yang tengah terpancar jelas di wajah Theo. Jadi ... Elias adalah dalang dibalik kejadian yang menimpa anak buahnya tadi dan mengambil Vania dari dalam mobilnya?Theo pun mendengus. Berani sekali Elias melakukan hal itu padanya? Apa dia tidak takut dengannya?Mendadak, kepala Theo langsung dipenuhi oleh banyak pertanyaan.Theo buru-buru melepaskan cengkraman pada kerah baju Aditama, kemudian dia beralih menghadap Elias dan beru
"Jika kau bisa mengalahkanku, aku akan membiarkanmu pergi dan kau akan mendapatkan istrimu kembali." ujar Theo dengan senyum licik dan meremehkan di bibirnya. Aditama berdecih. "Kau masih tidak percaya kalau aku telah mendapatkan istriku kembali?" kata Aditama dengan sebelah alis terangkat.Tiba-tiba ekspresi wajah Theo menjadi buruk mendengar hal itu. "Kau pikir aku akan percaya dengan perkataanmu begitu saja?!" sergah Theo dengan gigi gemeretak. Kemudian, dia menggeleng dan melanjutkan kalimatnya. "Aku tidak bisa kau bodohi. Bisa saja kau berbohong soal kau telah mendapatkan istrimu kembali. Eh, asal kau tau saja bocah kemarin sore. Aku bisa mendapatkan wanita itu kembali dengan cepat setelah ini!" Mendengar hal itu, Aditama mendengus dan tangannya kembali terkepal kuat.Bagimana ia tidak jengkel saat mendengar pria lain mengatakan hal demikian tentang istrinya?Akan tetapi, Aditama buru-buru mengontrol emosinya. Pasalnya, ia tengah merasa di atas angin. Toh, Vania sudah bersam
Mata semua orang melebar!Seketika berseru panik. Kecuali bodyguardnya Theo, Evan dan Chris yang kompak mengepalkan tangan, berseru senang melihat Aditama terdesak. Aditama terbanting dua langkah, kuda-kudanya goyah. Ia hampir terjatuh. Akan tetapi, ia segera menghentakan kaki kanan, tegak memasang posisi baru. Melihat hal itu, dua tukang pukul senior bergegas menghampiri Aditama. "Biar kami yang urus sisanya, Tuan." kata tukang pukul itu dengan wajah mengeras. "Mundur lah, Tuan." sambung satunya lagi.Keduanya kompak mendengus dingin, tinjunya telah terkepal, siap menghadapi Theo. Akan tetapi, Aditama tiba-tiba mengangkat tangan, sebagai pertanda jika tidak memberi ijin kepada dua tukang pukulnya untuk menggantikan dirinya menyerang Theo.Apa kata Theo nanti ... jika dia membiarkan tukang pukulnya menggantikan dirinya?Itu ... sama saja dengan ia menyerah.Lagi pula, yang barusan terjadi padanya itu tak kan berarti dan tidak ada apa-apanya baginya.Mendapati hal itu, k
Melihat sang Tuan terkapar mengenaskan dengan kondisi buruk di lantai, bodyguardnya bergegas menghampiri dan membantu untuk duduk. Lalu, sang bodyguard beralih menatap Aditama geram. Giginya gemeretak.Ia tidak terima ... seorang pria yang tidak mempunyai nama dan belum jelas latar belakangnya itu. Akan tetapi, bisa mengalahkan majikannya yang notabene adalah salah satu seseorang yang berpengaruh di kota Ferandia. Ia tidak mau tahu ... pokoknya ia harus bisa menghabisi pria itu untuk membalas apa yang telah ia lakukan kepada Tuan Theonya barusan. Lalu, ia langsung berdiri dengan muka memerah karena marah, napasnya menderu, kemudian langsung merangsek maju sambil berteriak —hendak menyerang Aditama. Melihat hal itu, dua tukang pukul senior Aditama melotot, mencerna apa yang terjadi dalam sepersekian detik sebelum kemudian bergegas melangkah maju. "Kali ini biar kami yang urus dia, Tuan!" kata tukang pukul itu yang langsung diangguki tukang pukul satunya. Tanpa menunggu respon d
