Suara di lantai bawah mulai gaduh, kemarahan tuan dan nyonya sangat jelas terdengar.
"Fahim, turun kau!" teriak nyonya kemudian.
Aku dan Iqbal saling berpandangan, ada perasaan khawatir.
"Umi turun dulu, Iqbal!" pamitku kepada Iqbal.
"Aku ikut, Umi! Aku tidak mau Umi kena masalah. Aku takut mereka mengerjai Umi lagi!" ujar Iqbal.
"Tidak perlu takut sayang, selama kita benar dan jujur, Allah pasti menolong kita," kataku menenangkannya, padahal hatiku sendiri ragu.
"Tapi Umi ...." katanya terpotong.
'"Sudahlah kamu siapkan alat sekolah kamu dan segera turun untuk sarapan ya!" kataku kemudian berjalan meninggalkan Iqbal.
Aku lihat di bawah sudah berkumpul semua pembantu sedang di sidang oleh majikan laki dan perempuan, juga Faruq. Saat aku berjalan turun tangga semua mata tertuju kepadaku.Aku jadi salah tingkah dan tidak tahu harus bagaimana?
"Sini kamu, cepat!" bentak nyonya kepadaku.
"Baik Nyonya!" jawabku ragu.
Sebenarnya jujur saja aku minder dan takut juga, karena mereka licik dan pandai bersiasat.
"Apa kamu merapikan kamarku kemarin?" tanya nyonya keras.
Memang sekeluarga kalau bicara keras dan kasar apalagi kalau terhadap pembantu.
"Iya betul, Nyonya," kataku pelan dan lembut.
"Fahim, apa itu tugas kamu?" sahut Faruq.
"Itu dia Tuan Muda, tiba-tiba dia bilang ingin membersihkan kamar Nyonya. Padahal kan bukan tugas dia, dan saya tidak berani membantah karena Fahim kan mamanya Iqbal, kekasih Tuan Muda," jawab Markamah berbohong.
Untuk kesekian kalinya aku dibuat kecewa oleh Markamah sesama TKW dari Indonesia. Dia tega menjatuhkan aku dan itu sudah sering dilakukannya.
"Fahim, sudah kukatakan berkali-kali kepadamu, tugas kamu cuma melayani aku dan Iqbal. Yang lain tugasnya pembantu, kamu berbeda dengan mereka!" hardik Faruq menatapku.
Tapi aku menunduk takut, bagaimana kalau aku salah bicara dan dia memukulku di depan orang-orang ini, pasti rasa sakit karena malu akan terasa lebih perih daripada rasa sakit karena pukulannya.
"Bagaimana kalau kita geledah saja kamar mereka satu-persatu?" usul Tuan Hussein.
"Iya Abi, berani-beraninya dia mencuri di negara orang. Emangnya dia tidak tahu hukuman bagi pencuri?" sahut nyonya.
Aku sepintas melirik ke arah Markamah yang nyengir licik ke arah Ruby. Spontan hatiku menuduh bahwa ini pasti rekayasa dari mereka. Ya Allah lindungi hambaMu!
Faruq diam-diam mengamati aku yang sedang menatap Markamah dan Ruby.
Semua mulai berjalan menuju kamar pembantu yang berada di lantai bawah dekat dapur dan gudang penyimpanan makanan. Diawali kamar Ruby kemudian Sena baru Markamah dan Priya. Sementara penjaga rumah dan pekerja taman dan kebun tidak di periksa. Karena mereka tinggal di luar rumah yang jauh dari rumah utama.
Dari pemeriksaan di kamar mereka tidak ditemukan, kenapa aku jadi berdebar takut. Aku melihat Ruby menatap Sena dengan tersenyum puas.
Kini giliran kamarku yang jadi sasaran penggeledahan berikutnya. Semua orang berjalan menuju lantai dua, dimana kamar berada. Kamarku memang diistimewakan, aku berada di lantai atas dekat kamar Faruq dan Iqbal. Saat di kamarku sedang ramai di geledah aku berada di samping pintu. Mataku terpejam dan mendongak ke atas memasrahkan semuanya kepada Allah.
"Umi bilang selama kita jujur, Allah pasti akan menolong kita, iya kan? Umi jangan takut, Iqbal tahu Umiku tidak mungkin melakukan hal serendah itu," bisik Iqbal yang sudah di sampingku.
