Kepalaku terasa sakit dan berat, mataku sulit sekali kubuka. Samar-samar dari jauh kudengar tangis Iqbal memanggilku.
"Umi ...!" teriaknya histeris.
Aku berusaha membuka mataku yang masih berat. Dimanakah aku? Udara sangat pengap dan panas. Kuraba bajuku sangat ketat dan tidak nyaman. Gaun pengantin? Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, dan aku mulai mengingat semuanya.
Kakiku penuh luka, darah mulai mengering di sana-sini. Ada bercak darah di gaun putih pernikahan. Aku tidak tahu bagaimana aku mendapatkan luka ini? Dan bagaimana aku tiba-tiba berada di gudang. Ada terpal kotor menutupi tubuhku yang lemah yang kini mulai terasa gatal-gatal.
Tangis Iqbal makin jelas terdengar di telingaku. Dan kini mataku pun mulai jelas melihat sekelilingku. Meski kepala masih terasa sakit dan berat, cukup untukku bisa membawa tubuhku bangun dan duduk.
Kenapa aku disekap di gudang? Satu-satunya pemegang kunci gudang penyimpanan makanan ini adalah Ruby. Dan aku yakin ini adalah perbuatannya. Tapi aku tidak menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya kepadaku. Karena dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku memang ingin menghindari pernikahan itu.
"Ruby, mana kunci gudang ini?" Aku mendengar Iqbal berteriak kepada Ruby.
"Untuk apa Tuan kecil?" suara Ruby bertanya.
"Cepat berikan!" bentak Iqbal emosi.
Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu mulai dibuka.
"Umi ...!" teriak Iqbal menghamburkan tubuhnya ke pelukanku setelah pintu itu terbuka. Aku masih belum sadar benar, tubuhku terasa melayang.
"Umi, kenapa ini harus terjadi padamu?" Iqbal memelukku semakin erat.
Tangisnya pun makin menjadi saat dia melihat ada luka di kakiku. Dia meraba lukaku, tatapannya nanar sambil meremas tanganku. Seolah dia merasakan juga luka ini. Dia meremas semakin kuat seolah ingin memberikan kekuatan dan dukungan kepadaku.
"Ruby, kenapa kamu melakukan ini kepada Umiku? Emangnya siapa kamu?" bentak Iqbal.
"Apa yang kamu katakan, Tuan Kecil?" bantah Ruby yang berdiri di belakang Iqbal.
"Jangan berpura-pura lagi, aku tahu semuanya!" teriak Iqbal.
Aku terkejut saat Iqbal mengatakan kalau dia mengetahui apa yang dilakukan Ruby. Darimana dia tahu? Tapi Iqbal anak yang cerdas, dia pasti berani bicara berdasarkan bukti. Apakah dia memeriksa CCTV?
"Tuan Muda ... Tuan Muda ...!" teriak Ruby tiba-tiba, sambil keluar gudang.
"Darimana kamu tahu kalau Ruby yang melakukannya, Iqbal?" bisikku di telinga Iqbal.
"Aku mengecek CCTV, Umi," jawab Iqbal berbisik juga.
"Jangan katakan apapun pada Abimu ya!" pesanku.
"Kenapa, Umi? Abi harus tahu, kalau tidak, dia akan menyalahkan Umi terus," berontak Iqbal.
"Sayang, kalau sampai Ruby diusir oleh Abi, maka kedua pembantu itu akan ikut bersamanya pergi. Kalau mereka semua pergi, kita harus cari pembantu baru. Dan itu sulit, nanti masih harus mengajari bekerja dari awal, pasti makin ribet bikin Oma kamu sedih nanti." Aku menjelaskannya kepada Iqbal karena memang aku tidak mau suasana semakin kacau.
"Mana dia?" teriak Faruq yang sudah berdiri di depanku.
