"Jadi namamu Rahma?" Ketus Hera dengan wajah yang sinis."Iya, nama saya Rahma, Rahma Saraswati Maryam, maaf karena ini adalah pertemuan kita yang pertama, jadi aku tidak tahu harus memanggilmu apa? Mama, ibu atau ...?," tutur Rahma jujur."Terserah apa saja, tidak ada pengaruhnya untukku.""Baiklah, jika tidak keberatan, aku akan memanggilmu ibu," Sahut Rahma.Senyum sinis terlihat di wajah Hera, ekor matanya memandang Rahma dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu tiba tiba berhenti di jari tangan Rahma yang kebetulan berada di depan dada, jari manis yang berhias cincin berlian satu setengah karat pemberian Yudha beberapa hari lalu."Cincin yang bagus.""Oh, ini hanya cincin kecil pemberian dari Mas Yudha beberapa hari lalu, tak sebanding dengan perhiasan yang ibu pakai," jawab Rahma merendah."Aku tak suka berbasa-basi, katakan apa sebenarnya tujuan kalian kembali ke rumah ini, bukankah sebelumnya Yudha sudah di usir?" Tanya Hera tanpa tedeng aling-aling Pertanyaan itu cukup memb
Ucapan Rahma akhirnya membuat Hera tak mampu lagi menahan emosinya, ia melangkah menghampiri Rahma. Sebuah tamparan hendak dilayangkan wanita itu pada Rahma, Namun sebelum telapak tangan itu menyentuh wajahnya, Rahma lebih dulu menangkisnya."Jangan pernah mencobanya bu, jika kau tidak ingin suatu saat nanti aku membalas semua perlakuan burukmu ini!" Balas Rahma mengancam lalu menghempaskan tangan Hera dengan kasar.***Yudha berjalan tergesa-gesa ketika tiba kembali ke rumah, hal pertama kali dilakukannya adalah mencari keberadaan Rahma, lelaki itu bergegas menaiki tangga, guna mencapai kamar mereka yang berada di lantai dua.Dari CCTV yang terhubung di ponsel Surya, Yudha mengetahui kedatangan Hera ke rumah ini. Ia juga tahu jika sempat ada pertengkaran diantara istri dan ibu tirinya tersebut.Dengan sedikit kasar, dibukanya pintu kamarnya, lalu menjelajah mencari keberadaan istrinya, sayang sekali Rahma tidak ada di kamarnya, membuat Yudha sedikit kesal karena tidak menemukan Rahma
"Denisa, adalah anak Hera, dan bukan bagian dari keluarga Widjaja, aku sampai tak habis pikir, mengapa wanita itu masih berani menggunakan nama Widjaja di belakang nama putrinya itu," terang Surya lalu menghela nafas berat."Aku tidak mengerti kakek! Apa maksudnya?"Surya tidak menjawabnya, dan memilih memejamkan matanya sejenak seakan ingin memanggil ingatan dua puluh tahun lalu, beberapa bulan sebelum kecelakaan yang menimpa Jasmine, ibu kandung Yudha.Yudha diam dan membiarkan sang kakek yang tampak sedang menenangkan dirinya tersebut."Belum saatnya, nanti tunggulah. Tak lama lagi waktunya akan segera tiba," ujar Surya beberapa saat kemudian."Wanita itu sudah sangat lancang, aku sangat kesal dengan papamu yang tidak mau menceraikannya. Entah apa alasannya, karena yang kutahu, pernikahan mereka juga tidak bahagia," lanjut Surya menjelaskan."Aku hanya tak ingin seseorang menyakiti istriku di rumahku sendiri," Bisik Yudha namun masih terdengar jelas di telinga Surya."Kurasa, kita