"Betul sayang!" gumamku lirih.
Faruq tiba-tiba menghampiriku sambil berbisik, "Kamu harus bisa menolong dirimu sendiri."
"Ini aku menemukannya!" teriak nyonya dengan keras.
Deg! Jantungku serasa copot, seketika mukaku bak terbakar.
"Ini tidak mungkin, Abi! Umi difitnah, Abi!" teriak anakku histeris kepada Faruq.
Aku meraih tubuhnya dan kupeluk dengan erat, dalam hatiku berkata, "Yang penting kamu percaya bukan umi pelakunya, itu sudah cukup buat umi"
"Fahim ...!" teriak Tuan Hussein dari dalam kamar.
"Aku yakin, di lubuk hatimu yang paling dalam kamu tahu aku tidak mungkin melakukan ini, iya kan?" gumamku lirih di depan Faruq, kemudian berlalu pergi.
Aku berjalan masuk kamar, Tuan sedang membawa bungkusan kain yang dalamnya berisi perhiasan dan uang.
"Ini apa? Aku menemukannya dibawah kolom tempat tidurmu. Ini barang bukti, Fahim, kamu tidak bisa mengelak lagi!" gertak Tuan Hussein.
"Tapi saya tidak pernah menaruh barang itu di kamarku, Tuan. Jangankan untuk menaruh, memegang atau melihat pun saya belum pernah, Tuan!" pekikku.
"Opa, Umiku tidak mungkin melakukan itu!" sela Iqbal yang tiba-tiba muncul di sampingku.
"Opa seorang polisi, Iqbal. Ada barang bukti di kamar Umi, banyak saksi melihatnya, ini harus tetap diusut!" ujar tuan.
Aku terdiam, pandanganku ke luar kamar melihat Markamah dan Ruby serta Sena tersenyum licik. Mereka bersorak dengan memadukan tangan mereka dan tertawa mengejek. Apakah perlakuan yang istimewa ini yang membuat mereka iri kepadaku? Bukankah harusnya aku berada di kamar bawah bersama mereka, bukannya di kamar yang luas, mewah dan nyaman seperti ini?
Aku melihat Tuan Hussein mengambil ponselnya di saku. Dia mulai menekan kontak entah telepon siapa??
"Apa yang Abi lakukan?" tanya Faruq.
"Abi mau telepon polisi!" katanya dengan tegas.
"Jangan Abi! Kita bicarakan dulu baik-baik!" sahut Faruq.
"Aku tidak mau menyembunyikan pencuri di rumahku. Tidak perduli dia kekasih kamu, ataupun uminya Iqbal. Tapi dia adalah pencuri ...." Kata Tuan Hussein dengan marah.
"Abi, lihatlah Iqbal, tidakkah Abi menaruh iba padanya? Demi Iqbal cucumu, Abi!" Faruq memohon.
"Oke, aku tidak laporkan ke polisi tapi aku tetap mau menghukum dia, biar dia jera!" teriak Tuan Hussein emosi. "Umi, ambilkan tongkatku!" lanjutnya memerintah nyonya.
"Iya Abi, biar jera dia!" ujar nyonya sambil pergi mengambil tongkat.
"Pergi semua kalian! Faruq, bawa Iqbal pergi, bukankah dia harus sekolah?" perintah tuan berteriak.
Begitu nyonya datang membawa tongkat untuk mencambuk, tuan segera mendorong tubuh Faruq dan Iqbal ke luar dan pintunya di tutup.
Kini di dalam kamar aku dan tuan serta nyonya.
"Abi, buka pintunya, jangan lakukan itu, tolong!" teriak Faruq.
"Opa, jangan sakiti umi! Umi ...!" teriak histeris Iqbal.
Dadaku terasa sesak, rasa sakit dan perih di hati bukan karena luka tubuh tapi karena jerit Iqbal yang lebih menyayat hatiku.
Nyonya memegang kedua tanganku ditumpangkan di atas meja. Aku memejamkan mata karena takut dan ngeri menatap tongkat kecil bagai gagang pancing ikan.
Dengan emosi dan geram Tuan Hussein mengayunkan tongkat itu dan mencambuk tanganku.
