Plag!
"Bodoh!" teriaknya geram.
Dengan sekuat tenaga tamparan Faruq mendarat di wajahku. Seketika pipiku terasa sakit, panas bak terbakar. Kepala terasa berputar karena pusing. Kebodohan aku, bagaimana aku tanpa berpikir panjang mengibaskan jas itu di depannya. Sontak saja bersin-bersin Faruq semakin parah.
"Kamu bukan saja bodoh tapi juga jorok! Bagaimana banyak bulu kucing di jasku? Malah dikibaskan di depanku, otak itu dipakek!" bentaknya.
Tangannya yang besar itu mencengkeram dengan kasar pipiku. Sehingga bibirku mengkerucut dan sakit. Kini bukan saja wajahku yang panas dan perih, ditambah cengkeraman Faruq membuat ngilu rahangku.
"Kamu sengaja ya?" bisik Faruq sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Aku terdiam, tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan Faruq. Sekilas mataku menangkap Ruby, Sena dan Markamah tertawa puas penuh kelicikan. Tiga orang teman pembantu itu selalu saja ada cara untuk membuat aku dalam masalah.
"Maafkan aku Tuan Muda, aku tidak sengaja. Bagaimana bisa ada bulu kucing, padahal jas itu kuambil dari lemari," kataku membela diri.
"Kok malah curhat? Itu karena kamu tidak becus bekerja, tau!" bentak Faruq makin emosi.
Dia menarik rambutku yang terbungkus hijab dengan kuat, sontak tubuhku terdorong ke belakang.
"Sakit Tuan Muda!" pekikku menahan tangis.
"Abi,...!" teriak Iqbal anakku yang tiba-tiba muncul.
Faruq bersin, sehingga tanpa disadari dia melepas cengkeramannya. Iqbal berlari mendekap tubuhku. Terdengar suaranya bergetar memanggil,
"Umi," sambil tangannya semakin erat memeluk pinggangku.
Dia adalah anakku, yang terlahir karena perkosaan yang dilakukan Faruq saat dia masih kuliah. Hampir setiap hari aku harus melayani nafsu bejatnya, dan itu masih dilakukannya hingga sekarang.
Kini anakku sudah berusia sembilan tahun. Dia selalu memberikan badannya untuk melindungi aku dari siksaan abinya maupun neneknya.
"Abi, jangan siksa Umi terus, kasihan Umi kesakitan!" pekik Iqbal menangis.
"Umi kamu bodoh sih!" jawab Faruq ketus.
"Tapi Iqbal sangat menyayangi Umi, Abi! Umi juga sayang sama Iqbal. Apakah Abi tidak sayang sama Umi, sama Iqbal?" Iqbal bertanya dengan lembut diiringi isak tangis.
"Tentu saja Abi menyayangi Umi maupun Iqbal," jawab Faruq tampak terpaksa karena gengsi.
Kehadiran Iqbal di tengah-tengah keluarga mereka sanggup menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Tuan dan nyonya juga sangat menyayanginya, apalagi Faruq, abinya.
"Cepat siapkan jas yang lain! Aku sudah terlambat rapat, Fahim!" pintanya datar.
"Baik, Tuan Muda," jawabku pelan sambil bergegas mengambil jas yang lain dari dalam lemari.
Aku melirik kearah Faruq yang mulai melepas jas dan celananya sambil sesekali masih terdengar bersinnya.
Kini dia hanya mengenakan boxer dan kaos dalam. Terus terang setiap kali aku melihatnya seperti ini, ada getar-getar bak listrik yang menjalar sampai ke ubun-ubun. Untung saja ada anakku Iqbal, kalau tidak, pasti otak cabul Faruq juga muncul. Dia akan meraih tanganku dan menuntunnya menjelajah kemana-mana.
"Iqbal, bujuk Umimu, agar mau dinikahi Abi! Umimu keras kepala dan sombong. Apa kurangnya Abi coba, ganteng, kaya, iya kan?" tanya Faruq sombong.
"Abi galak sih,... kasar!" sahut Iqbal.
"Umimu saja yang bodoh! Di luar sana banyak wanita cantik ingin Abi nikahi ... Umimu sombong dan jual mahal!" kata Faruq sambil menepuk pundak Iqbal, tapi pandangannya tajam menatapku.