Iqbal menatapku dengan iba, air matanya meleleh. Tampak dari raut mukanya sedih dan ketakutan. Aku membalas tatapan Iqbal dengan senyum pasrah.
Faruq dengan tanpa menaruh iba sedikitpun menarik tanganku dengan kuat. Tubuhku yang lemah dan Iqbal terseret karena dia sedang memelukku.
"Lepaskan Umimu! Dan pergi kamu ke kamar!" perintah Faruq membentaknya.
"Jangan sakiti Umi, Abi!" pekik Iqbal memohon.
Dengan kasar Faruq mendorong tubuh Iqbal dengan kuat dan membuatnya terpelanting jatuh.
"Iqbal ...!" teriakku spontan. "Jangan sakiti, anakku, Tuan Muda!" tangisku memohon.
"Itu karena kamu berani mempermalukan aku di depan tamu-tamuku." Faruq semakin keras mencengkeram lenganku.
Iqbal yang terjatuh, kembali berdiri dan menghampiri tubuhku dan memelukku kembali.
"Lepaskan Umimu, Iqbal!" bentaknya dengan mencengkeram lengan Iqbal.
"Lepaskan anakku, Tuan Muda! Tanganmu bisa melukainya!" kataku memohon.
"Hasan ... Hasan ...!" teriak Faruq.
"Iya, Tuan Muda?" Hasan muncul dengan tergopoh-gopoh dan diikuti Tuan Muhammad Husain dan nyonya.
"Bawa Iqbal ke kamarnya!" perintahnya berteriak.
"Baik Tuan Muda," jawab Hasan tegas.
"Jangan sakiti umiku, Abi! Tolong .., umi tidak bersalah!" teriak Iqbal menangis memohon.
Aku menatap Iqbal yang dibawa paksa oleh penjaga keamanan. Hatiku terasa perih seperti tergores sembilu. Dadaku tiba-tiba terasa sesak bernafas.
"Jadi kamu bersembunyi di sini? Dasar wanita bodoh! Jual mahal sekali kamu! Hajar saja dia, bikin ulah saja!" kata Tuan Hussein dengan marah.
"Hukum saja gadis tolol ini! Jangan beri dia ampun!" nyonya menimpalinya.
Faruq menyeret paksa tubuhku ke luar gudang.
"Ampun Tuan Muda!" desahku lirih menahan sakit.
Tampak Faruq terbelalak melihat ada darah di kaki dan gaun pengantin.
"Bagaimana ada darah, ini darah apa?" tanya Faruq panik.
Aku sudah tidak sanggup berkata-kata. Faruq mulai membopong tubuhku dan membawanya masuk ke kamarku.
"Panggilkan dokter, Hasan!" teriak Faruq panik.
Dia membaringkan tubuhku diatas tempat tidur. Aku masih bisa merasakan tangannya yang besar itu membelai rambutku.
"Kalau kamu berniat lari dan sembunyi, kenapa ada luka dikakimu, kenapa sekujur tubuhmu bintik-bintik merah?" gumamnya sendiri.
Aku pura-pura pingsan untuk menghindari hukuman dari Faruq.
"Ada apa Faruq, kenapa kamu memanggil dokter?" tanya nyonya membuka pintu kamarku.
"Dia sakit Umi, badannya demam dan ada bintik-bintik merah di tubuhnya," jawab Faruq.
"Kok bisa? Bikin repot saja!" gerutu nyonya.
Tak berselang lama dokter keluarga datang. Dengan intens dia memeriksa tubuhku. Aku mulai berani membuka mataku dan mengakhiri sandiwaraku.
"Kamu sudah sadar? Apa yang kamu rasakan?" tanya dokter dengan lembut.
Faruq ikut mengamatiku dengan penuh kekhawatiran. Dia duduk disampingku sambil tangannya mengusap dan memijat kakiku.
"Perut saya sakit dokter dan pinggang saya nyeri sekali," kataku lirih.
