Aku lebih suka tidur di kamar Iqbal. Tanpa sepengetahuan Tuan Hussein dan nyonya aku sering menyelinap tidur di kamar Iqbal. Bila mereka mengetahuinya, aku pasti dimarahi bahkan dihukum karena tidur di sana.
Mereka merasa aku tidak sederajat dengan Iqbal sehingga tidak boleh tidur seranjang dengan anakku sendiri. Tidur di kamar Iqbal adalah salah satu cara agar aku bisa selamat dari nafsu Faruq.
Malam ini aku masih sakit, aku yakin Faruq tidak akan memaksaku bercinta. Maka itu aku tidur di kamarku sendiri.
Terdengar dia membuka pintu kamarku yang sebenarnya sudah aku kunci. Tapi dia memegang kunci duplikatnya. Dia sudah melakukan ini hampir setiap malam. Nafsu sexnya terlalu tinggi, mungkin pengaruh dari makanan yang dikonsumsinya setiap hari.
Aku pura-pura tidur saat dia mendekatiku. Seluruh badanku yang dilukai dengan cambuk itu pun belum sembuh. Aku sengaja tidak menutupinya dengan selimut karena sentuhan selimut menyakiti lukaku. Aku melirik Faruk yang berdiri di belakang ku. Di balik cahaya yang remang-remang dia berusaha mengamati dan mengelus-elus luka kakiku dengan pelan.
"Aku tahu kamu belum tidur. Kamu pasti juga menunggu aku datang kan?" tanyanya kaku.
"Cuih! Bahkan aku muak, jijik dan risih. Apa yang ada di otak kamu sehingga berpikiran aku sedang menunggumu?" batinku menghujat.
Tiba-tiba dia membaringkan tubuhnya di belakangku. Tangannya yang kekar itu melingkar di tubuh mungilku. Aku selalu tenggelam di dalam dekapannya. Dia tinggi, besar dan perkasa. Kalau sedang berdiri aku hanya setinggi dadanya. Tanganku teramat kecil bila dibanding dengan tangannya yang besarnya dua kali lipat.
"Aku hanya ingin tidur di sampingmu, Fahim! Memeluk tubuh kamu, aku janji tidak akan memaksamu melayani aku," ujar Faruq.
Aku tetap berpura-pura tidur, dengan tidak memberi respon apapun.
Faruq mulai mencium tengkukku, dia memelukku dengan erat dari belakang. Disibakkannya rambutku yang membelai wajahnya.
Ternyata aku benar-benar ketiduran, demikian juga dengan Faruq. Benar malam ini dia tidak melakukan apapun kepadaku. Dia hanya mendekapku dengan penuh kehangatan.
Saat mataku terbuka, aku berada dalam dekapan dadanya yang bidang. Dibalik piyamanya, aku masih bisa menyentuh bulu lembut di dadanya. Aku menatap dengan dalam wajah tampan Faruq yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahku. Bahkan hembusan hangat nafasnya, aku sangat merasakannya.
Kamu memang sangat tampan, Faruq. Bibir kamu merah dan indah, ada samar-samar belahan di bibirmu.. Alis kamu tebal dan rapi, ditambah bulu mata kamu yang lentik, oh karunia terindah dariNya. Mata kamu sangat indah, kebiruan dan berkilau. Kumis kamu yang tipis, bulu-bulu halus di dagu dan rahang kamu ... oh!
Andai saja kamu berhati malaikat, aku pasti bertekuk lutut memohon cintamu? Aku yang akan berjuang mendapatkan hatimu!" batinku. "Sayangnya kamu berhati iblis, kamu bagai hewan, yang memperlakukan orang lain juga seperti hewan.
Tak sadar ternyata tanganku meraba bulu halus di rahangnya, kemudian merayap ke bibirnya dengan penuh kekaguman. Selama ini aku tidak pernah punya keberanian untuk menatapnya selekat ini, bahkan menyentuhnya.
Hah! Aku terperanjat ketika matanya tiba-tiba terbuka.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya datar sambil merebut tanganku. Aku tidak mengira dia tiba-tiba terbangun.