Aku yakin dengan tatapannya yang tajam ke arahku, menandakan kata-kata itu ditujukan langsung kepadaku.
"Baik Abi, biar Umi aku yang urus!" jawab anakku dengan lembut.
"Kuberi waktu satu bulan, mau tidak mau penghulu datang ke sini menikahkan kita!" bisiknya kepadaku kemudian pergi.
Aku terdiam, percuma aku berontak toh dia sudah pergi ke luar.
"Umi, kenapa Umi tidak mau menikah dengan Abi. Iqbal ingin punya keluarga utuh kayak teman-teman. Demi Iqbal, Umi!" pinta Iqbal memohon kepadaku.
"Iqbal sayang, Umi minta waktu berpikir ya!" kataku menenangkan.
Padahal dalam hatiku menolak keras, aku tidak mau menikah dengan orang kasar dan kejam serta ringan tangan. Dia sudah lama membuat hidupku dalam penderitaan. Pernah aku berpikir mempunyai seorang imam yang berhati lembut, romantis dan pengertian. Semua itu tidak ada padanya.
Iqbal berjalan pergi meninggalkan kamar abinya. Aku hanya menatap punggung mungilnya. Satu-satunya yang membuat aku bertahan di sini hanyalah dia.
Kini aku seorang diri merapikan kamar Faruq.
Sena dan Ruby adalah TKW dari suatu negara lain. Tiba-tiba dia datang dan menggelandang aku keluar kamar dan menyeret ke ruang loundry.
"Cuci korden dan baju-baju ini, setelah itu masakkan makan siang buat kita semua!" perintah Sena dan Ruby menekan.
"Baik," jawabku pelan penuh kepasrahan.
Satu-satunya temanku sesama Indonesia adalah Markamah. Tapi dia lebih memilih membantu TKW dari negara lain, daripada aku sesama orang Indonesia. Mungkin karena dia takut kena intimidasi sama seperti diriku. Satu-satunya yang bisa aku ajak bicara adalah TKW dari negara Banlada, dia Priya.
Aku sudah sepuluh tahun bekerja di suatu negara sebut saja Inagara, di rumah Tuan Muhammad Hussein seorang polisi yang berpangkat Jendral. Sedang dua orang pembantu dari negara Arcada sudah dua belas tahun bekerja.
Faruq adalah putra tunggalnya yang ketampananya bikin para wanita meleleh. Banyak wanita memimpikannya, termasuk Sena dan Ruby.
Entah kenapa aku tidak bisa jatuh cinta padanya. Jujur, terkadang aku melihat ketampanan sesekali tergetar. Tapi saat mengingat perangainya yang kasar, kejam dan selalu ringan tangan membuatku tersiksa. Selain diriku, dia juga suka merendahkan orang lain, itu yang aku benci.
Sepuluh tahun bekerja di Inagara tak sekalipun Faruq mengijinkan aku cuti pulang ke Indonesia.Berbeda dengan pembantu yang lain, dua tahun sekali mereka mendapat cuti satu bulan pulang ke negaranya.
Ini sangat tidak adil bagiku, tapi apa dayaku. Jangankan untuk pulang cuti, ke luar rumah saja aku tidak bisa. Mereka menjagaku dengan ketat seolah tahanan. Faruq takut kalau aku melarikan diri. Padahal pasporku sudah sejak awal ditahan oleh Faruq. Andai saja aku bisa kabur dari penjara ini, tentu hanya anakku yang ingin aku bawa pulang ke Indonesia.
***
"Fahim, buatkan susu kurma hangat!" perintah nyonya, mamanya Faruq.
"Baik Nyonya," jawabku bersemangat.
Aku segera pergi ke dapur membuatkan minuman untuk nyonya maupun Iqbal. Kebetulan dia sedang libur sekolah.
Aku berjalan dengan nampan di tanganku, tiba-tiba saja kaki Ruby menjulur tepat dibawah kakiku.
Pyaar!
Suara gelas jatuh, dan aku terjerembab bersama nampan dan minumannya.
"Oups jatuh!" ujar Ruby tersenyum puas kemudian pergi begitu saja.