"Lalu, jika itu benar, apa urusannya dengan kalian? Bukankah selama ini kalian selalu menghinaku dan Mas Yudha?" Pertanyaan Rahma membuat Nella terdiam untuk beberapa saat, Yudha hanya tersenyum lalu menggeleng pelan ketika dilihatnya Rahma memutar bola mata dengan malas, sesuatu hal yang sering dilakukan istrinya Jika sedang kesal."Halo mbak? Ehem ..." Panggil Rahma sambil berdehem cukup keras.***Pukul sebelas siang, dua buah mobil berhenti di depan pagar kediaman keluarga Widjaja. Tampak salah satu pengemudi menurunkan kaca jendela mobilnya dan melongok keluar.Seorang penjaga keamanan laki-laki dengan seragam hitam -hitam itu langsung mendekat ke arah pagar, dengan wajah sangar ia pun memandang mereka dengan tatapan tajam.Melihat sikap penjaga itu sontak membuat Widya mencebik, tangannya hampir saja membuka pintu, namun segera dicegah oleh Deni, suaminya."Mau kemana, Widya? Ini rumah keluarga Yudha, di mana mana rumah orang kaya memang punya penjaga keamanan seperti ini. Jang
Nella mengabaikan pertengkaran mereka dan lebih memilih membalas pesan-pesan yang masuk ke ponselnya, di liriknya sekilas, Deni dan Widya masih asyik berdebat, entah apa lagi yang mereka ributkan, membuat Nella hanya bisa menggeleng saja melihat tingkah pasangan suami istri tersebut.Selagi mereka tampak sibuk, Rahma terlihat menuruni anak tangga hendak menemui mereka. Hentakan ujung sandal Rahma yang berdecit akhirnya mengalihkan perhatian mereka."Maaf membuat kalian lama menunggu," sapa Rahma tersenyum."Rahma! Akhirnya aku bisa bertemu juga denganmu," Ujar Deni membalas sapaan Rahma."Ya ampun Rahma, susah sekali mau ketemu denganmu! Mana para penjaga didepan bertampang sangar, kami hampir saja tidak diperbolehkan masuk," lapor Nella kemudian."Oh, maaf, mereka hanya menjalankan tugasnya saja," sahut Rahma kalem.Widya tampak diam, namun ekor matanya dengan seksama memperhatikan penampilan Rahma, gamis dengan warna peach itu tampak mahal dan pas sekali di tubuh Rahma, dipermanis d
"Aku sudah minta pelayan agar menyiapkan makan siang untuk kita, selagi menunggu pelayan menyiapkannya, bolehkah aku bertanya?""Tanyakan saja Rahma," jawab Widya yang kini tampak percaya diri."Ada hal apa yang membuat kalian kompak mengunjungiku? Rasanya tidak mungkin kalian sengaja datang dari Parung ke Jakarta hanya untuk bertanya bagaimana kabarku hari ini, bukan?" Tanya Rahma beberapa saat kemudian.***Rahma memutar bola mata malas, ketika dilihatnya tak ada satupun acara televisi yang menarik perhatiannya. Di lemparnya asal remote tv ke atas karpet bulu yang ada di ruang keluarga.Tangannya meraih ponselnya, memeriksa notifikasi pesan, beberapa pesan dikirim dari operator seluler dan para penjual online kenalannya, membuat rasa bosannya semakin menjadi.Dengan sedikit enggan, Rahma akhirnya beranjak keluar dari ruang keluarga itu menuju ke dapur, meminta pelayan untuk membuatkannya sepiring nasi goreng, entah mengapa sore ini perutnya mendadak lapar. Bertemu dengan kedua sauda
"Bahkan mereka tidak minta maaf padaku atas semua perbuatan yang mereka lakukan padaku dulu," Rahma menyeringai kecil lalu menghela nafas panjang."Kau tambah cantik jika sedang marah seperti itu," goda Yudha berusaha meredakan kekesalan istrinya."Mas, aku serius.""Lalu, apa yang terjadi setelahnya?" Tanya Yudha penasaran.***"Mbak Widya langsung emosi, dia bilang aku sok kaya. Kujawab saja memang sekarang aku kaya. Kalau ngga kaya ngapain mereka mau datang kesini sampai ingin meminta pinjaman uang segala."Tawa Yudha akhirnya pecah, melihat mimik wajah Rahma yang terlihat lucu di matanya saat meniru gaya Widya bicara. Sekilas ia dapat membayangkan apa yang terjadi tadi siang di rumahnya. Pasti seru jika melihat live streaming nya."Mbak Nella hanya diam ketika mendengar aku menolak keinginannya, tapi aku tahu ia pasti kesal. Salahnya sendiri mengapa dulu ikut-ikutan merendahkanku.""Lalu, apa sekarang kau merasa senang karena sudah membalas mereka?"Rahma menggeleng, " tidak mas,