Dia membalikkan tubuhku dengan cepat, kini dia menindihku. Kedua tanganku direntangkan ke atas. Dan kedua kakinya menghimpit pahaku. Aku tidak berdaya, apalagi dia menatap mataku dengan tajam. Sontak mataku memejam karena takut dan malu. Bergegas dia menyambar bibirku dan mengulumnya dengan hangat.
Dengan sekuat tenaga aku mendorong dadanya. Dengusanku yang kasar ungkapan pemberontakanku.
"Kamu yakin tidak menginginkannya?" bisiknya di telingaku.
"Tidak! Tidak sama sekali!" sahutku ketus.
"Tapi kamu menatapku, meraba ... kamu mulai mengagumiku kan?" tanyanya kaku.
"Lepaskan, Tuan Muda! Kamu salah paham!" bantahku semakin memberontak.
Dia masih mengunci kedua tanganku diatas kepalaku. Kaki dan pahaku yang sakit mulai terasa. Dan kini dia malah menghimpitnya dengan kuat.
"Bagaimana aku bisa mengagumimu, kamu persis seperti binatang!" hardikku.
Plag!
Dengan sekuat tenaga tangannya diayunkan menampar bibirku. Kemudian tangannya yang kekar dengan kuat mencengkeram rahangku. Aku meringis kesakitan, ada cairan yang anyir merasuk ke dalam mulutku. Aku bisa menebak itu pasti darah dari bibirku juga hidungku yang terluka, karena tamparan Faruq.
Rasa sakit yang tidak bisa kuraba, semua terasa sakit. Dari cengkeraman tangannya, himpitan tubuhnya, luka di bibir, luka cambuk kemarin, semua terasa menggerogotiku. Terlebih luka dalam, yaitu hati yang tidak bisa sembuh.
Rintihan tangisku, luka bibirku justru membuat birahi Faruk bergejolak. Detak jantungnya kencang, aku bisa mendengarnya. Bibirku yang pecah berdarah justru dia mengulumnya penuh nafsu. Tak bisa ku gambarkan betapa sakitnya ...
Bak kesetanan dia terus menikmati setiap lekuk tubuhku. Ciuman dan jilatan yang basah dan hangat menyusuri tubuhku yang sudah tak terhalang selembar benangpun.
Semakin aku menangis karena tersiksa, semakin naik adrenalin bercintanya. Harus dengan menyiksa dulu birahinya memuncak. Dengan tanpa jijik dia menjilati setiap luka yang dia toreh.
"Apakah ini iblis atau kelainan sex?" batinku.
Sepuluh tahun sudah Faruq memperlakukan aku seperti ini. Sejak usiaku 18 tahun dan kini menginjak 28 tahun. Ada trauma bercinta, yang menghantuiku yang tidak mungkin bisa terobati. Itu alasanku kenapa aku tidak mau menikah dengannya. Serasa menikahi iblis, aku hanya akan menjadi pemuas nafsunya belaka.
Aku dan dia terkapar setelah melayani nafsu bejat Faruq. Aku menangis melampiaskan sakit dan kecewa karena ulah Faruq yang tak pernah ada puasnya.
Dia mengangkat tubuhku yang terbungkus selimut masuk ke kamar mandi. Ditariknya selimut kemudian dibuka showernya, membuatku terbelalak kaget. Faruq mengguyur tubuhku dengan air shower sambil ngakak. Tapi suara tawanya membuatku semakin terluka.
***
"Umi, tolong ambilkan buku Sejarah Islam dan karya kaligrafi aku di atas meja ya!" pinta Iqbal kepadaku.
Aku terdiam, "Bagaimana cara aku mengambilnya? Kan tulisannya Arab gundul, bahasanya juga aku tak mengerti, bagaimana aku tahu?" batinku.
Tapi aku tidak bisa berkata tidak, aku juga ingin membantu anakku meskipun aku tidak pandai, kapan lagi aku membantunya. Dia jarang meminta tolong masalah sekolah kepadaku.
Tanpa berpikir panjang aku segera masuk kamar anakku mencari buku yang sedang dibutuhkannya. Aku harus segera menemukannya karena anakku sedang menunggu di meja makan sambil sarapan bersama abinya dan opa serta omanya.
