"Kau tidak salah orang, itu memang dia," ujar Widya ketus, jika boleh berkata jujur, Widya masih berharap Yudha tetap menjadi karyawan laundry saja."Beruntung sekali Rahma," lanjut Widya sambil memasang wajah kesal."Jadi, suami Rahma benar benar orang kaya?" Timpal Nia yang baru saja bergabung dan tak sengaja mendengar pembicaraan mereka."Iya, tanyakan saja pada suamimu, Nia," ujar Nella menjawabnya."Bener mas?""Jika yang di maksud suami Rahma adalah Pak Darren Widjaja yang itu, tentu saja aku mengenalnya, beliau adalah pewaris utama Widjaja group. Kabarnya tak lama lagi, ia akan menggantikan posisi Pak Surya sebagai CEO Widjaja group," jawab Bagas atas pertanyaan Nia.Mulut Widya tampak menganga dengan mata yang terbuka lebar. Apa katanya? Pewaris? Apa itu artinya rumah besar dan luas itu suatu saat nanti akan menjadi milik Rahma, guci-guci mahal itu? Dan juga perusahaan? Tidak!Rasanya Widya ingin jatuh pingsan mendengarnya. Jadi sekaya itukah Yudha? Tidak! Kenapa harus Rahma
Dengan sopan, Arga pamit meninggalkan meja makan itu sambil menggendong Kevin, putranya. Perasaan lelaki itu kini gelisah, sesungguhnya ia tidak tega meninggalkan istrinya, Denisa sendirian di sana, hanya saja membiarkan Kevin terlalu lama di sana dan melihat pertengkaran mereka tentu tak baik untuk anak seusianya."Jawab aku ma, apa yang dikatakan kakek tadi semuanya benar? Aku bukanlah anak dari papa Budi, bukan anggota dari keluarga Widjaja?" Desak Denisa setengah berteriak.***Rahma melambaikan tangannya ketika di lihatnya Renata masuk ke dalam mobilnya. Lalu menarik tangannya kembali ketika mobil itu perlahan menjauh.Untuk beberapa saat ia berdiri di sana hingga mobil yang di kemudikan Renata menghilang dari balik pagar. Tak lama, Rahma memutuskan untuk duduk di kursi teras sesaat dan memilih menikmati cahaya bulan yang cukup terang malam ini.Entah apa yang saat ini sedang terjadi di meja makan karena sekilas di liriknya suami Denisa melintas di sisi kirinya sambil menggendong
Mungkin alasan itu terdengar konyol, setidaknya melihat wajah Hera yang menyedihkan saat ini karena kebencian dari Denisa, adalah kegembiraan dan hiburan tersendiri untuknya. Budi merasa jika inilah akhirnya dari semua kebohongan Hera selama ini sekaligus akhir dari usia pernikahan mereka.Meja makan itu menjadi saksi bagaimana kuatnya Hera bertahan saat di cecar begitu banyak pertanyaan oleh Denisa dan Surya, namun bukti yang di perlihatkan Surya akhirnya membuat wanita egois itu menyerah kalah dan mengakui semua pengkhianatannya."Jelaskan semuanya ma, mengapa mama tega mengkhianati papa? Ah, sekarang aku bahkan tidak berhak memanggilnya papa," ujar Denisa dengan suara parau."Karena lelaki itu tidak pernah bisa menerimaku sebagai istrinya," balas Hera cepat setengah berteriak.Budi menyeringai ketika mendengar tudingan Hera, lelaki itu lalu menggeleng perlahan, sambil terus mengunci tatapan matanya pada Hera."Kau menyalahkanku sekarang Hera? Harusnya kau instrospeksi dulu dirimu,