"Maaf, aku datang terlambat, tadi sedikit macet dijalan," ucapnya tersenyum lalu memandang Yudha dan memeluknya erat."Koh Yudha. Senang bisa melihatmu kembali, tak tahukah bahwa aku sangat rindu padamu?" Ucapan wanita itu membuat Rahma seketika mendelik tajam padanya.***"Renata, tolong lepaskan tanganmu!" pinta Yudha yang berusaha melepaskan diri dari pelukan wanita itu."Oh, maaf mas. Aku hanya spontan saja memelukmu, aku hanya melampiaskan rasa rindu saja," sahutnya lalu melepas pelukannya."Kau sudah datang, Renata! Ayo duduk bersama kita di sini," sapa Hera lalu menunjuk ke sebuah kursi kosong yang ada disebelah Rahma."Terima kasih tante."Renata melangkah dan menghampiri Rahma, lalu menarik kursi yang ada sebelahnya. Duduk dengan anggun dan mulai menyapa para anggota keluarga lainnya.Rahma masih melirik sambil mencengkram erat sendok yang sedari tadi dipegangnya. Untung saja sendok itu terbuat dari stainless yang kuat, jika tidak, mungkin sudah patah, tak berbentuk karena ra
Tiga bulan kemudian,"Selamat ya Pak Yudha, ibu Rahma positif hamil," ucap dokter wanita itu saat memeriksa Rahma."Alhamdulillah, terima kasih banyak dokter."Wajah Yudha begitu bahagia saat mendengar kabar bahagia tersebut, tak hanya dirinya, pipi Rahma pun tampak bersemu merah."Saya akan meresepkan beberapa vitamin. Jangan lupa istirahat yang cukup ya, Bu Rahma." Ujar dokter wanita tersebut, setelah pemeriksaan ultrasonografi (USG) tersebut selesai.Beberapa pesan di berikan oleh dokter wanita itu pada mereka, tak lupa juga mengingatkan agar melakukan pemeriksaan rutin setiap bulan. Setelah berbincang sebentar, mereka pun akhirnya pamit dan bergegas pulang ke rumah dengan suasana hati yang riang. Kurang lebih setengah jam kemudian, mobil yang membawa mereka pun akhirnya menepi dan berhenti di rumah besar itu, rumah yang hampir dua tahun ini mereka tinggali.Dengan hati hati, Yudha membantu Rahma keluar dari mobil. Rona bahagia begitu terpancar dari wajahnya. Melihat wajah Yudha y
"Bagaimana kondisi Mbak Nella?" Tanya Yudha beberapa saat setelah mendengar cerita Rahma."Mbak Nella baik baik saja," jawab Rahma lalu beranjak dari meja riasnya dan duduk di tepian ranjang mereka."Syukurlah. Uang yang hilang bisa dicari tapi jika para perampok itu sampai melukainya, entahlah, aku sulit untuk membayangkannya," sahut Yudha lalu meletakkan ponselnya ke atas nakas."Iya, kau benar, mas." "Hmm!" Yudha berdehem kecil."Besok papa mengundang kita untuk datang ke rumahnya.""Oh ya?" Tanya Rahma sembari menatap suaminya dengan pandangan tanya."Ada acara apa di rumah papa, mas?" Kembali Rahma bertanya."Tak ada, katanya sih hanya ingin berkumpul dengan kita saja sebelum berangkat umroh," jawab Yudha Mendengarnya, Rahma mengangguk pelan. "Oh, sekalian bulan madu, ya? Pengantin baru bikin gemes," sambung Rahma terkekeh."Mungkin saja, karena kudengar dari papa, katanya sih tante Miranda berharap segera diberi keturunan sepulang umroh nanti." Yudha kembali mejelaskan. "Ami