Aku melihat meja penuh buku dan beberapa lembar kaligrafi. Berantakan sekali, lalu buku manakah yng sedang dibutuhkan Iqbal? Apakah buku yang paling atas ini dan kaligrafi juga paling atas. Semoga aku tidak melakukan kesalahan, pikirku.
Aku sedang turun dari tangga membawa apa yang sedang dibutuhkan Iqbal. Dari jauh aku sudah melihat Ruby datang membawa nampan berisi minuman. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi sepertinya Ruby sedang usil. Dari jauh dia sudah menatapku dengan licik.
Dia pura-pura tersandung sesuatu sehingga sontak Ruby terjerembab menimpa aku. Minuman panas di nampan tu mengguyur tanganku juga buku dan pekerjaan Iqbal.
"Auh!" jeritku spontan.
"Gimana sih, Fahim, jalan pakek mata dong!" hardik Ruby menuduh.
Aku terperanjat, kenapa justru dia menuding aku yang tidak hati-hati?
Aku sudah tidak memperdulikan tanganku yang panas kena tumpahan kopi dan susu kurma.
"Umi, kamu tidak apa-apa?" teriak Iqbal sambil berlari menghampiri aku. Dia memegang dan mengamati tanganku.
"Apapun yang kamu pegang selalu bermasalah, heran deh!" teriak Faruq.
"Kerja apapun selalu tidak beres, ceroboh!" Nyonya Hussein menimpali.
"Bukan Umi yang salah, Oma? Ruby tidak hati-hati," ujar Iqbal.
"Maafkan Umi, Iqbal! Umi yang salah, pekerjaan kamu jadi rusak, buku kamu juga basah," kataku menyesal.
"Tuan Kecil kok jadi nyalahin saya, kan Fahim yang ceroboh jalan tidak hati-hati," bantahya.
"Bisa mikir tidak, itu kaligrafi Iqbal mengerjakannya sejak dua hari yang lalu," sahut Faruq.
"Maafkan Umi, Iqbal!" Kataku menyesal sambil memegang erat tangan Iqbal sebagai permintaan maafku.
"Dasar wanita bodoh, memangnya guru Iqbal bisa mendengarkan permintaan maaf Iqbal. Dia tetap akan kena hukuman atas kesalahan kamu!"
Byur!
"Auh!" pekikku.
Tuan Hussein dengan cekatan mengguyur wajahku dengan air putih dari gelas. Aku terperanjat kaget, wajahku basah kuyup.
"Opa! Jangan!" teriak Iqbal ikut terperanjat melihat perlakuan Opanya kepadaku.
"Ruby, puas kamu? Semua orang memarahi umiku!" hardik Iqbal.
"Umi, syukurlah itu bukan kaligrafi untuk hari ini. Itu sudah di nilai. Berarti pekerjaan untuk hari ini masih di kamar!" kata Iqbal tersenyum puas.
Aku ikut bahagia, ternyata kesalahanku mengambil tugas Iqbal itu, justru menyelamatkannya.
Akhirnya Iqbal mengambil sendiri pekerjaan kaligrafinya yang masih tertinggal di kamar.
Aku mengantar Iqbal ke mobil sambil membawakan bekal untuk makan siangnya.
"Umi, kenapa bibir kamu luka dan membiru? Abi yang melakukannya ya?" tanya Iqbal sebelum masuk mobil.
"Umi kejedok pintu, Iqbal!" jawabku sekenanya. Ternyata anakku terlalu cerdas untuk membaca pikiranku.
"Umi, aku sudah besar, jangan bohongi aku seperti anak kecil!" pinta Iqbal sambil menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Iqbal salim dan mencium punggung tanganku kemudian mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, Umi!"
"Waalaikum salam, anakku sayang."
Belum aku kembali masuk, Faruq sudah menyusul ke luar.
"Cepat masuk, kenapa kamu masih di luar? Mau kabur?" tanya Faruq menohok.
Aku diam tak menjawab, perlakuannya semalam kepadaku terbayang lagi dengan jelas.
"Aku bulan depan ulang tahun, di hari bahagiaku itu hanya satu keinginanku, menikahi kamu," bisik Faruq di telingaku.