"Sepertinya anda sedang keguguran ya? Apakah anda hamil?" tanya dokter hati-hati.
Aku terkejut sekali dengan pertanyaan dokter. Sambil mengingat-ingat memang bulan ini harusnya aku mentruasi, tapi terlambat tiga minggu. Aku benar-benar tidak menyadarinya.
"Aku tidak tahu, dokter," jawabku ragu.
"Kapan terakhir mentruasi?" tanya dokter.
Aku jadi takut dan malu menjawabnya. Karena kehamilanku bukanlah sesuatu yang kuharapkan bahkan momok bagiku. Bagaimana aku mengatakan hamil kepada orang lain, dimana tidak ada pernikahan diantara kami?
"Tanggal lima dokter." jawabku ragu.
"Iya, berarti anda sedang hamil tujuh minggu. Sayang sekali keguguran, Nyonya. Mungkin karena anda kecapekan atau stres bisa juga," kata dokter pelan.
"Jadi dia hamil dan keguguran dokter?" tanya Faruq terperangah.
"Benar, sudah tujuh minggu, kok bisa anda tidak mengetahuinya? Ini aku beri resep tolong belikan obatnya ya, untuk membersihkan rahim anda. Syukur-syukur kalau mau kuret biar bersih rahimnya!" kata dokter memberi saran.
"Tidak usah dokter!" sahutku.
Dokter tersenyum, kemudian pamit pulang dan meninggalkan selembar kertas resep obat.
Faruq menatapku dengan tajam, aku hanya terdiam dan menunduk menahan rasa takut.
"Aku tidak tahu harus bicara apa, bagaimana kamu hamil anakku dan kamu diam saja. Atau jangan-jangan ini pendarahan memang kamu sengaja ingin menggugurkannya, iya kan?" tuduh Faruq dengan emosi. "Aku mau menikahi kamu, memberi status pada hubungan kita, tapi kamu menolaknya, apa maumu? Apakah aku tidak pantas buat kamu? Sementara di luaran sana para wanita mengidolakan diriku. Memangnya kamu cantik, pintar, kaya? Kamu tuh cuma seorang budak yang bodoh dan tidak cantik, aku tidak tahu kenapa aku tergila-gila padamu?" pekiknya menahan emosi.
Baru kali ini aku mendengar dengan jelas pernyataan Tuan Muda bahwa dia sedang tergila-gila padaku.
Akankah sikap Faruq berubah karena kejadian ini?
Bersambung ...
.
Faruq shock, ternyata dia menginginkan bayi itu. Tapi aku tidak berdaya, bagaimana aku bisa tidak menyadari kalau ada pertumbuhan mahluk mungil di rahimku. Betapapun aku menyesalinya, nasi sudah menjadi bubur."Bagaimana mungkin kamu tidak tahu kalau hamil, Fahim? Atau jangan-jangan memang kamu sengaja ingin menggugurkannya karena kamu tidak menginginkan bayi itu?" tuduh Faruq memekik menangis."Apakah aku sekejam itu? Bagaimana mungkin aku membunuh darah dagingku sendiri? Meskipun aku tidak menginginkan bayi itu, meskipun aku benci sama kamu, aku jijik sama kamu tapi aku bukan manusia kejam yang bisa membunuh anakku sendiri!" teriakku emosi tepat di depan wajahnya.Seolah ingin melepaskan gejolak hatiku yang lama kutahan. Tak perduli kekejaman apalagi yang bakal kuterima, pasti rasanya tak sesakit kehilangan bayiku."Beraninya kamu bicara seperti itu kepadaku! Dasar wanita gila, bodoh! Wanita pembangkang, bukannya minta maaf, malah ngelunjak!" teri