Kabar perampokan yang terjadi di rumah Nella, akhirnya sampai juga ke telinga Rahma, meskipun sudah dua hari berselang pasca kejadian tersebut, tetap saja insiden perampokan itu masih menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan para tetangganya.Meski khawatir, Rahma menahan diri untuk tidak segera datang ke rumah kakak perempuannya tersebut. Rahma yakin pasti ada alasan mengapa Nella tidak memberitahu dirinya atas musibah yang menimpa dirinya. Berdiri di hadapannya, seorang wanita yang beberapa jam lalu di mintanya untuk mencari kabar terbaru tentang Nella. Dari laporan yang diterimanya, setidaknya Rahma bisa menghela nafas lega karena para perampok itu sudah di tangkap polisi. Dan salah satunya adalah orang yang mereka kenal baik, seseorang yang masih bertetangga dengan Nella.Ada tiga orang yang beraksi pada malam itu. Menggasak habis uang yang tersimpan di dalam lemari, untung saja pada malam sebelumnya, Nella telah memindahkan kotak yang biasa digunakannya untuk menyimpan perhi
Deru mobil Deni perlahan terdengar menjauh dari rumah. Sesaat, terlihat Widya mematung di sana, seakan tengah mengkhawatirkan suaminya. Tak lama, ia berbalik masuk ke dalam rumah, setelah mengunci pagarnya terlebih dulu.Pandangan matanya terlihat menerawang ke sekeliling ruangan, ia tak menyangka jika tak ada satupun perabotan rumah ini yang berubah letaknya. Semuanya masih sama seperti ia tinggalkan beberapa waktu lalu. Piring, gelas maupun toples yang ada di atas meja pun hampir tak ada yang berubah letaknya, hanya isinya saja yang sudah kosong.Helaan nafasnya terdengar berat, tak lama la melangkah ke arah dapur, bersiap untuk mencuci peralatan makan dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, karena asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mereka sebelumnya, terpaksa di berhentikan beberapa hari setelah kasus penipuan berkedok investasi yang menghabiskan semua uang mereka tersebut.Suara seseorang terdengar mengetuk pintu, sontak membuat kepala Widya menoleh, tak butuh waktu
Deni mengulum senyum ketika di lihatnya Widya yang tampak canggung saat mereka duduk berdua saja di dalam mobil. Lelaki itu tak menyangka jika rencana Rahma untuk membuat istrinya kembali ke rumah tanpa paksaan, akan berjalan dengan sempurna.Tadinya ia sempat tak yakin, namun atas dukungan dari Nella, Deni akhirnya memberanikan diri menelpon ayah mertuanya dan meminta bantuan darinya, agar Widya bisa pulang tanpa harus membuatnya memohon dan menjatuhkan harga diri di depan istrinya.Untuk beberapa saat, suasana terasa hening, karena tak ada satupun dari mereka yang mau membuka percakapan lebih dulu, baik Deni maupun Widya, tampak masih berusaha mengatur nafas masing-masing. "Aku dengar kau sering belanja di warungnya si Mirna? Apa benar, mas?"Pertanyaan Widya akhirnya memecah keheningan di antara mereka, membuat Deni memalingkan wajahnya dari Widya sembari menyunggingkan senyum. "Kalau iya, apa ada masalah? Semua orang tahu jika dia cantik dan sendiri," Pancing Deni menggoda istri
"A-aku mau pulang, mas."Ucapan Widya membuat tiga pasang mata yang ada di sana sontak menoleh padanya. "Benarkah?" Ceplos ibu mertuanya sambil melempar pandangan pada Sofyan, suaminya.Mata Deni tak berkedip saat mendengarnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja tadi didengar oleh telinganya, begitu juga dengan Sofyan, ayah mertuanya yang tanpa sadar memandang tajam pada putri sulungnya tersebut.Mungkinkah, istrinya yang keras kepala itu telah berubah? Batin Deni berbisik."Nggak lagi ngelindur kan?" "Kemarin katanya nggak mau pulang, dipaksa- paksa, tetap kekeuh bilangnya males pulang, kok sekarang beda lagi? padahal Deni nggak bilang mau ajak kamu pulang lho, Wid?" Goda ayahnya."Itu ... Ya, terserah dong," ketus Widya yang membuat lelaki paruh baya itu akhirnya terkekeh.Setelah mengatakannya, dengan wajah masam Widya angkat kaki dari sana dan bergegas masuk ke kamarnya. Wanita itu tampak kesal dengan dirinya sendiri karena bisa bisanya terpancing emosi."Sepertinya, a