"Ya Allah, ceroboh sekali kamu! Jalan pakek mata, setiap hari selalu membuat kesalahan. Heran deh, bagaimana anakku bisa menyukai kamu?" Katanya sambil tangannya menampar wajahku dengan kuat.
Plag!
"Oma!" teriak anakku. "Jangan pukul Umiku!" pekik Iqbal memohon.
"Umimu ceroboh sekali! Ayo kita pergi dari sini banyak pecahan kaca, Iqbal!" ajak nyonya sambil menggandeng anakku. "Cepet bersihkan!" teriaknya sambil melangkah pergi.
Aku masih meraba pipiku yang panas karena tamparan majikanku. Bekas cap tangan dari Faruq belum sembuh, kini sudah ditambah lagi tamparan majikanku perempuan.
***
Di rumah ada pesta, aku tidak tahu pesta apa itu? Karena hampir setiap bulan para kerabat berdatangan makan bersama. Mereka bersenang-senang menari dan bernyanyi. Saat-saat seperti ini aku selalu disembunyikan dan disekap oleh Faruq. Bahkan aku dikunci di kamarnya.
Tiba-tiba pintu kamar Faruq dibuka, Faruq datang bersama dua orang wanita disisinya.
"Dandani dia yang cantik!" perintah Faruq kepada kedua wanita itu.
"Baik Tuan,' jawab mereka serempak.
"Ada apa, Tuan Muda? Kenapa saya berdandan?" teriakku bertanya.
"Diam!" jawabnya membentak.
Sontak terbersit dalam ingatanku bahwa Faruq akan menikahiku. Dia memberiku waktu satu bulan untuk berpikir. Tapi dia belum minta jawaban dariku, setuju atau tidak? Ini berarti dia memaksaku meskipun aku tidak setuju.
Dua wanita itu mulai memoles wajahku, satu orang yang lain menyiapkan make up, kemudian baju. Tak terasa air mata yang lama aku tahan akhirnya bergulir di pipiku.
"Kalau Nona terus menangis, bagaimana saya bisa meriasnya. Pipi Nona basah dan bedaknya akan berantakan!" tutur perias.
Bagaimana aku tidak menangis mereka memperlakukan aku seperti ini? Pernikahan ini bukan atas dasar cinta, tapi nafsu. Dia hanya ingin menghalalkan kegiatan berhubungan suami istri. Karena yang ada di otaknya hanya nafsu sexnya. Hampir setiap hari aku diperlakukan bagai budak pemuas nafsunya. Ayahnya yang seorang polisi, membiarkan anaknya melakukan ini.
"Nona cantik sekali, seperti boneka India," kata perias kepadaku.
Aku menatap wajahku di cermin, inikah Fahim Roesaline? Seorang TKI yang menjadi budak sex majikannya, hingga melahirkan seorang anak diluar nikah? Gadis bodoh yang hanya lulusan Madrasah Tsanawiyah.
Aku terdiam, pikiranku sedang melayang, bersiasat. Bagaimana cara aku bisa lepas dari acara pernikahan ini?
"Kak, bisa minta tolong panggilkan Iqbal, anakku?" kataku meminta tolong.
Ketika salah satu perias keluar kamar, Ruby masuk dengan membawa segelas jus jeruk.
"Ini jus segar buat kamu, agar kamu fresh." Katanya sambil tersenyum sinis menatap aku dengan tajam.
Aku bisa membaca pikirannya, ada sesuatu yang sedang dia rencanakan. Aku pasrah, karena pikiranku benar-benar buntu. Aku tidak mau pernikahan ini terjadi.
"Tuan Kecil Iqbal sedang makan, sehabis makan dia akan kemari, Nona!" kata perias itu.
Selesai merias, mereka pun pamit pulang meninggalkan aku dan Ruby di kamar.
"Minumlah!" kata Ruby sambil menyodorkan gelas jus.
Tanpa berpikir panjang aku meneguk jus jeruk yang segar sebagai pelepas dahagaku. Sedari tadi aku menahan tenggorokanku yang mulai mengering.
Tiba-tiba aku mengantuk hebat, kepalaku berat sekali. Terasa pening menggigit, dan ...