Aku lebih suka tidur di kamar Iqbal. Tanpa sepengetahuan Tuan Hussein dan nyonya aku sering menyelinap tidur di kamar Iqbal. Bila mereka mengetahuinya, aku pasti dimarahi bahkan dihukum karena tidur di sana. Mereka merasa aku tidak sederajat dengan Iqbal sehingga tidak boleh tidur seranjang dengan anakku sendiri. Tidur di kamar Iqbal adalah salah satu cara agar aku bisa selamat dari nafsu Faruq. Malam ini aku masih sakit, aku yakin Faruq tidak akan memaksaku bercinta. Maka itu aku tidur di kamarku sendiri. Terdengar dia membuka pintu kamarku yang sebenarnya sudah aku kunci. Tapi dia memegang kunci duplikatnya. Dia sudah melakukan ini hampir setiap malam. Nafsu sexnya terlalu tinggi, mungkin pengaruh dari makanan yang dikonsumsinya setiap hari. Aku pura-pura tidur saat dia mendekatiku. Seluruh badanku yang dilukai dengan cambuk itu pun belum sembuh. Aku sengaja tidak menutupinya dengan selimut karena sentuhan selimut menyakiti lukaku. Aku melirik
Aku harus memasak untuk makan siang majikan dan semua pembantu. Ada lima pembantu wanita, tiga sopir dan lima penjaga rumah dan bagian taman.Mereka selalu mengerjai aku dengan memberikan pekerjaan mereka. Hampir semua pekerjaan berat diberikan kepadaku. Tapi kalau Iqbal atau Faruq sedang di rumah, mereka tidak berani menyuruhku bahkan sangat menghormatiku."Fahim, habis memasak jemur baju terus seterika!" perintah Ruby berlagak bos."Tapi sebelumnya sapu dan pel kamar ku dulu, soalnya ada pecahan gelas." sahut Sena.Tanpa membantah aku menuruti apa kata mereka. Tapi sebelumnya aku menyiapkan makan siang buat nyonya. Aku dengan sabar berdiri di dekatnya agar kalau dia membutuhkan sesuatu tidak kesulitan.Nyonya hampir selesai makan, tiba-tiba Tuan Hussein datang."Sekalian siapkan makan buatku, Fahim!" pinta Tuan Hussein."Baik, Tuan." kataku dengan patuh.Aku berjalan ke dapur mengambilkan lagi sayur yang hangat. Aku mel
Suara di lantai bawah mulai gaduh, kemarahan tuan dan nyonya sangat jelas terdengar. "Fahim, turun kau!" teriak nyonya kemudian. Aku dan Iqbal saling berpandangan, ada perasaan khawatir. "Umi turun dulu, Iqbal!" pamitku kepada Iqbal. "Aku ikut, Umi! Aku tidak mau Umi kena masalah. Aku takut mereka mengerjai Umi lagi!" ujar Iqbal. "Tidak perlu takut sayang, selama kita benar dan jujur, Allah pasti menolong kita," kataku menenangkannya, padahal hatiku sendiri ragu. "Tapi Umi ...." katanya terpotong. '"Sudahlah kamu siapkan alat sekolah kamu dan segera turun untuk sarapan ya!" kataku kemudian berjalan meninggalkan Iqbal. Aku lihat di bawah sudah berkumpul semua pembantu sedang di sidang oleh majikan laki dan perempuan, juga Faruq. Saat aku berjalan turun tangga semua mata tertuju kepadaku.Aku jadi salah tingkah dan tidak tahu harus bagaimana? "Sini kamu, cepat!" bentak nyonya kepadaku. "Baik Nyo
Kubuka mataku, ternyata aku tertidur di kamarku dan Iqbal menemaniku. Aku merasakan sakit yang teramat sangat di jemariku. Aku mengingat semuanya, ini karena sabetan cambuk dari Tuan Hussein. Punggung tanganku merah kehitaman, dan sepertinya bekas diolesi krem.Bila aku mengingat kejadian pagi itu rasanya tercekam bagai menghadapai algojo. Dan seketika dadaku terasa sesak bernafas, ngeri sekali rasanya. Aku jadi membayangkan bagaimana dengan TKW Indonesia yang sedang menghadapi hukuman pancung? Dia membela diri karena diperkosa majikan.Kalau akhirnya TKW itu tidak sengaja membunuhnya untuk membela diri, apa itu salah? Kenapa justru dia harus menghadapi hukum pancung sebagai pelengkap penderitaannya?Komplotan Ruby tidak berani menyakitiku, apalagi untuk menyentuh tubuhku. Tapi kalau dengan fitnah seperti ini, akan lebih membahayakan diriku. Aku bisa saja kena hukuman potong tangan kalau saja Faruq dan Iqbal tidak menolongku.Aku menatap anakku Iqbal yang