"Auh ... ampuuun Tuan ... ampuuuun ...!" teriakku histeris.
"Umiiiii ...!" teriak dan tangis histeris Iqbal sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
"Abi.... hentikan! Tolong demi aku, hentikanlah!" Faruq berteriak memekik.
Aku menahan berkali-kali cambuk yang mendarat di tanganku. Tapi tubuhku semakin lemah untuk menahannya, hingga tiba-tiba aku tidak tahu apa yang terjadi.
Apakah Faruq dan Iqbal bisa menolongku?
Bersambung ...
Kubuka mataku, ternyata aku tertidur di kamarku dan Iqbal menemaniku. Aku merasakan sakit yang teramat sangat di jemariku. Aku mengingat semuanya, ini karena sabetan cambuk dari Tuan Hussein. Punggung tanganku merah kehitaman, dan sepertinya bekas diolesi krem.Bila aku mengingat kejadian pagi itu rasanya tercekam bagai menghadapai algojo. Dan seketika dadaku terasa sesak bernafas, ngeri sekali rasanya. Aku jadi membayangkan bagaimana dengan TKW Indonesia yang sedang menghadapi hukuman pancung? Dia membela diri karena diperkosa majikan.Kalau akhirnya TKW itu tidak sengaja membunuhnya untuk membela diri, apa itu salah? Kenapa justru dia harus menghadapi hukum pancung sebagai pelengkap penderitaannya?Komplotan Ruby tidak berani menyakitiku, apalagi untuk menyentuh tubuhku. Tapi kalau dengan fitnah seperti ini, akan lebih membahayakan diriku. Aku bisa saja kena hukuman potong tangan kalau saja Faruq dan Iqbal tidak menolongku.Aku menatap anakku Iqbal yang
Hari ini kebetulan hari Minggu, acara Ta'aruf sudah dipersiapkan dengan matang. Ada tiga mobil yang ikut mengantar ke rumah calon mempelai wanita."Faruq, aku yakin kamu pasti tertarik dengan calon pengantinmu, dia cantik sekali," kata wanita paruh baya yang tak lain adalah adik abinya."Tante, kok belum-belum bilang calon pengantin wanita sih, emangnya aku setuju? Kan baru ta'aruf belum juga melihat orangnya," jawab Faruq sambil tertawa renyah."Tapi dia seperti bidadari, kamu pasti terpukau melihatnya. Selain cantik, dia cerdas dan kaya," kata Tante Umamah."Yah, kita lihat saja nanti!" jawab Faruq tegas.Aku hanya mengintip kegiatan mereka dari lantai atas. Aku melihat Iqbal yang mengenakan setelan jas mewah sangat tampan. Membuat aku begitu bangga menjadi uminya.Faruq mengenakan jas setelan sama dengan jas Iqbal. Dia tak kalah ganteng, saat mereka duduk berdampingan seperti pinang dibelah dua. Aku hanya menatapnya dari atas. Kelua
Aku menunggu dengan cemas, dan mondar-mandir di dekat jendela kamarku. Sebentar-sebentar aku melongok ke luar jendela sambil melihat kalau-kalau rombongan mobil ta'aruf itu datang. Terasa begitu lama, benar ternyata menunggu itu sangat melelahkan.Tiga jam lebih akhirnya rombongan itu datang. Aku begitu penasaran dengan hasil pertemuan itu. Acara ta'aruf saja yang ikut sekian banyak orang sih, beda dengan Indonesia. Baru kalau acara lamaran melibatkan banyak orang.Aku mengintip dari jendela, mereka turun dari mobil menuju ke rumah. Wajah mereka berseri-seri semua. Aku keluar kamar dan mengintai dari balkon."Kubilang apa? Faruq pasti akan terpana melihat kecantikannya. Dia bukan saja cantik wajahnya, tapi cerdas," ujar tante Umamah."Dia juga pandai menari dan bernyanyi." sahut adik nyonya, Hanifah."Kamu beruntung sekali, Kak Faruq, selera kamu berkelas sekali," sahut Ihsan menimpali."Memang mata kakak masih waras, tau?" jawab Faruq terta