Apa yang terjadi padaku?
Bersambung ...
..
Kepalaku terasa sakit dan berat, mataku sulit sekali kubuka. Samar-samar dari jauh kudengar tangis Iqbal memanggilku."Umi ...!" teriaknya histeris.Aku berusaha membuka mataku yang masih berat. Dimanakah aku? Udara sangat pengap dan panas. Kuraba bajuku sangat ketat dan tidak nyaman. Gaun pengantin? Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, dan aku mulai mengingat semuanya.Kakiku penuh luka, darah mulai mengering di sana-sini. Ada bercak darah di gaun putih pernikahan. Aku tidak tahu bagaimana aku mendapatkan luka ini? Dan bagaimana aku tiba-tiba berada di gudang. Ada terpal kotor menutupi tubuhku yang lemah yang kini mulai terasa gatal-gatal.Tangis Iqbal makin jelas terdengar di telingaku. Dan kini mataku pun mulai jelas melihat sekelilingku. Meski kepala masih terasa sakit dan berat, cukup untukku bisa membawa tubuhku bangun dan duduk.Kenapa aku disekap di gudang? Satu-satunya pemegang kunci gudang penyimpanan makanan ini adal
Faruq shock, ternyata dia menginginkan bayi itu. Tapi aku tidak berdaya, bagaimana aku bisa tidak menyadari kalau ada pertumbuhan mahluk mungil di rahimku. Betapapun aku menyesalinya, nasi sudah menjadi bubur."Bagaimana mungkin kamu tidak tahu kalau hamil, Fahim? Atau jangan-jangan memang kamu sengaja ingin menggugurkannya karena kamu tidak menginginkan bayi itu?" tuduh Faruq memekik menangis."Apakah aku sekejam itu? Bagaimana mungkin aku membunuh darah dagingku sendiri? Meskipun aku tidak menginginkan bayi itu, meskipun aku benci sama kamu, aku jijik sama kamu tapi aku bukan manusia kejam yang bisa membunuh anakku sendiri!" teriakku emosi tepat di depan wajahnya.Seolah ingin melepaskan gejolak hatiku yang lama kutahan. Tak perduli kekejaman apalagi yang bakal kuterima, pasti rasanya tak sesakit kehilangan bayiku."Beraninya kamu bicara seperti itu kepadaku! Dasar wanita gila, bodoh! Wanita pembangkang, bukannya minta maaf, malah ngelunjak!" teri
Aku lebih suka tidur di kamar Iqbal. Tanpa sepengetahuan Tuan Hussein dan nyonya aku sering menyelinap tidur di kamar Iqbal. Bila mereka mengetahuinya, aku pasti dimarahi bahkan dihukum karena tidur di sana. Mereka merasa aku tidak sederajat dengan Iqbal sehingga tidak boleh tidur seranjang dengan anakku sendiri. Tidur di kamar Iqbal adalah salah satu cara agar aku bisa selamat dari nafsu Faruq. Malam ini aku masih sakit, aku yakin Faruq tidak akan memaksaku bercinta. Maka itu aku tidur di kamarku sendiri. Terdengar dia membuka pintu kamarku yang sebenarnya sudah aku kunci. Tapi dia memegang kunci duplikatnya. Dia sudah melakukan ini hampir setiap malam. Nafsu sexnya terlalu tinggi, mungkin pengaruh dari makanan yang dikonsumsinya setiap hari. Aku pura-pura tidur saat dia mendekatiku. Seluruh badanku yang dilukai dengan cambuk itu pun belum sembuh. Aku sengaja tidak menutupinya dengan selimut karena sentuhan selimut menyakiti lukaku. Aku melirik
Aku harus memasak untuk makan siang majikan dan semua pembantu. Ada lima pembantu wanita, tiga sopir dan lima penjaga rumah dan bagian taman.Mereka selalu mengerjai aku dengan memberikan pekerjaan mereka. Hampir semua pekerjaan berat diberikan kepadaku. Tapi kalau Iqbal atau Faruq sedang di rumah, mereka tidak berani menyuruhku bahkan sangat menghormatiku."Fahim, habis memasak jemur baju terus seterika!" perintah Ruby berlagak bos."Tapi sebelumnya sapu dan pel kamar ku dulu, soalnya ada pecahan gelas." sahut Sena.Tanpa membantah aku menuruti apa kata mereka. Tapi sebelumnya aku menyiapkan makan siang buat nyonya. Aku dengan sabar berdiri di dekatnya agar kalau dia membutuhkan sesuatu tidak kesulitan.Nyonya hampir selesai makan, tiba-tiba Tuan Hussein datang."Sekalian siapkan makan buatku, Fahim!" pinta Tuan Hussein."Baik, Tuan." kataku dengan patuh.Aku berjalan ke dapur mengambilkan lagi sayur yang hangat. Aku mel