Hari ini kebetulan hari Minggu, acara Ta'aruf sudah dipersiapkan dengan matang. Ada tiga mobil yang ikut mengantar ke rumah calon mempelai wanita."Faruq, aku yakin kamu pasti tertarik dengan calon pengantinmu, dia cantik sekali," kata wanita paruh baya yang tak lain adalah adik abinya."Tante, kok belum-belum bilang calon pengantin wanita sih, emangnya aku setuju? Kan baru ta'aruf belum juga melihat orangnya," jawab Faruq sambil tertawa renyah."Tapi dia seperti bidadari, kamu pasti terpukau melihatnya. Selain cantik, dia cerdas dan kaya," kata Tante Umamah."Yah, kita lihat saja nanti!" jawab Faruq tegas.Aku hanya mengintip kegiatan mereka dari lantai atas. Aku melihat Iqbal yang mengenakan setelan jas mewah sangat tampan. Membuat aku begitu bangga menjadi uminya.Faruq mengenakan jas setelan sama dengan jas Iqbal. Dia tak kalah ganteng, saat mereka duduk berdampingan seperti pinang dibelah dua. Aku hanya menatapnya dari atas. Kelua
Aku menunggu dengan cemas, dan mondar-mandir di dekat jendela kamarku. Sebentar-sebentar aku melongok ke luar jendela sambil melihat kalau-kalau rombongan mobil ta'aruf itu datang. Terasa begitu lama, benar ternyata menunggu itu sangat melelahkan.Tiga jam lebih akhirnya rombongan itu datang. Aku begitu penasaran dengan hasil pertemuan itu. Acara ta'aruf saja yang ikut sekian banyak orang sih, beda dengan Indonesia. Baru kalau acara lamaran melibatkan banyak orang.Aku mengintip dari jendela, mereka turun dari mobil menuju ke rumah. Wajah mereka berseri-seri semua. Aku keluar kamar dan mengintai dari balkon."Kubilang apa? Faruq pasti akan terpana melihat kecantikannya. Dia bukan saja cantik wajahnya, tapi cerdas," ujar tante Umamah."Dia juga pandai menari dan bernyanyi." sahut adik nyonya, Hanifah."Kamu beruntung sekali, Kak Faruq, selera kamu berkelas sekali," sahut Ihsan menimpali."Memang mata kakak masih waras, tau?" jawab Faruq terta
Aku tidak bisa terus berbaring sekalipun badanku demam. Aku harus membantu Iqbal menyiapkan keperluan sekolah juga sarapannya. Mereka berkumpul di meja makan. Makan pagi ini sangat ramai karena semua tamu masih belum pulang.Aku melirik Ikhsan yang dengan nakal matanya berkedip-kedip menggodaku. Aku menunduk takut dan risih, Iqbal bergegas meraih tanganku seolah dia menyadari ketakutanku. Jemari mungil nya meremas tanganku sambil menatap lembut dan mengangguk tersenyum membuat sejuk hatiku."Hei kamu Fahim kan? Kalau Faruq tertarik sama kamu, itu berarti karena kamu cantik," gumam Umamah."Jadi penasaran juga," Ikhsan menimpali."Buka dong!" sela Sholikin sambil tangannya meraih cadar yang menutupi wajahku.Spontan tanganku menangkisnya. Semua mata terbelalak kaget. Mereka merasa aku terlalu berani dan tidak sopan kepada tamu. Kalau saja Faruq melihat semua ini pasti akan terjadi baku hantam lagi.Faruq masih berkemas di kamarnya, demi