"Boleh aku bertanya satu hal padamu, Mama Hera? Mengapa kau sangat tidak menyukaiku? Apakah karena aku anak dari madumu? Atau karena keinginan kakek yang akan mewariskan semua harta kekayaan keluarga, kepadaku?" Tanya Yudha tiba-tiba. Membuat Denisa seketika menatapnya."Dan juga ...." Yudha menjeda kalimatnya lalu melirik ke arah Budi yang tampak sedang mengelap kacamata yang dipakainya."Sejak kapan papa mengetahui kenyataan jika Mbak Denisa bukanlah anak kandung papa?" Lanjut Yudha kemudian.***Rahma menutup mulutnya ketika mendengar pertanyaan suaminya, benarkah itu? Sebenci itukah Hera pada Yudha?Tapi mengapa? Apakah mungkin karena rasa cemburu Hera pada Jasmine? Benarlah kata pepatah, sesuatu yang di peroleh dengan cara tidak benar, tak akan bisa mendatangkan kebahagiaan, Rahma yakin itulah yang terjadi pada Hera, wanita itu sedang menuai karma atas perbuatannya merebut Budi dari tangan Dewi, teman sekolahnya dulu.Nafas Rahma kini tampak naik turun, ada emosi dan kemarahan
"Mengapa mama masih diam? Tidak kah mama ingin meminta maaf pada papa Budi, pada kakek Surya yang mama khianati selama puluhan tahun? Setidaknya mama harus berterima kasih pada mereka karena masih menganggapku sebagai bagian dari keluarga ini setelah semua yang mama lakukan? Sungguh, aku bahkan tak mampu lagi untuk duduk di sini terlalu lama karena rasa malu," Desis Denisa lalu menggeser kursinya dan pamit meninggalkan meja makan itu dengan hati yang hancur.***Sepeninggal Denisa, Hera juga meninggalkan meja makan setelah meminta maaf, meskipun permintaan maaf itu tampak di lakukannya dengan rasa enggan dan terpaksa, setidaknya Rahma yakin ia akan berpikir ribuan kali untuk mencari masalah baru.Makan malam yang di rencanakan untuk mengenalkan Rahma kepada seluruh anggota keluarga akhirnya berakhir dengan sebuah kenyataan pahit. Namun, setidaknya, ada hal baik yang terjadi, mengingat Budi akhirnya memutuskan untuk menelpon pengacara keluarga dan memintanya agar segera mengurus percer
Rahma mengelus dada membacanya. Marah? Tentu saja, itu yang kini ia rasakan. Kata kata Widya benar benar keterlaluan, membuat mulut Rahma mendadak gatal ingin memaki kakak iparnya tersebut."Dasar Lampir! Mulutmu memang benar-benar pahit, mbak," Sungut Rahma yang tidak sengaja terdengar oleh Yudha yang baru saja keluar dari kamar mandi."Ada apa? Apa ada masalah?" Tanya Yudha lalu menghampiri istrinya.***Rahma tampak mendengkus kesal."Kau lihat saja sendiri, mas! Mbak Widya benar benar menyebalkan," Sungut Rahma lalu menyerahkan ponselnya dan memperlihatkan status WA Widya pada Yudha.Melihat status WA tersebut, tak membuat lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu meradang. Sebaliknya Yudha malah terkekeh geli.Rahma berdecak, wajahnya cemberut ketika mendapati reaksi Yudha yang seakan tengah ikut mengejeknya. Di cubitnya pinggang suaminya karena gemas."Kenapa tertawa, apa kau juga ingin ikut menyindirku. Lihat, gara gara aku menolak memberikan pinjaman uang pada suaminya, ia be
Hera membanting ponselnya ke atas karpet bulu didekat tempat tidurnya, lalu dengan dengan emosi ia berjalan ke arah brankas pribadinya. Tak lama, ia menekan rangkaian angka untuk membuka kotak besi itu.Beberapa set perhiasan dan uang tunai langsung terlihat begitu brankas itu terbuka. Sejenak Hera terpaku memandang isi brankas itu, tak lama keningnya tampak berkerut."Setidaknya setelah bercerai nanti, semua perhiasan itu akan menjadi milikku," gumam Hera lalu menutup kembali brankas pribadinya dan merebahkan tubuhnya. Memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti.***"Bagaimana menurutmu, mas? Apa penampilanku sudah cukup, tidak membuatmu malu, kan?" Tanya Rahma sambil menatap cermin besar di hadapannya."Sudah bagus, kau terlihat sangat cantik, sayang," puji Yudha sambil memasang jam di tangannya."Aku deg-degan mas. Kau kan tahu sendiri, aku tak pernah datang ke acara seperti ini, pasti banyak orang penting yang akan datang, iya kan?" Kembali Rahma bertanya, rasanya ia benar-benar