Suara di lantai bawah mulai gaduh, kemarahan tuan dan nyonya sangat jelas terdengar. "Fahim, turun kau!" teriak nyonya kemudian. Aku dan Iqbal saling berpandangan, ada perasaan khawatir. "Umi turun dulu, Iqbal!" pamitku kepada Iqbal. "Aku ikut, Umi! Aku tidak mau Umi kena masalah. Aku takut mereka mengerjai Umi lagi!" ujar Iqbal. "Tidak perlu takut sayang, selama kita benar dan jujur, Allah pasti menolong kita," kataku menenangkannya, padahal hatiku sendiri ragu. "Tapi Umi ...." katanya terpotong. '"Sudahlah kamu siapkan alat sekolah kamu dan segera turun untuk sarapan ya!" kataku kemudian berjalan meninggalkan Iqbal. Aku lihat di bawah sudah berkumpul semua pembantu sedang di sidang oleh majikan laki dan perempuan, juga Faruq. Saat aku berjalan turun tangga semua mata tertuju kepadaku.Aku jadi salah tingkah dan tidak tahu harus bagaimana? "Sini kamu, cepat!" bentak nyonya kepadaku. "Baik Nyo
Kubuka mataku, ternyata aku tertidur di kamarku dan Iqbal menemaniku. Aku merasakan sakit yang teramat sangat di jemariku. Aku mengingat semuanya, ini karena sabetan cambuk dari Tuan Hussein. Punggung tanganku merah kehitaman, dan sepertinya bekas diolesi krem.Bila aku mengingat kejadian pagi itu rasanya tercekam bagai menghadapai algojo. Dan seketika dadaku terasa sesak bernafas, ngeri sekali rasanya. Aku jadi membayangkan bagaimana dengan TKW Indonesia yang sedang menghadapi hukuman pancung? Dia membela diri karena diperkosa majikan.Kalau akhirnya TKW itu tidak sengaja membunuhnya untuk membela diri, apa itu salah? Kenapa justru dia harus menghadapi hukum pancung sebagai pelengkap penderitaannya?Komplotan Ruby tidak berani menyakitiku, apalagi untuk menyentuh tubuhku. Tapi kalau dengan fitnah seperti ini, akan lebih membahayakan diriku. Aku bisa saja kena hukuman potong tangan kalau saja Faruq dan Iqbal tidak menolongku.Aku menatap anakku Iqbal yang
Hari ini kebetulan hari Minggu, acara Ta'aruf sudah dipersiapkan dengan matang. Ada tiga mobil yang ikut mengantar ke rumah calon mempelai wanita."Faruq, aku yakin kamu pasti tertarik dengan calon pengantinmu, dia cantik sekali," kata wanita paruh baya yang tak lain adalah adik abinya."Tante, kok belum-belum bilang calon pengantin wanita sih, emangnya aku setuju? Kan baru ta'aruf belum juga melihat orangnya," jawab Faruq sambil tertawa renyah."Tapi dia seperti bidadari, kamu pasti terpukau melihatnya. Selain cantik, dia cerdas dan kaya," kata Tante Umamah."Yah, kita lihat saja nanti!" jawab Faruq tegas.Aku hanya mengintip kegiatan mereka dari lantai atas. Aku melihat Iqbal yang mengenakan setelan jas mewah sangat tampan. Membuat aku begitu bangga menjadi uminya.Faruq mengenakan jas setelan sama dengan jas Iqbal. Dia tak kalah ganteng, saat mereka duduk berdampingan seperti pinang dibelah dua. Aku hanya menatapnya dari atas. Kelua