Ternyata orang yang sangat kucintai menusukku dari belakang. Diam-diam dia akan mengambil Erkan dariku. Pandainya dia bersandiwara seolah dia adalah pahlawanku, pelindungku juga anak-anak. Ternyata dia ular yang berbisa. Semenjak aku mendengar telepon dari Hema itu aku harus lebih hati-hati kepada Muzammil."Faruq, berikan Erkan kepadaku!" pinta Muzammil kepada Faruq.Dengan suka hati Faruq memberikannya kepada Muzammil. Aku menatapnya dengan kecewa, "harusnya kamu menjaganya, Pangeran, bukannya malah akan menculiknya," batinku."Aku akan menyuapinya, Pangeran," kataku."Suapi saja biar kugendong," usul Muzammil.Tanpa berontak terpaksa aku menyuapi Erkan yang dalam gendongan Muzammil. Sambil bergurau riang menghibur Erkan agar mudah makan. Aku melihat Faruq terpaku menatapku, perasaan canggung mulai menghinggapiku."Assalamualaikum ...?" sapa Marwa yang tiba-tiba muncul di depan kami."Waalaikum salam," jawab kami bersamaan."Marwa?" panggil Faruq terkejut."Nyonya Marwa?" panggilku
Muzammil terkejut ternyata yang menelepon pengawal istana dan mengabarkan hasil penyelidikannya. Ternyata benar wanita yang aku curigai itu adalah Marwa. Berarti Marwa ada di Indonesia? Apa yang dilakukan di negaraku? Apa karena Faruq dan Iqbal belum pulang ke Inagara? Apakah Marwa sudah tahu kalau Faruq sedang sakit? Kalau benar dia sudah tahu tapi kenapa masih mengejar-ngejar Faruq? Apa itu artinya cinta Marwa tulus kepada Faruq? Faruq tidak boleh menyia-nyiakan ketulusan hati seorang istri. Aku tahu Marwa begitu membenciku karena rasa cemburunya yang begitu buta karena takut kehilangan Faruq. Tapi kalau ternyata dia belum mengetahui kalau Faruq sedang sakit, apa yang akan terjadi bila akhirnya dia tahu? Apakah dia akan meninggalkannya?"Awasi terus jangan sampai kehilangan jejak!" perintah Muzammil kepada pengawal istana kemudian menutup teleponnya."Ternyata feeling kamu benar, dia adalah Marwa," gumam Muzammil."Aku takut, Pangeran!" ujarku lirih.Muzammil segera memelukku, hang
Aku sudah kembali ke rumah, betapa bahagianya melihat Iqbal dan Erkan serta adik barunya bermain dengan rukunnya.. Gadis yang manis itu akan aku adopsi dengan nama Naura. Sepertinya itu nama yang cantik dan cocok buat dia. Aku dan Muzammil menemani mereka bermain di teras rumah."Iqbal suka punya adik cantik dan manis seperti dia?" tanyaku kepada Iqbal."Suka, Umi," jawab Iqbal. "Aku senang tinggal di sini, Umi, rasanya tidak ingin kembali ke Inagara," gumamnya."Kasihan abi juga opa dan oma, Sayang," hiburku."Nanti Iqbal akan semakin sering bertemu dengan mereka, jangan khawatir!" Muzammil juga menghiburnya."Iqbal sayang kan sama adik-adik?" tanyaku."Iya Umi, aku sayang banget sama adik-adikku, mereka imut," sahut Iqbal. "Sekarang adikku ada dua iya kan, Abi?" lanjutnya bertanya Muzammil."Iya, ada dua, kamu mau nambah lagi?" kelakar Muzammil."Ih apaan sih, Pangeran, mereka masih kecil-kecil repot tahu?" selaku berbisik sambil mencubit lengan Muzammil."Auh sakit, Zhee!" tawa Muz