Aku tidak bisa terus berbaring sekalipun badanku demam. Aku harus membantu Iqbal menyiapkan keperluan sekolah juga sarapannya. Mereka berkumpul di meja makan. Makan pagi ini sangat ramai karena semua tamu masih belum pulang.Aku melirik Ikhsan yang dengan nakal matanya berkedip-kedip menggodaku. Aku menunduk takut dan risih, Iqbal bergegas meraih tanganku seolah dia menyadari ketakutanku. Jemari mungil nya meremas tanganku sambil menatap lembut dan mengangguk tersenyum membuat sejuk hatiku."Hei kamu Fahim kan? Kalau Faruq tertarik sama kamu, itu berarti karena kamu cantik," gumam Umamah."Jadi penasaran juga," Ikhsan menimpali."Buka dong!" sela Sholikin sambil tangannya meraih cadar yang menutupi wajahku.Spontan tanganku menangkisnya. Semua mata terbelalak kaget. Mereka merasa aku terlalu berani dan tidak sopan kepada tamu. Kalau saja Faruq melihat semua ini pasti akan terjadi baku hantam lagi.Faruq masih berkemas di kamarnya, demi
Aku semakin penasaran apa benar Faruq ada hubungan khusus dengan Ruby dan Sena sama seperti hubungannya denganku? Apakah Faruq akan marah kepada Sena demi membela diriku? "Senaaa ...!" teriak Faruq dari depan pintu kamarku. Aku penasaran apa yang akan terjadi? Aku menunggu kedatangan Sena dengan hati cemas dan penasaran. "Iya Tuan Muda, ada yang bisa saya bantu?" tanya Sena yang tersenyum genit dan menatap aku dengan tatapan mengejek. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Sena, tapi dengan sikap liciknya aku berkeyakinan dia sedang berpikir curang. "Apa kamu yang mengantarkan Saleeg buat Fahim?" tanya Faruq. "Saleeg? Tidak Tuan Muda saya baru keluar dari gudang mencatat bahan-bahan makanan yang harus di beli hari ini. Ini catatannya, Tuan Muda," kata Sena sambil menunjukkan selembar kertas. "Kamu yakin, Sena?" tanya Faruq datar. "Masak sih Tuan Muda tidak percaya padaku? Tapi tadi habis dari meja m
Di area itu terasa perih dan basah, aku menjadi jijik pada diriku sendiri. Kujambak rambutku kuat-kuat sambil menjerit histeris."Aaaaaagh!"Kugigit bibir bawahku dengan sangat kuat untuk mengalihkan sakit hatiku. Tak henti-hentinya aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu lemah dan bodoh sehingga jadi korban penindasan orang lain."Priya, apakah mungkin dia sudah menjamah tubuhku? Sepertinya dia sudah memperkosa aku, kenapa pakaian dalamku lepas?" tanyaku disela isak tangisku."Memang Tuan Muda butuh waktu dari kantor untuk sampai ke rumah ini. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Fahim. Yang tahu kalian berdua, kamu dan Ikhsan," ujar Priya sedih."Tidaaaaak! Aku muak ... aku jijiiiiik!" tangisku histeris.Priya segera memelukku kembali dan memenangkan aku,"Kamu harus kuat, kalau kamu seperti ini mereka akan tertawa puas. Keadaan seperti inilah yang dia harapkan, Fahim," Priya menghibur."Bagaimana kalau Ikhsan berhasil memp
Aku jadi sakit hati bila ingat Faruq memperkenalkan aku sebagai pengasuh Iqbal. Harusnya aku mengerti posisi Faruq, memang tidak mudah. Aku cemburu setelah melihat betapa cantiknya Marwa. Perawakannya sangat bagus tinggi dan sintal, beda jauh denganku. Tinggiku hanya 158 cm dan beratku hanya 46 kg, tak sebanding dengan Marwa. Secara wajah aku juga tidak ada apa-apa nya, orang menyebut dia bagai bidadari. Tak salah bila aku menaruh cemburu. Takut kalau Faruq akan melupakan aku. Bukankah harusnya aku senang tidak menjadi budak nafsunya lagi. Bahkan mungkin dia akan melepaskan aku dari penjara yang membelenggu selama sepuluh tahun. Malah mungkin juga dia mengijinkan aku pulang ke Indonesia. "Umi, Abi pulang!" teriak Iqbal setelah membuka kamarku. Dengan tanpa memperdulikan rasa sakitku, aku segera beranjak bangun dan bergegas bersama Iqbal menyambut Faruq. "Abiiii ...!" teriak Iqbal sambil berlari menghampirinya. Aku dan Iqbal terpe