."Apa kau tidak tahu, kami ini saudaranya yang punya acara ini tahu," teriak Widya."Maaf bu, saya hanya menjalankan tugas saja, perlihatkan undangannya maka ibu bisa masuk kedalam," jawab petugas itu menolak.***"Ada apa sayang?" Tanya Yudha begitu melihat Rahma menghentikan langkahnya."Lihat mas, ada Mbak Widya di sana, Mas Deni dan Mbak Nella juga ada. Ada urusan apa yang membuat mereka bertiga datang ke sini, ya? Bukankah ini acara tertutup hanya untuk para karyawan dan tamu undangan?" Tanya Rahma bingung."Entahlah, apa salah satu dari mereka tidak ada yang memberitahumu?" Tanya Yudha.Rahma menggeleng," tidak ada, tak satupun dari mereka yang memberi tahu ataupun menelponku. Sudahlah, mungkin mereka mau bertemu dengan seseorang di sini," jawab Rahma mencoba berpikir positif."Kalau tidak ada yang menelpon atau mengabarimu, berarti mungkin saja itu benar. Mereka datang kesini karena ada keperluan dengan orang lain," hibur Yudha lalu menggandeng tangan istrinya.Benarkah sepert
Tiga bulan kemudian,"Selamat ya Pak Yudha, ibu Rahma positif hamil," ucap dokter wanita itu saat memeriksa Rahma."Alhamdulillah, terima kasih banyak dokter."Wajah Yudha begitu bahagia saat mendengar kabar bahagia tersebut, tak hanya dirinya, pipi Rahma pun tampak bersemu merah."Saya akan meresepkan beberapa vitamin. Jangan lupa istirahat yang cukup ya, Bu Rahma." Ujar dokter wanita tersebut, setelah pemeriksaan ultrasonografi (USG) tersebut selesai.Beberapa pesan di berikan oleh dokter wanita itu pada mereka, tak lupa juga mengingatkan agar melakukan pemeriksaan rutin setiap bulan. Setelah berbincang sebentar, mereka pun akhirnya pamit dan bergegas pulang ke rumah dengan suasana hati yang riang. Kurang lebih setengah jam kemudian, mobil yang membawa mereka pun akhirnya menepi dan berhenti di rumah besar itu, rumah yang hampir dua tahun ini mereka tinggali.Dengan hati hati, Yudha membantu Rahma keluar dari mobil. Rona bahagia begitu terpancar dari wajahnya. Melihat wajah Yudha y
"Bagaimana kondisi Mbak Nella?" Tanya Yudha beberapa saat setelah mendengar cerita Rahma."Mbak Nella baik baik saja," jawab Rahma lalu beranjak dari meja riasnya dan duduk di tepian ranjang mereka."Syukurlah. Uang yang hilang bisa dicari tapi jika para perampok itu sampai melukainya, entahlah, aku sulit untuk membayangkannya," sahut Yudha lalu meletakkan ponselnya ke atas nakas."Iya, kau benar, mas." "Hmm!" Yudha berdehem kecil."Besok papa mengundang kita untuk datang ke rumahnya.""Oh ya?" Tanya Rahma sembari menatap suaminya dengan pandangan tanya."Ada acara apa di rumah papa, mas?" Kembali Rahma bertanya."Tak ada, katanya sih hanya ingin berkumpul dengan kita saja sebelum berangkat umroh," jawab Yudha Mendengarnya, Rahma mengangguk pelan. "Oh, sekalian bulan madu, ya? Pengantin baru bikin gemes," sambung Rahma terkekeh."Mungkin saja, karena kudengar dari papa, katanya sih tante Miranda berharap segera diberi keturunan sepulang umroh nanti." Yudha kembali mejelaskan. "Ami