Aku hanya diam menahan terkejut yang tak terkira. "Dia masih mau berjuang untuk menikahi aku? Demi siapakah, dirinya sendiri atau Iqbal?" batinku.
Apakah kali ini aku bisa lolos lagi?
Bersambung ...
Aku harus memasak untuk makan siang majikan dan semua pembantu. Ada lima pembantu wanita, tiga sopir dan lima penjaga rumah dan bagian taman.Mereka selalu mengerjai aku dengan memberikan pekerjaan mereka. Hampir semua pekerjaan berat diberikan kepadaku. Tapi kalau Iqbal atau Faruq sedang di rumah, mereka tidak berani menyuruhku bahkan sangat menghormatiku."Fahim, habis memasak jemur baju terus seterika!" perintah Ruby berlagak bos."Tapi sebelumnya sapu dan pel kamar ku dulu, soalnya ada pecahan gelas." sahut Sena.Tanpa membantah aku menuruti apa kata mereka. Tapi sebelumnya aku menyiapkan makan siang buat nyonya. Aku dengan sabar berdiri di dekatnya agar kalau dia membutuhkan sesuatu tidak kesulitan.Nyonya hampir selesai makan, tiba-tiba Tuan Hussein datang."Sekalian siapkan makan buatku, Fahim!" pinta Tuan Hussein."Baik, Tuan." kataku dengan patuh.Aku berjalan ke dapur mengambilkan lagi sayur yang hangat. Aku mel
Suara di lantai bawah mulai gaduh, kemarahan tuan dan nyonya sangat jelas terdengar. "Fahim, turun kau!" teriak nyonya kemudian. Aku dan Iqbal saling berpandangan, ada perasaan khawatir. "Umi turun dulu, Iqbal!" pamitku kepada Iqbal. "Aku ikut, Umi! Aku tidak mau Umi kena masalah. Aku takut mereka mengerjai Umi lagi!" ujar Iqbal. "Tidak perlu takut sayang, selama kita benar dan jujur, Allah pasti menolong kita," kataku menenangkannya, padahal hatiku sendiri ragu. "Tapi Umi ...." katanya terpotong. '"Sudahlah kamu siapkan alat sekolah kamu dan segera turun untuk sarapan ya!" kataku kemudian berjalan meninggalkan Iqbal. Aku lihat di bawah sudah berkumpul semua pembantu sedang di sidang oleh majikan laki dan perempuan, juga Faruq. Saat aku berjalan turun tangga semua mata tertuju kepadaku.Aku jadi salah tingkah dan tidak tahu harus bagaimana? "Sini kamu, cepat!" bentak nyonya kepadaku. "Baik Nyo
Kubuka mataku, ternyata aku tertidur di kamarku dan Iqbal menemaniku. Aku merasakan sakit yang teramat sangat di jemariku. Aku mengingat semuanya, ini karena sabetan cambuk dari Tuan Hussein. Punggung tanganku merah kehitaman, dan sepertinya bekas diolesi krem.Bila aku mengingat kejadian pagi itu rasanya tercekam bagai menghadapai algojo. Dan seketika dadaku terasa sesak bernafas, ngeri sekali rasanya. Aku jadi membayangkan bagaimana dengan TKW Indonesia yang sedang menghadapi hukuman pancung? Dia membela diri karena diperkosa majikan.Kalau akhirnya TKW itu tidak sengaja membunuhnya untuk membela diri, apa itu salah? Kenapa justru dia harus menghadapi hukum pancung sebagai pelengkap penderitaannya?Komplotan Ruby tidak berani menyakitiku, apalagi untuk menyentuh tubuhku. Tapi kalau dengan fitnah seperti ini, akan lebih membahayakan diriku. Aku bisa saja kena hukuman potong tangan kalau saja Faruq dan Iqbal tidak menolongku.Aku menatap anakku Iqbal yang