Tentu saja Theo langsung merasa takut.Apalagi saat melihat Panji yang terlihat begitu murka. Pasalnya, ia tunduk pada keluarga Gandara."T-tuan Panji ... k-kenapa Anda bisa ada di sini? Ada urusan apa Anda datang ke sini?" tanya Theo sambil menunjuk Panji. Seketika ia tercekat.Ia menjadi bertanya-tanya dengan kemunculan orang kepercayaan keluarga Gandara tersebut secara tiba-tiba dan menghubungkanya dengan kejadian yang baru terjadi. Mendengar hal itu, Panji mendengus dingin. "Berani-beraninya kau menyentuh istrinya Tuan Muda keluarga Gandara!!!" seru Panji dengan suara meninggi dan wajah mengeras sambil menunjuk muka Theo. Mengabaikan pertanyaan pria itu. Sontak, Theo melotot. Tuan Muda keluarga Gandara? Siapa Tuan Muda yang dimaksud Panji?Selama sesaat, Theo tampak kebingungan, tengah mencerna perkataan Panji untuk beberapa saat. Pandangan Theo lalu pindah menatap Aditama sekilas yang juga sedang menatapnya dengan senyuman penuh arti. Mendadak, Theo merasa tak karu-karuan.
Tiba di apartemen, Aditama langsung menyuruh Vania duduk di sofa. Sang istri mengangguk menurut. Sedangkan Aditama bergegas pergi ke dapur dan kemudian membuatkan minuman hangat untuk Vania. Tak lama kemudian, Aditama telah kembali dengan membawa segelas minuman hangat, duduk di samping Vania, lalu menyodorkannya kepada sang istri.Vania menerimanya seraya berkata. "Terima kasih, Tam." Lagi-lagi, hal kecil tapi manis yang dilakukan oleh Aditama membuat Vania merasa tersentuh. Aditama tersenyum. "Sama-sama." Dia kemudian menambahkan. "Minum lah."Vania mengangguk menurut dan segera meminumnya. Lalu, setelah Vania mulai tenang, Aditama meminta sang istri untuk menceritakan kejadian sebelumnya.Akhirnya, setelah terdiam sesaat, sambil berusaha mengingat-ngingat, Vania pun mulai bercerita. Setelah mendengar cerita dari sang istri, Aditama kembali mengepalkan tangan dengan geram.Mata pria itu lalu menutup seiring rahangnya mengeras. Kala teringat hal itu, emosi dalam dirinya seke
Keesokan paginya, Aditama dan Vania bangun dalam keadaan tubuh tanpa pakaian, saling berpelukan dan dalam satu selimut yang sama. Seharusnya pemandangan seperti itu sudah menjadi pemandangan biasa bagi pasangan suami istri. Akan tetapi, tidak bagi pasangan suami istri Aditama dan Vania.Pemandangan demikian pagi itu baru pertama kali terjadi setelah empat tahun pernikahan mereka. Pakaian mereka tergeletak begitu saja di lantai dan di atas ranjang—yang juga tampak kusut karena permainan panas keduanya tadi malam. Semalam, tubuh keduanya telah menyatu.Dan pagi ini—menjadi pagi yang sangat indah dan bersejarah—bagi pasangan suami istri tersebut. Layaknya sepasang pengantin baru yang habis melakukan malam pertama. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, keduanya memang baru pertama kali melakukan malam pertama setelah empat tahun menikah.Pasalnya, selama empat tahun menikah itu, mereka tidak tidur dalam satu ranjang yang sama. Tadi, saat bangun, Aditama mau pun Vania sama-sama terkejut