Aku menunggu dengan cemas, dan mondar-mandir di dekat jendela kamarku. Sebentar-sebentar aku melongok ke luar jendela sambil melihat kalau-kalau rombongan mobil ta'aruf itu datang. Terasa begitu lama, benar ternyata menunggu itu sangat melelahkan.Tiga jam lebih akhirnya rombongan itu datang. Aku begitu penasaran dengan hasil pertemuan itu. Acara ta'aruf saja yang ikut sekian banyak orang sih, beda dengan Indonesia. Baru kalau acara lamaran melibatkan banyak orang.Aku mengintip dari jendela, mereka turun dari mobil menuju ke rumah. Wajah mereka berseri-seri semua. Aku keluar kamar dan mengintai dari balkon."Kubilang apa? Faruq pasti akan terpana melihat kecantikannya. Dia bukan saja cantik wajahnya, tapi cerdas," ujar tante Umamah."Dia juga pandai menari dan bernyanyi." sahut adik nyonya, Hanifah."Kamu beruntung sekali, Kak Faruq, selera kamu berkelas sekali," sahut Ihsan menimpali."Memang mata kakak masih waras, tau?" jawab Faruq terta
Ternyata orang yang sangat kucintai menusukku dari belakang. Diam-diam dia akan mengambil Erkan dariku. Pandainya dia bersandiwara seolah dia adalah pahlawanku, pelindungku juga anak-anak. Ternyata dia ular yang berbisa. Semenjak aku mendengar telepon dari Hema itu aku harus lebih hati-hati kepada Muzammil."Faruq, berikan Erkan kepadaku!" pinta Muzammil kepada Faruq.Dengan suka hati Faruq memberikannya kepada Muzammil. Aku menatapnya dengan kecewa, "harusnya kamu menjaganya, Pangeran, bukannya malah akan menculiknya," batinku."Aku akan menyuapinya, Pangeran," kataku."Suapi saja biar kugendong," usul Muzammil.Tanpa berontak terpaksa aku menyuapi Erkan yang dalam gendongan Muzammil. Sambil bergurau riang menghibur Erkan agar mudah makan. Aku melihat Faruq terpaku menatapku, perasaan canggung mulai menghinggapiku."Assalamualaikum ...?" sapa Marwa yang tiba-tiba muncul di depan kami."Waalaikum salam," jawab kami bersamaan."Marwa?" panggil Faruq terkejut."Nyonya Marwa?" panggilku
Muzammil terkejut ternyata yang menelepon pengawal istana dan mengabarkan hasil penyelidikannya. Ternyata benar wanita yang aku curigai itu adalah Marwa. Berarti Marwa ada di Indonesia? Apa yang dilakukan di negaraku? Apa karena Faruq dan Iqbal belum pulang ke Inagara? Apakah Marwa sudah tahu kalau Faruq sedang sakit? Kalau benar dia sudah tahu tapi kenapa masih mengejar-ngejar Faruq? Apa itu artinya cinta Marwa tulus kepada Faruq? Faruq tidak boleh menyia-nyiakan ketulusan hati seorang istri. Aku tahu Marwa begitu membenciku karena rasa cemburunya yang begitu buta karena takut kehilangan Faruq. Tapi kalau ternyata dia belum mengetahui kalau Faruq sedang sakit, apa yang akan terjadi bila akhirnya dia tahu? Apakah dia akan meninggalkannya?"Awasi terus jangan sampai kehilangan jejak!" perintah Muzammil kepada pengawal istana kemudian menutup teleponnya."Ternyata feeling kamu benar, dia adalah Marwa," gumam Muzammil."Aku takut, Pangeran!" ujarku lirih.Muzammil segera memelukku, hang
Aku sudah kembali ke rumah, betapa bahagianya melihat Iqbal dan Erkan serta adik barunya bermain dengan rukunnya.. Gadis yang manis itu akan aku adopsi dengan nama Naura. Sepertinya itu nama yang cantik dan cocok buat dia. Aku dan Muzammil menemani mereka bermain di teras rumah."Iqbal suka punya adik cantik dan manis seperti dia?" tanyaku kepada Iqbal."Suka, Umi," jawab Iqbal. "Aku senang tinggal di sini, Umi, rasanya tidak ingin kembali ke Inagara," gumamnya."Kasihan abi juga opa dan oma, Sayang," hiburku."Nanti Iqbal akan semakin sering bertemu dengan mereka, jangan khawatir!" Muzammil juga menghiburnya."Iqbal sayang kan sama adik-adik?" tanyaku."Iya Umi, aku sayang banget sama adik-adikku, mereka imut," sahut Iqbal. "Sekarang adikku ada dua iya kan, Abi?" lanjutnya bertanya Muzammil."Iya, ada dua, kamu mau nambah lagi?" kelakar Muzammil."Ih apaan sih, Pangeran, mereka masih kecil-kecil repot tahu?" selaku berbisik sambil mencubit lengan Muzammil."Auh sakit, Zhee!" tawa Muz