Hari ini kebetulan hari Minggu, acara Ta'aruf sudah dipersiapkan dengan matang. Ada tiga mobil yang ikut mengantar ke rumah calon mempelai wanita."Faruq, aku yakin kamu pasti tertarik dengan calon pengantinmu, dia cantik sekali," kata wanita paruh baya yang tak lain adalah adik abinya."Tante, kok belum-belum bilang calon pengantin wanita sih, emangnya aku setuju? Kan baru ta'aruf belum juga melihat orangnya," jawab Faruq sambil tertawa renyah."Tapi dia seperti bidadari, kamu pasti terpukau melihatnya. Selain cantik, dia cerdas dan kaya," kata Tante Umamah."Yah, kita lihat saja nanti!" jawab Faruq tegas.Aku hanya mengintip kegiatan mereka dari lantai atas. Aku melihat Iqbal yang mengenakan setelan jas mewah sangat tampan. Membuat aku begitu bangga menjadi uminya.Faruq mengenakan jas setelan sama dengan jas Iqbal. Dia tak kalah ganteng, saat mereka duduk berdampingan seperti pinang dibelah dua. Aku hanya menatapnya dari atas. Kelua
Aku menunggu dengan cemas, dan mondar-mandir di dekat jendela kamarku. Sebentar-sebentar aku melongok ke luar jendela sambil melihat kalau-kalau rombongan mobil ta'aruf itu datang. Terasa begitu lama, benar ternyata menunggu itu sangat melelahkan.Tiga jam lebih akhirnya rombongan itu datang. Aku begitu penasaran dengan hasil pertemuan itu. Acara ta'aruf saja yang ikut sekian banyak orang sih, beda dengan Indonesia. Baru kalau acara lamaran melibatkan banyak orang.Aku mengintip dari jendela, mereka turun dari mobil menuju ke rumah. Wajah mereka berseri-seri semua. Aku keluar kamar dan mengintai dari balkon."Kubilang apa? Faruq pasti akan terpana melihat kecantikannya. Dia bukan saja cantik wajahnya, tapi cerdas," ujar tante Umamah."Dia juga pandai menari dan bernyanyi." sahut adik nyonya, Hanifah."Kamu beruntung sekali, Kak Faruq, selera kamu berkelas sekali," sahut Ihsan menimpali."Memang mata kakak masih waras, tau?" jawab Faruq terta
Aku tidak bisa terus berbaring sekalipun badanku demam. Aku harus membantu Iqbal menyiapkan keperluan sekolah juga sarapannya. Mereka berkumpul di meja makan. Makan pagi ini sangat ramai karena semua tamu masih belum pulang.Aku melirik Ikhsan yang dengan nakal matanya berkedip-kedip menggodaku. Aku menunduk takut dan risih, Iqbal bergegas meraih tanganku seolah dia menyadari ketakutanku. Jemari mungil nya meremas tanganku sambil menatap lembut dan mengangguk tersenyum membuat sejuk hatiku."Hei kamu Fahim kan? Kalau Faruq tertarik sama kamu, itu berarti karena kamu cantik," gumam Umamah."Jadi penasaran juga," Ikhsan menimpali."Buka dong!" sela Sholikin sambil tangannya meraih cadar yang menutupi wajahku.Spontan tanganku menangkisnya. Semua mata terbelalak kaget. Mereka merasa aku terlalu berani dan tidak sopan kepada tamu. Kalau saja Faruq melihat semua ini pasti akan terjadi baku hantam lagi.Faruq masih berkemas di kamarnya, demi
Aku semakin penasaran apa benar Faruq ada hubungan khusus dengan Ruby dan Sena sama seperti hubungannya denganku? Apakah Faruq akan marah kepada Sena demi membela diriku? "Senaaa ...!" teriak Faruq dari depan pintu kamarku. Aku penasaran apa yang akan terjadi? Aku menunggu kedatangan Sena dengan hati cemas dan penasaran. "Iya Tuan Muda, ada yang bisa saya bantu?" tanya Sena yang tersenyum genit dan menatap aku dengan tatapan mengejek. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Sena, tapi dengan sikap liciknya aku berkeyakinan dia sedang berpikir curang. "Apa kamu yang mengantarkan Saleeg buat Fahim?" tanya Faruq. "Saleeg? Tidak Tuan Muda saya baru keluar dari gudang mencatat bahan-bahan makanan yang harus di beli hari ini. Ini catatannya, Tuan Muda," kata Sena sambil menunjukkan selembar kertas. "Kamu yakin, Sena?" tanya Faruq datar. "Masak sih Tuan Muda tidak percaya padaku? Tapi tadi habis dari meja m
