"Aku sudah minta pelayan agar menyiapkan makan siang untuk kita, selagi menunggu pelayan menyiapkannya, bolehkah aku bertanya?""Tanyakan saja Rahma," jawab Widya yang kini tampak percaya diri."Ada hal apa yang membuat kalian kompak mengunjungiku? Rasanya tidak mungkin kalian sengaja datang dari Parung ke Jakarta hanya untuk bertanya bagaimana kabarku hari ini, bukan?" Tanya Rahma beberapa saat kemudian.***Rahma memutar bola mata malas, ketika dilihatnya tak ada satupun acara televisi yang menarik perhatiannya. Di lemparnya asal remote tv ke atas karpet bulu yang ada di ruang keluarga.Tangannya meraih ponselnya, memeriksa notifikasi pesan, beberapa pesan dikirim dari operator seluler dan para penjual online kenalannya, membuat rasa bosannya semakin menjadi.Dengan sedikit enggan, Rahma akhirnya beranjak keluar dari ruang keluarga itu menuju ke dapur, meminta pelayan untuk membuatkannya sepiring nasi goreng, entah mengapa sore ini perutnya mendadak lapar. Bertemu dengan kedua sauda
"Bahkan mereka tidak minta maaf padaku atas semua perbuatan yang mereka lakukan padaku dulu," Rahma menyeringai kecil lalu menghela nafas panjang."Kau tambah cantik jika sedang marah seperti itu," goda Yudha berusaha meredakan kekesalan istrinya."Mas, aku serius.""Lalu, apa yang terjadi setelahnya?" Tanya Yudha penasaran.***"Mbak Widya langsung emosi, dia bilang aku sok kaya. Kujawab saja memang sekarang aku kaya. Kalau ngga kaya ngapain mereka mau datang kesini sampai ingin meminta pinjaman uang segala."Tawa Yudha akhirnya pecah, melihat mimik wajah Rahma yang terlihat lucu di matanya saat meniru gaya Widya bicara. Sekilas ia dapat membayangkan apa yang terjadi tadi siang di rumahnya. Pasti seru jika melihat live streaming nya."Mbak Nella hanya diam ketika mendengar aku menolak keinginannya, tapi aku tahu ia pasti kesal. Salahnya sendiri mengapa dulu ikut-ikutan merendahkanku.""Lalu, apa sekarang kau merasa senang karena sudah membalas mereka?"Rahma menggeleng, " tidak mas,
"Maaf, aku datang terlambat, tadi sedikit macet dijalan," ucapnya tersenyum lalu memandang Yudha dan memeluknya erat."Koh Yudha. Senang bisa melihatmu kembali, tak tahukah bahwa aku sangat rindu padamu?" Ucapan wanita itu membuat Rahma seketika mendelik tajam padanya.***"Renata, tolong lepaskan tanganmu!" pinta Yudha yang berusaha melepaskan diri dari pelukan wanita itu."Oh, maaf mas. Aku hanya spontan saja memelukmu, aku hanya melampiaskan rasa rindu saja," sahutnya lalu melepas pelukannya."Kau sudah datang, Renata! Ayo duduk bersama kita di sini," sapa Hera lalu menunjuk ke sebuah kursi kosong yang ada disebelah Rahma."Terima kasih tante."Renata melangkah dan menghampiri Rahma, lalu menarik kursi yang ada sebelahnya. Duduk dengan anggun dan mulai menyapa para anggota keluarga lainnya.Rahma masih melirik sambil mencengkram erat sendok yang sedari tadi dipegangnya. Untung saja sendok itu terbuat dari stainless yang kuat, jika tidak, mungkin sudah patah, tak berbentuk karena ra
"Mas, aku temani Mbak Renata dulu," pamit Rahma yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Yudha.Sepeninggal Rahma, untuk beberapa saat suasana meja makan itu terasa hening, tak dapat dipungkiri, jika kedatangan Renata akhirnya merusak acara. Membuat Yudha tak habis pikir mengapa ibu tirinya itu mengundang Renata, adakah sesuatu yang direncanakan Hera dengan kedatangan Renata malam ini? Entahlah, Yudha yakin ibu tirinya itu bermaksud ingin menyakiti Rahma. **Renata adalah mantan tunangannya yang ia tinggalkan sewaktu memutuskan untuk beralih keyakinan. Saat itu Renata tak mendukung keputusannya, bahkan wanita itu seolah enggan mengenalnya ketika mengetahui dirinya hidup menggelandang dan kesusahan selepas di usir dari rumah.Dan sekarang, tiba tiba Renata datang kembali dan berkata merindukannya? Sungguh lucu, membuat Yudha ingin tertawa mendengarnya.Tak ada satupun anggota keluarga Widjaja yang tak mengenal Renata, gadis yang dulu hendak di jodohkan Surya dengannya. Renata adalah