Saat aku membuka mataku, ada tangan kekar melingkar di pinggangku. Betapa terkejutnya ternyata Faruq tidur di sampingku. Aku melirik jam di atas meja kecil di samping ranjang menunjukkan pukul 03.00. Aku terbiasa terbangun di jam-jam itu, karena kebiasaan aku sholat Tahajud. Kenapa tiba-tiba Faruq menyusul tidur di kamarku? Padahal tadi Abi dan uminya, marah besar kepadaku. Mencaci aku separah itu, bila mengingatnya benar-benar membuat sakit hatiku. Aku perlahan menyibakkan tangan Faruq dan bangun untuk mengambil air wudhu untuk sholat Sunnah Tahajud. Dalam sholatku aku selalu menumpahkan tangisku kepada Zat Yang Maha Pengasih. Kadang aku berpikir, tubuhku yang kotor, selalu jadi pelampiasan nafsu majikan dan aku tak mampu menghindarinya hingga melahirkan seorang anak. Bagaimana dengan ibadahku, apakah Allah bisa menerima ibadahku? Wallahu A'lam Bish-shawab. Sekalian aku sholat Istikharah, sebentar lagi Faruq ulang tahun, aku harus memenuhi permintaan
Ternyata orang yang sangat kucintai menusukku dari belakang. Diam-diam dia akan mengambil Erkan dariku. Pandainya dia bersandiwara seolah dia adalah pahlawanku, pelindungku juga anak-anak. Ternyata dia ular yang berbisa. Semenjak aku mendengar telepon dari Hema itu aku harus lebih hati-hati kepada Muzammil."Faruq, berikan Erkan kepadaku!" pinta Muzammil kepada Faruq.Dengan suka hati Faruq memberikannya kepada Muzammil. Aku menatapnya dengan kecewa, "harusnya kamu menjaganya, Pangeran, bukannya malah akan menculiknya," batinku."Aku akan menyuapinya, Pangeran," kataku."Suapi saja biar kugendong," usul Muzammil.Tanpa berontak terpaksa aku menyuapi Erkan yang dalam gendongan Muzammil. Sambil bergurau riang menghibur Erkan agar mudah makan. Aku melihat Faruq terpaku menatapku, perasaan canggung mulai menghinggapiku."Assalamualaikum ...?" sapa Marwa yang tiba-tiba muncul di depan kami."Waalaikum salam," jawab kami bersamaan."Marwa?" panggil Faruq terkejut."Nyonya Marwa?" panggilku
Muzammil terkejut ternyata yang menelepon pengawal istana dan mengabarkan hasil penyelidikannya. Ternyata benar wanita yang aku curigai itu adalah Marwa. Berarti Marwa ada di Indonesia? Apa yang dilakukan di negaraku? Apa karena Faruq dan Iqbal belum pulang ke Inagara? Apakah Marwa sudah tahu kalau Faruq sedang sakit? Kalau benar dia sudah tahu tapi kenapa masih mengejar-ngejar Faruq? Apa itu artinya cinta Marwa tulus kepada Faruq? Faruq tidak boleh menyia-nyiakan ketulusan hati seorang istri. Aku tahu Marwa begitu membenciku karena rasa cemburunya yang begitu buta karena takut kehilangan Faruq. Tapi kalau ternyata dia belum mengetahui kalau Faruq sedang sakit, apa yang akan terjadi bila akhirnya dia tahu? Apakah dia akan meninggalkannya?"Awasi terus jangan sampai kehilangan jejak!" perintah Muzammil kepada pengawal istana kemudian menutup teleponnya."Ternyata feeling kamu benar, dia adalah Marwa," gumam Muzammil."Aku takut, Pangeran!" ujarku lirih.Muzammil segera memelukku, hang