Di area itu terasa perih dan basah, aku menjadi jijik pada diriku sendiri. Kujambak rambutku kuat-kuat sambil menjerit histeris."Aaaaaagh!"Kugigit bibir bawahku dengan sangat kuat untuk mengalihkan sakit hatiku. Tak henti-hentinya aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu lemah dan bodoh sehingga jadi korban penindasan orang lain."Priya, apakah mungkin dia sudah menjamah tubuhku? Sepertinya dia sudah memperkosa aku, kenapa pakaian dalamku lepas?" tanyaku disela isak tangisku."Memang Tuan Muda butuh waktu dari kantor untuk sampai ke rumah ini. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Fahim. Yang tahu kalian berdua, kamu dan Ikhsan," ujar Priya sedih."Tidaaaaak! Aku muak ... aku jijiiiiik!" tangisku histeris.Priya segera memelukku kembali dan memenangkan aku,"Kamu harus kuat, kalau kamu seperti ini mereka akan tertawa puas. Keadaan seperti inilah yang dia harapkan, Fahim," Priya menghibur."Bagaimana kalau Ikhsan berhasil memp
Ternyata orang yang sangat kucintai menusukku dari belakang. Diam-diam dia akan mengambil Erkan dariku. Pandainya dia bersandiwara seolah dia adalah pahlawanku, pelindungku juga anak-anak. Ternyata dia ular yang berbisa. Semenjak aku mendengar telepon dari Hema itu aku harus lebih hati-hati kepada Muzammil."Faruq, berikan Erkan kepadaku!" pinta Muzammil kepada Faruq.Dengan suka hati Faruq memberikannya kepada Muzammil. Aku menatapnya dengan kecewa, "harusnya kamu menjaganya, Pangeran, bukannya malah akan menculiknya," batinku."Aku akan menyuapinya, Pangeran," kataku."Suapi saja biar kugendong," usul Muzammil.Tanpa berontak terpaksa aku menyuapi Erkan yang dalam gendongan Muzammil. Sambil bergurau riang menghibur Erkan agar mudah makan. Aku melihat Faruq terpaku menatapku, perasaan canggung mulai menghinggapiku."Assalamualaikum ...?" sapa Marwa yang tiba-tiba muncul di depan kami."Waalaikum salam," jawab kami bersamaan."Marwa?" panggil Faruq terkejut."Nyonya Marwa?" panggilku
Muzammil terkejut ternyata yang menelepon pengawal istana dan mengabarkan hasil penyelidikannya. Ternyata benar wanita yang aku curigai itu adalah Marwa. Berarti Marwa ada di Indonesia? Apa yang dilakukan di negaraku? Apa karena Faruq dan Iqbal belum pulang ke Inagara? Apakah Marwa sudah tahu kalau Faruq sedang sakit? Kalau benar dia sudah tahu tapi kenapa masih mengejar-ngejar Faruq? Apa itu artinya cinta Marwa tulus kepada Faruq? Faruq tidak boleh menyia-nyiakan ketulusan hati seorang istri. Aku tahu Marwa begitu membenciku karena rasa cemburunya yang begitu buta karena takut kehilangan Faruq. Tapi kalau ternyata dia belum mengetahui kalau Faruq sedang sakit, apa yang akan terjadi bila akhirnya dia tahu? Apakah dia akan meninggalkannya?"Awasi terus jangan sampai kehilangan jejak!" perintah Muzammil kepada pengawal istana kemudian menutup teleponnya."Ternyata feeling kamu benar, dia adalah Marwa," gumam Muzammil."Aku takut, Pangeran!" ujarku lirih.Muzammil segera memelukku, hang
Aku sudah kembali ke rumah, betapa bahagianya melihat Iqbal dan Erkan serta adik barunya bermain dengan rukunnya.. Gadis yang manis itu akan aku adopsi dengan nama Naura. Sepertinya itu nama yang cantik dan cocok buat dia. Aku dan Muzammil menemani mereka bermain di teras rumah."Iqbal suka punya adik cantik dan manis seperti dia?" tanyaku kepada Iqbal."Suka, Umi," jawab Iqbal. "Aku senang tinggal di sini, Umi, rasanya tidak ingin kembali ke Inagara," gumamnya."Kasihan abi juga opa dan oma, Sayang," hiburku."Nanti Iqbal akan semakin sering bertemu dengan mereka, jangan khawatir!" Muzammil juga menghiburnya."Iqbal sayang kan sama adik-adik?" tanyaku."Iya Umi, aku sayang banget sama adik-adikku, mereka imut," sahut Iqbal. "Sekarang adikku ada dua iya kan, Abi?" lanjutnya bertanya Muzammil."Iya, ada dua, kamu mau nambah lagi?" kelakar Muzammil."Ih apaan sih, Pangeran, mereka masih kecil-kecil repot tahu?" selaku berbisik sambil mencubit lengan Muzammil."Auh sakit, Zhee!" tawa Muz