"Cukup sudah, Jangan mencari pembenaran atas kesalahanmu karena aku sudah muak dengan semua tingkahmu itu, Hera."" Jika kau memang ingin menyesali perbuatanmu, kau bisa mulai dengan putrimu itu. Sudah bertahun-tahun aku diam, kupikir sudah saatnya Denisa untuk tahu siapa ayahnya yang sebenarnya," potong Surya tegas, yang seketika membuat Denisa tersentak saat mendengarnya.***Rahma mengangguk kecil ketika mendengar permintaan Renata yang ingin meminta bicara sebentar dengannya. Diajaknya sosok wanita yang pernah dekat dengan suaminya itu duduk di sofa tamu dengan hati yang berkecamuk.Sengaja ia memilih mengantar Renata keluar dari ruang makan tadi. Firasat Rahma mengatakan jika ia harus menjauh dan membiarkan keluarga besar itu bicara. Entah mengapa, Rahma merasa tak perlu mendengar keributan yang akan terjadi mengingat betapa tersinggungnya Surya dengan perbuatan Hera, ibu mertuanya itu.Rahma tidak tahu apa yang terjadi di meja makan sejak ia tinggalkan tadi. Setidaknya, Rahma me
"Kau tidak salah orang, itu memang dia," ujar Widya ketus, jika boleh berkata jujur, Widya masih berharap Yudha tetap menjadi karyawan laundry saja."Beruntung sekali Rahma," lanjut Widya sambil memasang wajah kesal."Jadi, suami Rahma benar benar orang kaya?" Timpal Nia yang baru saja bergabung dan tak sengaja mendengar pembicaraan mereka."Iya, tanyakan saja pada suamimu, Nia," ujar Nella menjawabnya."Bener mas?""Jika yang di maksud suami Rahma adalah Pak Darren Widjaja yang itu, tentu saja aku mengenalnya, beliau adalah pewaris utama Widjaja group. Kabarnya tak lama lagi, ia akan menggantikan posisi Pak Surya sebagai CEO Widjaja group," jawab Bagas atas pertanyaan Nia.Mulut Widya tampak menganga dengan mata yang terbuka lebar. Apa katanya? Pewaris? Apa itu artinya rumah besar dan luas itu suatu saat nanti akan menjadi milik Rahma, guci-guci mahal itu? Dan juga perusahaan? Tidak!Rasanya Widya ingin jatuh pingsan mendengarnya. Jadi sekaya itukah Yudha? Tidak! Kenapa harus Rahma
Dengan sopan, Arga pamit meninggalkan meja makan itu sambil menggendong Kevin, putranya. Perasaan lelaki itu kini gelisah, sesungguhnya ia tidak tega meninggalkan istrinya, Denisa sendirian di sana, hanya saja membiarkan Kevin terlalu lama di sana dan melihat pertengkaran mereka tentu tak baik untuk anak seusianya."Jawab aku ma, apa yang dikatakan kakek tadi semuanya benar? Aku bukanlah anak dari papa Budi, bukan anggota dari keluarga Widjaja?" Desak Denisa setengah berteriak.***Rahma melambaikan tangannya ketika di lihatnya Renata masuk ke dalam mobilnya. Lalu menarik tangannya kembali ketika mobil itu perlahan menjauh.Untuk beberapa saat ia berdiri di sana hingga mobil yang di kemudikan Renata menghilang dari balik pagar. Tak lama, Rahma memutuskan untuk duduk di kursi teras sesaat dan memilih menikmati cahaya bulan yang cukup terang malam ini.Entah apa yang saat ini sedang terjadi di meja makan karena sekilas di liriknya suami Denisa melintas di sisi kirinya sambil menggendong
Mungkin alasan itu terdengar konyol, setidaknya melihat wajah Hera yang menyedihkan saat ini karena kebencian dari Denisa, adalah kegembiraan dan hiburan tersendiri untuknya. Budi merasa jika inilah akhirnya dari semua kebohongan Hera selama ini sekaligus akhir dari usia pernikahan mereka.Meja makan itu menjadi saksi bagaimana kuatnya Hera bertahan saat di cecar begitu banyak pertanyaan oleh Denisa dan Surya, namun bukti yang di perlihatkan Surya akhirnya membuat wanita egois itu menyerah kalah dan mengakui semua pengkhianatannya."Jelaskan semuanya ma, mengapa mama tega mengkhianati papa? Ah, sekarang aku bahkan tidak berhak memanggilnya papa," ujar Denisa dengan suara parau."Karena lelaki itu tidak pernah bisa menerimaku sebagai istrinya," balas Hera cepat setengah berteriak.Budi menyeringai ketika mendengar tudingan Hera, lelaki itu lalu menggeleng perlahan, sambil terus mengunci tatapan matanya pada Hera."Kau menyalahkanku sekarang Hera? Harusnya kau instrospeksi dulu dirimu,