Aku sudah kembali ke rumah, betapa bahagianya melihat Iqbal dan Erkan serta adik barunya bermain dengan rukunnya.. Gadis yang manis itu akan aku adopsi dengan nama Naura. Sepertinya itu nama yang cantik dan cocok buat dia. Aku dan Muzammil menemani mereka bermain di teras rumah."Iqbal suka punya adik cantik dan manis seperti dia?" tanyaku kepada Iqbal."Suka, Umi," jawab Iqbal. "Aku senang tinggal di sini, Umi, rasanya tidak ingin kembali ke Inagara," gumamnya."Kasihan abi juga opa dan oma, Sayang," hiburku."Nanti Iqbal akan semakin sering bertemu dengan mereka, jangan khawatir!" Muzammil juga menghiburnya."Iqbal sayang kan sama adik-adik?" tanyaku."Iya Umi, aku sayang banget sama adik-adikku, mereka imut," sahut Iqbal. "Sekarang adikku ada dua iya kan, Abi?" lanjutnya bertanya Muzammil."Iya, ada dua, kamu mau nambah lagi?" kelakar Muzammil."Ih apaan sih, Pangeran, mereka masih kecil-kecil repot tahu?" selaku berbisik sambil mencubit lengan Muzammil."Auh sakit, Zhee!" tawa Muz
Aku segera membacanya, betapa terkejutnya hatiku membaca isinya. Ibu menginginkan aku menikah dan bahagia dengan Faruq. Karena di depan matanya Faruq banyak melakukan pengorbanan dan selalu melindungiku. Ibuku menyaksikan sendiri betapa besar cinta Faruq untukku. Sementara dengan Muzammil dia belum pernah bertemu. Meskipun Muzammil seorang sultan dari Kerajaan Tukasha ternyata tidak membuat ibuku silau dengan pangkat dan derajat."Apa isinya, Zhee?" tanya Muzammil yang ikut mengamati surat itu."Bukan apa, Pangeran," jawabku. "Untung kamu tidak mengerti bahasanya," pikirku dalam hati."Kita lihat ibuku, kamu belum pernah melihat ibu kan?" kataku sambil menggandeng tangan Muzammil mencari jenazah ibu di baringkan.Dengan penasaran dia mengikutiku menuju ruang tengah. Aku melihat jenazah ibu sudah dimasukkan keranda. Akhirnya paman dan beberapa orang membantu membuka keranda itu agar aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya."Jangan menangis, Fahim, jangan sampai air matamu menetes di
Entah apa yang sedang kupikirkan, tiba-tiba saja aku balik kanan dan berlari sambil menggendong Erkan. Tanpa berpikir lagi Muzammil sedang di sisiku. Juga hampir lupa bahwa Erkan sedang dalam gendonganku. "Zhee!" teriak Muzammil memanggilku. Aku tidak menggubrisnya lagi, yang ada di otakku wajah Faruq yang melemah dan butuh dukungan orang yang dicintainya. Tanpa terasa aku sudah berdiri di depan pintu ruang dokter spesialis kanker atau Dokter Onkologi. Tanpa ragu aku menerobos masuk. "Nyonya, ada apa ini?" hardik perawat spontan. Aku tidak peduli, aku terus masuk hingga akhirnya menerobos ruang periksa dokter. "Siapa dia, Tuan?" tanya dokter dalam bahasa Inggris. "Dokter, bagaimana keadaannya?" sahutku panik. "Apa dia istrimu, Tuan?" tanya dokter lagi. "Saya keluarganya, Dok," jawabku. "Kebetulan, Nyonya, silakan duduk!" perintah dokter. "Hanya dukungan keluarga yang paling dibutuhkan. Satu-satunya jalan dia harus kemoterapi, Nyonya, tapi Tuan Faruq menolaknya," ujar dokter
Aku dan Faruq terbelalak kaget tidak mengira Muzammil tiba-tiba muncul. Dan kami tidak siap jawaban dengan pertanyaan itu. Aku dan Faruq saling berpandangan. Ada rasa tidak nyaman dengan kehadiran Muzammil terpancar di wajah Faruq."Ada apa kalian? Kenapa kelihatan tegang seperti itu?" tanya Muzammil sok polos."Penyusup itu, dia ... dia ... meninggal," ujarku pelan dan terbata-bata."Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya dia baik-baik saja?" tanya Muzammil heran. "Bagaimana bisa dengan tiba-tiba dia meninggal?" lanjutnya."Pura-pura!" sahut Faruq menggumam lirih."Maksudmu?" bentak Muzammil heran.Sontak mataku memberi isyarat agar Faruq bisa menahan diri. Belum saatnya kita membongkar kejahatan ini karena bukti belum jelas. Akhirnya Faruq pun menahan diri. Muzammil hendak membuka pintu ruang penyusup itu dirawat tapi perawat lebih dulu membuka pintu dan keluar membawa jenazah pindah ke kamar mayat."Mana mungkin? Dia satu-satunya harapan kita untuk mengungkapkan misteri kejahatan ini?