Aku segera membacanya, betapa terkejutnya hatiku membaca isinya. Ibu menginginkan aku menikah dan bahagia dengan Faruq. Karena di depan matanya Faruq banyak melakukan pengorbanan dan selalu melindungiku. Ibuku menyaksikan sendiri betapa besar cinta Faruq untukku. Sementara dengan Muzammil dia belum pernah bertemu. Meskipun Muzammil seorang sultan dari Kerajaan Tukasha ternyata tidak membuat ibuku silau dengan pangkat dan derajat."Apa isinya, Zhee?" tanya Muzammil yang ikut mengamati surat itu."Bukan apa, Pangeran," jawabku. "Untung kamu tidak mengerti bahasanya," pikirku dalam hati."Kita lihat ibuku, kamu belum pernah melihat ibu kan?" kataku sambil menggandeng tangan Muzammil mencari jenazah ibu di baringkan.Dengan penasaran dia mengikutiku menuju ruang tengah. Aku melihat jenazah ibu sudah dimasukkan keranda. Akhirnya paman dan beberapa orang membantu membuka keranda itu agar aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya."Jangan menangis, Fahim, jangan sampai air matamu menetes di
Entah apa yang sedang kupikirkan, tiba-tiba saja aku balik kanan dan berlari sambil menggendong Erkan. Tanpa berpikir lagi Muzammil sedang di sisiku. Juga hampir lupa bahwa Erkan sedang dalam gendonganku. "Zhee!" teriak Muzammil memanggilku. Aku tidak menggubrisnya lagi, yang ada di otakku wajah Faruq yang melemah dan butuh dukungan orang yang dicintainya. Tanpa terasa aku sudah berdiri di depan pintu ruang dokter spesialis kanker atau Dokter Onkologi. Tanpa ragu aku menerobos masuk. "Nyonya, ada apa ini?" hardik perawat spontan. Aku tidak peduli, aku terus masuk hingga akhirnya menerobos ruang periksa dokter. "Siapa dia, Tuan?" tanya dokter dalam bahasa Inggris. "Dokter, bagaimana keadaannya?" sahutku panik. "Apa dia istrimu, Tuan?" tanya dokter lagi. "Saya keluarganya, Dok," jawabku. "Kebetulan, Nyonya, silakan duduk!" perintah dokter. "Hanya dukungan keluarga yang paling dibutuhkan. Satu-satunya jalan dia harus kemoterapi, Nyonya, tapi Tuan Faruq menolaknya," ujar dokter
Aku dan Faruq terbelalak kaget tidak mengira Muzammil tiba-tiba muncul. Dan kami tidak siap jawaban dengan pertanyaan itu. Aku dan Faruq saling berpandangan. Ada rasa tidak nyaman dengan kehadiran Muzammil terpancar di wajah Faruq."Ada apa kalian? Kenapa kelihatan tegang seperti itu?" tanya Muzammil sok polos."Penyusup itu, dia ... dia ... meninggal," ujarku pelan dan terbata-bata."Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya dia baik-baik saja?" tanya Muzammil heran. "Bagaimana bisa dengan tiba-tiba dia meninggal?" lanjutnya."Pura-pura!" sahut Faruq menggumam lirih."Maksudmu?" bentak Muzammil heran.Sontak mataku memberi isyarat agar Faruq bisa menahan diri. Belum saatnya kita membongkar kejahatan ini karena bukti belum jelas. Akhirnya Faruq pun menahan diri. Muzammil hendak membuka pintu ruang penyusup itu dirawat tapi perawat lebih dulu membuka pintu dan keluar membawa jenazah pindah ke kamar mayat."Mana mungkin? Dia satu-satunya harapan kita untuk mengungkapkan misteri kejahatan ini?