Aku segera membacanya, betapa terkejutnya hatiku membaca isinya. Ibu menginginkan aku menikah dan bahagia dengan Faruq. Karena di depan matanya Faruq banyak melakukan pengorbanan dan selalu melindungiku. Ibuku menyaksikan sendiri betapa besar cinta Faruq untukku. Sementara dengan Muzammil dia belum pernah bertemu. Meskipun Muzammil seorang sultan dari Kerajaan Tukasha ternyata tidak membuat ibuku silau dengan pangkat dan derajat."Apa isinya, Zhee?" tanya Muzammil yang ikut mengamati surat itu."Bukan apa, Pangeran," jawabku. "Untung kamu tidak mengerti bahasanya," pikirku dalam hati."Kita lihat ibuku, kamu belum pernah melihat ibu kan?" kataku sambil menggandeng tangan Muzammil mencari jenazah ibu di baringkan.Dengan penasaran dia mengikutiku menuju ruang tengah. Aku melihat jenazah ibu sudah dimasukkan keranda. Akhirnya paman dan beberapa orang membantu membuka keranda itu agar aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya."Jangan menangis, Fahim, jangan sampai air matamu menetes di
Entah apa yang sedang kupikirkan, tiba-tiba saja aku balik kanan dan berlari sambil menggendong Erkan. Tanpa berpikir lagi Muzammil sedang di sisiku. Juga hampir lupa bahwa Erkan sedang dalam gendonganku. "Zhee!" teriak Muzammil memanggilku. Aku tidak menggubrisnya lagi, yang ada di otakku wajah Faruq yang melemah dan butuh dukungan orang yang dicintainya. Tanpa terasa aku sudah berdiri di depan pintu ruang dokter spesialis kanker atau Dokter Onkologi. Tanpa ragu aku menerobos masuk. "Nyonya, ada apa ini?" hardik perawat spontan. Aku tidak peduli, aku terus masuk hingga akhirnya menerobos ruang periksa dokter. "Siapa dia, Tuan?" tanya dokter dalam bahasa Inggris. "Dokter, bagaimana keadaannya?" sahutku panik. "Apa dia istrimu, Tuan?" tanya dokter lagi. "Saya keluarganya, Dok," jawabku. "Kebetulan, Nyonya, silakan duduk!" perintah dokter. "Hanya dukungan keluarga yang paling dibutuhkan. Satu-satunya jalan dia harus kemoterapi, Nyonya, tapi Tuan Faruq menolaknya," ujar dokter
Aku dan Faruq terbelalak kaget tidak mengira Muzammil tiba-tiba muncul. Dan kami tidak siap jawaban dengan pertanyaan itu. Aku dan Faruq saling berpandangan. Ada rasa tidak nyaman dengan kehadiran Muzammil terpancar di wajah Faruq."Ada apa kalian? Kenapa kelihatan tegang seperti itu?" tanya Muzammil sok polos."Penyusup itu, dia ... dia ... meninggal," ujarku pelan dan terbata-bata."Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya dia baik-baik saja?" tanya Muzammil heran. "Bagaimana bisa dengan tiba-tiba dia meninggal?" lanjutnya."Pura-pura!" sahut Faruq menggumam lirih."Maksudmu?" bentak Muzammil heran.Sontak mataku memberi isyarat agar Faruq bisa menahan diri. Belum saatnya kita membongkar kejahatan ini karena bukti belum jelas. Akhirnya Faruq pun menahan diri. Muzammil hendak membuka pintu ruang penyusup itu dirawat tapi perawat lebih dulu membuka pintu dan keluar membawa jenazah pindah ke kamar mayat."Mana mungkin? Dia satu-satunya harapan kita untuk mengungkapkan misteri kejahatan ini?