Kabar perampokan yang terjadi di rumah Nella, akhirnya sampai juga ke telinga Rahma, meskipun sudah dua hari berselang pasca kejadian tersebut, tetap saja insiden perampokan itu masih menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan para tetangganya.Meski khawatir, Rahma menahan diri untuk tidak segera datang ke rumah kakak perempuannya tersebut. Rahma yakin pasti ada alasan mengapa Nella tidak memberitahu dirinya atas musibah yang menimpa dirinya. Berdiri di hadapannya, seorang wanita yang beberapa jam lalu di mintanya untuk mencari kabar terbaru tentang Nella. Dari laporan yang diterimanya, setidaknya Rahma bisa menghela nafas lega karena para perampok itu sudah di tangkap polisi. Dan salah satunya adalah orang yang mereka kenal baik, seseorang yang masih bertetangga dengan Nella.Ada tiga orang yang beraksi pada malam itu. Menggasak habis uang yang tersimpan di dalam lemari, untung saja pada malam sebelumnya, Nella telah memindahkan kotak yang biasa digunakannya untuk menyimpan perhi
Deru mobil Deni perlahan terdengar menjauh dari rumah. Sesaat, terlihat Widya mematung di sana, seakan tengah mengkhawatirkan suaminya. Tak lama, ia berbalik masuk ke dalam rumah, setelah mengunci pagarnya terlebih dulu.Pandangan matanya terlihat menerawang ke sekeliling ruangan, ia tak menyangka jika tak ada satupun perabotan rumah ini yang berubah letaknya. Semuanya masih sama seperti ia tinggalkan beberapa waktu lalu. Piring, gelas maupun toples yang ada di atas meja pun hampir tak ada yang berubah letaknya, hanya isinya saja yang sudah kosong.Helaan nafasnya terdengar berat, tak lama la melangkah ke arah dapur, bersiap untuk mencuci peralatan makan dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, karena asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mereka sebelumnya, terpaksa di berhentikan beberapa hari setelah kasus penipuan berkedok investasi yang menghabiskan semua uang mereka tersebut.Suara seseorang terdengar mengetuk pintu, sontak membuat kepala Widya menoleh, tak butuh waktu
Deni mengulum senyum ketika di lihatnya Widya yang tampak canggung saat mereka duduk berdua saja di dalam mobil. Lelaki itu tak menyangka jika rencana Rahma untuk membuat istrinya kembali ke rumah tanpa paksaan, akan berjalan dengan sempurna.Tadinya ia sempat tak yakin, namun atas dukungan dari Nella, Deni akhirnya memberanikan diri menelpon ayah mertuanya dan meminta bantuan darinya, agar Widya bisa pulang tanpa harus membuatnya memohon dan menjatuhkan harga diri di depan istrinya.Untuk beberapa saat, suasana terasa hening, karena tak ada satupun dari mereka yang mau membuka percakapan lebih dulu, baik Deni maupun Widya, tampak masih berusaha mengatur nafas masing-masing. "Aku dengar kau sering belanja di warungnya si Mirna? Apa benar, mas?"Pertanyaan Widya akhirnya memecah keheningan di antara mereka, membuat Deni memalingkan wajahnya dari Widya sembari menyunggingkan senyum. "Kalau iya, apa ada masalah? Semua orang tahu jika dia cantik dan sendiri," Pancing Deni menggoda istri