Muzammil menarik tanganku dan mengajak ke ruang keamanan. Aku hanya pasrah dan mengikutinya bahkan Faruq pun mengikuti kami berdua. "Jaga kamar anak-anakku, Burhan, jangan sampai kecolongan lagi!" pesan Muzammil sambil mempercepat langkahnya menyempatkan menghubungi bodyguard yang menjaga kamar Iqbaal dan Erkan. "Aku takut anak-anak dalam masalah, Pangeran!" sahutku. "Atau biar aku yang menunggu mereka, Zammil?" usul Faruq. "Iya, Faruq, tolong!" jawab Muzammil. Akhirnya Faruq berhenti sejenak karena terlalu lemah fisiknya, dan kami pun juga berhenti mengikuti Faruq. "Kamu baik-baik saja, Faruq?" tanya Muzammil. "Aku hanya capek," jawabnya singkat dibalik napasnya yang berpacu. "Pangeran, bolehkah aku mengantar Tuan muda ke kamarnya? Kasihan dia pucat sekali," pintaku dengan pelan agar pangeran tidak cemburu. Aku melihat dia sedang berpikir, aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya.Tapi aku lebih kasihan melihatnya tampak kesakitan dan melemah. "Tidak perlu, Fahim, aku tidak
Kita bertiga mendatangi kamar dimana penyusup itu dirawat. Dia masih belum sadarkan diri. Di depan pintu masuk ada empat bodyguard sedang berjaga."Dia sepertinya orang Indonesia, Fahim," gumam Faruq lirih. "Betul, Tuan muda," jawabku setuju dengan pendapat Faruq. "Tapi untuk siapa dia bekerja, apa salahku?" lanjutku meruntuk. "Kita tidak mengenalnya, bahkan aku dan ibu tidak punya musuh di sini," lanjutku sambil mengingat-ingat.Tiba-tiba dokter datang bersama perawat untuk memeriksa pasien."Pak Faruq, kenapa bapak tidak istirahat malah jalan-jalan kemari," tanya dokter begitu bertemu Faruq sedang berada di kamar pasien lain."Iya Dokter, sebentar lagi saya kembali ke kamar," jawab Faruq."Dokter Farid yang menangani anda adalah dokter terkenal di Indonesia, semoga bisa membantu masalah anda, Pak Faruq," kata dokter Bagus."Amiin," sahut Faruq dan Muzammil bersamaan."Bagaimana keadaan pasien ini, Dok?" tanya Muzammi."Keadaannya sudah stabil, dia akan segera sadar," kata dokter op
Tiba-tiba dokter dan perawat gadungan itu keluar dari kamar sambil menggendong paksa Erkan. Dia menconcongkan pistol ke kepala Erkan mengancam kalau kita mengadakan perlawanan maka peluru itu akan menebus kepala Erkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa harus menghukum bayi yang tidak berdosa? Kalau urusan kalian kepadaku atau pangeran ayo kita selesaikan kita bicara," usulku. Dua orang penjahat itu tidak merespon justru semakin kelihatan garang. Mereka semakin lari menjauh mencari jalan keluar. Yang membuat aku penasaran apa yang mereka inginkan. Kenapa selalu ingin menculik Erkan? Aku ingin lari mengikutinya, tapi sontak Muzammil menarik tanganku dan menghentikanku. "Tenangkan hatimu, Zhee!" pinta Muzammil. "Bagaimana bisa tenang, anakku dalam bahaya? Setelah hilang beberapa hari kini harus diculik lagi," tangisku menggerutu. "Dia sudah mulai berjalan keluar rumah sakit, awasi dan ikuti terus jangan sampai kehilangan jejak!" perinta Muzammil lewat telepon kepada sese