Muzammil menarik tanganku dan mengajak ke ruang keamanan. Aku hanya pasrah dan mengikutinya bahkan Faruq pun mengikuti kami berdua. "Jaga kamar anak-anakku, Burhan, jangan sampai kecolongan lagi!" pesan Muzammil sambil mempercepat langkahnya menyempatkan menghubungi bodyguard yang menjaga kamar Iqbaal dan Erkan. "Aku takut anak-anak dalam masalah, Pangeran!" sahutku. "Atau biar aku yang menunggu mereka, Zammil?" usul Faruq. "Iya, Faruq, tolong!" jawab Muzammil. Akhirnya Faruq berhenti sejenak karena terlalu lemah fisiknya, dan kami pun juga berhenti mengikuti Faruq. "Kamu baik-baik saja, Faruq?" tanya Muzammil. "Aku hanya capek," jawabnya singkat dibalik napasnya yang berpacu. "Pangeran, bolehkah aku mengantar Tuan muda ke kamarnya? Kasihan dia pucat sekali," pintaku dengan pelan agar pangeran tidak cemburu. Aku melihat dia sedang berpikir, aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya.Tapi aku lebih kasihan melihatnya tampak kesakitan dan melemah. "Tidak perlu, Fahim, aku tidak
Kita bertiga mendatangi kamar dimana penyusup itu dirawat. Dia masih belum sadarkan diri. Di depan pintu masuk ada empat bodyguard sedang berjaga."Dia sepertinya orang Indonesia, Fahim," gumam Faruq lirih. "Betul, Tuan muda," jawabku setuju dengan pendapat Faruq. "Tapi untuk siapa dia bekerja, apa salahku?" lanjutku meruntuk. "Kita tidak mengenalnya, bahkan aku dan ibu tidak punya musuh di sini," lanjutku sambil mengingat-ingat.Tiba-tiba dokter datang bersama perawat untuk memeriksa pasien."Pak Faruq, kenapa bapak tidak istirahat malah jalan-jalan kemari," tanya dokter begitu bertemu Faruq sedang berada di kamar pasien lain."Iya Dokter, sebentar lagi saya kembali ke kamar," jawab Faruq."Dokter Farid yang menangani anda adalah dokter terkenal di Indonesia, semoga bisa membantu masalah anda, Pak Faruq," kata dokter Bagus."Amiin," sahut Faruq dan Muzammil bersamaan."Bagaimana keadaan pasien ini, Dok?" tanya Muzammi."Keadaannya sudah stabil, dia akan segera sadar," kata dokter op
Tiba-tiba dokter dan perawat gadungan itu keluar dari kamar sambil menggendong paksa Erkan. Dia menconcongkan pistol ke kepala Erkan mengancam kalau kita mengadakan perlawanan maka peluru itu akan menebus kepala Erkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa harus menghukum bayi yang tidak berdosa? Kalau urusan kalian kepadaku atau pangeran ayo kita selesaikan kita bicara," usulku. Dua orang penjahat itu tidak merespon justru semakin kelihatan garang. Mereka semakin lari menjauh mencari jalan keluar. Yang membuat aku penasaran apa yang mereka inginkan. Kenapa selalu ingin menculik Erkan? Aku ingin lari mengikutinya, tapi sontak Muzammil menarik tanganku dan menghentikanku. "Tenangkan hatimu, Zhee!" pinta Muzammil. "Bagaimana bisa tenang, anakku dalam bahaya? Setelah hilang beberapa hari kini harus diculik lagi," tangisku menggerutu. "Dia sudah mulai berjalan keluar rumah sakit, awasi dan ikuti terus jangan sampai kehilangan jejak!" perinta Muzammil lewat telepon kepada sese