Deni melangkah ragu saat hendak melangkah masuk ke halaman rumah mertuanya, tampak sebuah sepeda motor matic telah terparkir di sana, menandakan jika rumah mertuanya tersebut tidak dalam keadaan kosong.Pandangan matanya mengawasi sekitar, cukup sepi, hanya suara burung peliharaan yang terdengar berkicau menyambut kedatangannya. Sesaat, Deni melihat sosok mengintip dari balik jendela.Perlahan, tangannya mengetuk pintu. Tak lama, wajah ibu mertuanya terlihat menyembul begitu pintu utama rumah itu terbuka."Nak Deni. Ayo masuk!" Ajaknya ramah.Deni tersenyum, lalu mengikuti langkah ibu mertuanya dan masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa tamu setelah lebih dulu di persilahkan oleh sang pemilik rumah."Mau bicara dengan Widya, ya?" Tanya ibu mertuanya."Tidak, aku datang ke sini karena ingin bicara dengan bapak," ucap Deni dengan penuh percaya diri."Oh maaf, ibu kira nak Deni ke sini karena ingin bicara dengan Widya. Kalau begitu tunggu sebentar, ibu panggilkan bapak dulu," pamit wani
Widya berdecak kesal. Sudah hampir satu bulan ini Deni seolah melupakannya. Ah, tidak. Pernah satu kali lelaki itu datang ke rumahnya hanya untuk mengantarkan beberapa barang miliknya yang tertinggal.Sudah berapa kali orang tuanya menyuruhnya agar segera pulang, namun wanita itu terlalu keras kepala. Entah mengapa, Deni belum mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, seakan-akan sengaja menunggunya menggugat cerai lebih dulu.Pernah terpikirkan dalam benak Widya untuk berpisah dari Deni, hanya saja hatinya masih ragu karena beberapa kali kerabatnya memberi tahu jika keadaaan Deni saat ini jauh lebih baik. Mobil yang sebelumnya diklaim telah terjual pada Rahma, ternyata masih betah menghuni garasi rumahnya.Apakah selama ini Deni telah berbohong padanya? atau semua ini terjadi karena bantuan dari Rahma?Entahlah, kepalanya pusing memikirkannya, hanya saja Widya kesal jika memang itu benar, mengapa Deni harus berbohong padanya?Suara gerimis malam ini terdengarsyahdu di telinga Widya. B
"Baiklah," sahut Denisa sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah pelaminan, hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara Yudha memanggilnya, membuat Denisa menoleh dan spontan memutuskan sambungan telepon mereka. "Yu-yudha!" Sapa Denisa gugup."Lho kok diputus teleponnya, Mbak?" Tanya Yudha."Ah ini, video call dari temen di rumah sakit. Katanya mau lihat pengantinnya ..." Rona gelisah terlihat samar di wajah Denisa."Oh! Ambil saja yang banyak videonya papa, Mbak. Aku yakin papa juga tidak keberatan kalau video pernikahannya jadi tontonan para dokter di rumah sakit." Wajah Yudha terlihat nyengir kuda."Ah, Iya. Kau benar juga. Papa kan orangnya sedikit narsis," balas Denisa. Tak lama mereka berdua tertawa sambil melihat ke arah Budi di kursi pelaminan."Kau tahu, mbak. Sejak kau pindah ke Surabaya, rasanya ada yang hilang.""Aku akan sering berkunjung ke Jakarta." Denisa menepuk lengan Yudha."Hmm ... Di mana Mas Arga dan Kevin?" Ekor mata Yudha mencari keberadaan kakak ipar da