Aku segera membacanya, betapa terkejutnya hatiku membaca isinya. Ibu menginginkan aku menikah dan bahagia dengan Faruq. Karena di depan matanya Faruq banyak melakukan pengorbanan dan selalu melindungiku. Ibuku menyaksikan sendiri betapa besar cinta Faruq untukku. Sementara dengan Muzammil dia belum pernah bertemu. Meskipun Muzammil seorang sultan dari Kerajaan Tukasha ternyata tidak membuat ibuku silau dengan pangkat dan derajat."Apa isinya, Zhee?" tanya Muzammil yang ikut mengamati surat itu."Bukan apa, Pangeran," jawabku. "Untung kamu tidak mengerti bahasanya," pikirku dalam hati."Kita lihat ibuku, kamu belum pernah melihat ibu kan?" kataku sambil menggandeng tangan Muzammil mencari jenazah ibu di baringkan.Dengan penasaran dia mengikutiku menuju ruang tengah. Aku melihat jenazah ibu sudah dimasukkan keranda. Akhirnya paman dan beberapa orang membantu membuka keranda itu agar aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya."Jangan menangis, Fahim, jangan sampai air matamu menetes di
Entah apa yang sedang kupikirkan, tiba-tiba saja aku balik kanan dan berlari sambil menggendong Erkan. Tanpa berpikir lagi Muzammil sedang di sisiku. Juga hampir lupa bahwa Erkan sedang dalam gendonganku. "Zhee!" teriak Muzammil memanggilku. Aku tidak menggubrisnya lagi, yang ada di otakku wajah Faruq yang melemah dan butuh dukungan orang yang dicintainya. Tanpa terasa aku sudah berdiri di depan pintu ruang dokter spesialis kanker atau Dokter Onkologi. Tanpa ragu aku menerobos masuk. "Nyonya, ada apa ini?" hardik perawat spontan. Aku tidak peduli, aku terus masuk hingga akhirnya menerobos ruang periksa dokter. "Siapa dia, Tuan?" tanya dokter dalam bahasa Inggris. "Dokter, bagaimana keadaannya?" sahutku panik. "Apa dia istrimu, Tuan?" tanya dokter lagi. "Saya keluarganya, Dok," jawabku. "Kebetulan, Nyonya, silakan duduk!" perintah dokter. "Hanya dukungan keluarga yang paling dibutuhkan. Satu-satunya jalan dia harus kemoterapi, Nyonya, tapi Tuan Faruq menolaknya," ujar dokter
Aku dan Faruq terbelalak kaget tidak mengira Muzammil tiba-tiba muncul. Dan kami tidak siap jawaban dengan pertanyaan itu. Aku dan Faruq saling berpandangan. Ada rasa tidak nyaman dengan kehadiran Muzammil terpancar di wajah Faruq."Ada apa kalian? Kenapa kelihatan tegang seperti itu?" tanya Muzammil sok polos."Penyusup itu, dia ... dia ... meninggal," ujarku pelan dan terbata-bata."Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya dia baik-baik saja?" tanya Muzammil heran. "Bagaimana bisa dengan tiba-tiba dia meninggal?" lanjutnya."Pura-pura!" sahut Faruq menggumam lirih."Maksudmu?" bentak Muzammil heran.Sontak mataku memberi isyarat agar Faruq bisa menahan diri. Belum saatnya kita membongkar kejahatan ini karena bukti belum jelas. Akhirnya Faruq pun menahan diri. Muzammil hendak membuka pintu ruang penyusup itu dirawat tapi perawat lebih dulu membuka pintu dan keluar membawa jenazah pindah ke kamar mayat."Mana mungkin? Dia satu-satunya harapan kita untuk mengungkapkan misteri kejahatan ini?