Muzammil menarik tanganku dan mengajak ke ruang keamanan. Aku hanya pasrah dan mengikutinya bahkan Faruq pun mengikuti kami berdua. "Jaga kamar anak-anakku, Burhan, jangan sampai kecolongan lagi!" pesan Muzammil sambil mempercepat langkahnya menyempatkan menghubungi bodyguard yang menjaga kamar Iqbaal dan Erkan. "Aku takut anak-anak dalam masalah, Pangeran!" sahutku. "Atau biar aku yang menunggu mereka, Zammil?" usul Faruq. "Iya, Faruq, tolong!" jawab Muzammil. Akhirnya Faruq berhenti sejenak karena terlalu lemah fisiknya, dan kami pun juga berhenti mengikuti Faruq. "Kamu baik-baik saja, Faruq?" tanya Muzammil. "Aku hanya capek," jawabnya singkat dibalik napasnya yang berpacu. "Pangeran, bolehkah aku mengantar Tuan muda ke kamarnya? Kasihan dia pucat sekali," pintaku dengan pelan agar pangeran tidak cemburu. Aku melihat dia sedang berpikir, aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya.Tapi aku lebih kasihan melihatnya tampak kesakitan dan melemah. "Tidak perlu, Fahim, aku tidak
Kita bertiga mendatangi kamar dimana penyusup itu dirawat. Dia masih belum sadarkan diri. Di depan pintu masuk ada empat bodyguard sedang berjaga."Dia sepertinya orang Indonesia, Fahim," gumam Faruq lirih. "Betul, Tuan muda," jawabku setuju dengan pendapat Faruq. "Tapi untuk siapa dia bekerja, apa salahku?" lanjutku meruntuk. "Kita tidak mengenalnya, bahkan aku dan ibu tidak punya musuh di sini," lanjutku sambil mengingat-ingat.Tiba-tiba dokter datang bersama perawat untuk memeriksa pasien."Pak Faruq, kenapa bapak tidak istirahat malah jalan-jalan kemari," tanya dokter begitu bertemu Faruq sedang berada di kamar pasien lain."Iya Dokter, sebentar lagi saya kembali ke kamar," jawab Faruq."Dokter Farid yang menangani anda adalah dokter terkenal di Indonesia, semoga bisa membantu masalah anda, Pak Faruq," kata dokter Bagus."Amiin," sahut Faruq dan Muzammil bersamaan."Bagaimana keadaan pasien ini, Dok?" tanya Muzammi."Keadaannya sudah stabil, dia akan segera sadar," kata dokter op
Tiba-tiba dokter dan perawat gadungan itu keluar dari kamar sambil menggendong paksa Erkan. Dia menconcongkan pistol ke kepala Erkan mengancam kalau kita mengadakan perlawanan maka peluru itu akan menebus kepala Erkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa harus menghukum bayi yang tidak berdosa? Kalau urusan kalian kepadaku atau pangeran ayo kita selesaikan kita bicara," usulku. Dua orang penjahat itu tidak merespon justru semakin kelihatan garang. Mereka semakin lari menjauh mencari jalan keluar. Yang membuat aku penasaran apa yang mereka inginkan. Kenapa selalu ingin menculik Erkan? Aku ingin lari mengikutinya, tapi sontak Muzammil menarik tanganku dan menghentikanku. "Tenangkan hatimu, Zhee!" pinta Muzammil. "Bagaimana bisa tenang, anakku dalam bahaya? Setelah hilang beberapa hari kini harus diculik lagi," tangisku menggerutu. "Dia sudah mulai berjalan keluar rumah sakit, awasi dan ikuti terus jangan sampai kehilangan jejak!" perinta Muzammil lewat telepon kepada sese