Muzammil menarik tanganku dan mengajak ke ruang keamanan. Aku hanya pasrah dan mengikutinya bahkan Faruq pun mengikuti kami berdua. "Jaga kamar anak-anakku, Burhan, jangan sampai kecolongan lagi!" pesan Muzammil sambil mempercepat langkahnya menyempatkan menghubungi bodyguard yang menjaga kamar Iqbaal dan Erkan. "Aku takut anak-anak dalam masalah, Pangeran!" sahutku. "Atau biar aku yang menunggu mereka, Zammil?" usul Faruq. "Iya, Faruq, tolong!" jawab Muzammil. Akhirnya Faruq berhenti sejenak karena terlalu lemah fisiknya, dan kami pun juga berhenti mengikuti Faruq. "Kamu baik-baik saja, Faruq?" tanya Muzammil. "Aku hanya capek," jawabnya singkat dibalik napasnya yang berpacu. "Pangeran, bolehkah aku mengantar Tuan muda ke kamarnya? Kasihan dia pucat sekali," pintaku dengan pelan agar pangeran tidak cemburu. Aku melihat dia sedang berpikir, aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya.Tapi aku lebih kasihan melihatnya tampak kesakitan dan melemah. "Tidak perlu, Fahim, aku tidak
Kita bertiga mendatangi kamar dimana penyusup itu dirawat. Dia masih belum sadarkan diri. Di depan pintu masuk ada empat bodyguard sedang berjaga."Dia sepertinya orang Indonesia, Fahim," gumam Faruq lirih. "Betul, Tuan muda," jawabku setuju dengan pendapat Faruq. "Tapi untuk siapa dia bekerja, apa salahku?" lanjutku meruntuk. "Kita tidak mengenalnya, bahkan aku dan ibu tidak punya musuh di sini," lanjutku sambil mengingat-ingat.Tiba-tiba dokter datang bersama perawat untuk memeriksa pasien."Pak Faruq, kenapa bapak tidak istirahat malah jalan-jalan kemari," tanya dokter begitu bertemu Faruq sedang berada di kamar pasien lain."Iya Dokter, sebentar lagi saya kembali ke kamar," jawab Faruq."Dokter Farid yang menangani anda adalah dokter terkenal di Indonesia, semoga bisa membantu masalah anda, Pak Faruq," kata dokter Bagus."Amiin," sahut Faruq dan Muzammil bersamaan."Bagaimana keadaan pasien ini, Dok?" tanya Muzammi."Keadaannya sudah stabil, dia akan segera sadar," kata dokter op
Tiba-tiba dokter dan perawat gadungan itu keluar dari kamar sambil menggendong paksa Erkan. Dia menconcongkan pistol ke kepala Erkan mengancam kalau kita mengadakan perlawanan maka peluru itu akan menebus kepala Erkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa harus menghukum bayi yang tidak berdosa? Kalau urusan kalian kepadaku atau pangeran ayo kita selesaikan kita bicara," usulku. Dua orang penjahat itu tidak merespon justru semakin kelihatan garang. Mereka semakin lari menjauh mencari jalan keluar. Yang membuat aku penasaran apa yang mereka inginkan. Kenapa selalu ingin menculik Erkan? Aku ingin lari mengikutinya, tapi sontak Muzammil menarik tanganku dan menghentikanku. "Tenangkan hatimu, Zhee!" pinta Muzammil. "Bagaimana bisa tenang, anakku dalam bahaya? Setelah hilang beberapa hari kini harus diculik lagi," tangisku menggerutu. "Dia sudah mulai berjalan keluar rumah sakit, awasi dan ikuti terus jangan sampai kehilangan jejak!" perinta Muzammil lewat telepon kepada sese