"A-aku mau pulang, mas."Ucapan Widya membuat tiga pasang mata yang ada di sana sontak menoleh padanya. "Benarkah?" Ceplos ibu mertuanya sambil melempar pandangan pada Sofyan, suaminya.Mata Deni tak berkedip saat mendengarnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja tadi didengar oleh telinganya, begitu juga dengan Sofyan, ayah mertuanya yang tanpa sadar memandang tajam pada putri sulungnya tersebut.Mungkinkah, istrinya yang keras kepala itu telah berubah? Batin Deni berbisik."Nggak lagi ngelindur kan?" "Kemarin katanya nggak mau pulang, dipaksa- paksa, tetap kekeuh bilangnya males pulang, kok sekarang beda lagi? padahal Deni nggak bilang mau ajak kamu pulang lho, Wid?" Goda ayahnya."Itu ... Ya, terserah dong," ketus Widya yang membuat lelaki paruh baya itu akhirnya terkekeh.Setelah mengatakannya, dengan wajah masam Widya angkat kaki dari sana dan bergegas masuk ke kamarnya. Wanita itu tampak kesal dengan dirinya sendiri karena bisa bisanya terpancing emosi."Sepertinya, a
Deni melangkah ragu saat hendak melangkah masuk ke halaman rumah mertuanya, tampak sebuah sepeda motor matic telah terparkir di sana, menandakan jika rumah mertuanya tersebut tidak dalam keadaan kosong.Pandangan matanya mengawasi sekitar, cukup sepi, hanya suara burung peliharaan yang terdengar berkicau menyambut kedatangannya. Sesaat, Deni melihat sosok mengintip dari balik jendela.Perlahan, tangannya mengetuk pintu. Tak lama, wajah ibu mertuanya terlihat menyembul begitu pintu utama rumah itu terbuka."Nak Deni. Ayo masuk!" Ajaknya ramah.Deni tersenyum, lalu mengikuti langkah ibu mertuanya dan masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa tamu setelah lebih dulu di persilahkan oleh sang pemilik rumah."Mau bicara dengan Widya, ya?" Tanya ibu mertuanya."Tidak, aku datang ke sini karena ingin bicara dengan bapak," ucap Deni dengan penuh percaya diri."Oh maaf, ibu kira nak Deni ke sini karena ingin bicara dengan Widya. Kalau begitu tunggu sebentar, ibu panggilkan bapak dulu," pamit wani
Widya berdecak kesal. Sudah hampir satu bulan ini Deni seolah melupakannya. Ah, tidak. Pernah satu kali lelaki itu datang ke rumahnya hanya untuk mengantarkan beberapa barang miliknya yang tertinggal.Sudah berapa kali orang tuanya menyuruhnya agar segera pulang, namun wanita itu terlalu keras kepala. Entah mengapa, Deni belum mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, seakan-akan sengaja menunggunya menggugat cerai lebih dulu.Pernah terpikirkan dalam benak Widya untuk berpisah dari Deni, hanya saja hatinya masih ragu karena beberapa kali kerabatnya memberi tahu jika keadaaan Deni saat ini jauh lebih baik. Mobil yang sebelumnya diklaim telah terjual pada Rahma, ternyata masih betah menghuni garasi rumahnya.Apakah selama ini Deni telah berbohong padanya? atau semua ini terjadi karena bantuan dari Rahma?Entahlah, kepalanya pusing memikirkannya, hanya saja Widya kesal jika memang itu benar, mengapa Deni harus berbohong padanya?Suara gerimis malam ini terdengarsyahdu di telinga Widya. B
"Baiklah," sahut Denisa sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah pelaminan, hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara Yudha memanggilnya, membuat Denisa menoleh dan spontan memutuskan sambungan telepon mereka. "Yu-yudha!" Sapa Denisa gugup."Lho kok diputus teleponnya, Mbak?" Tanya Yudha."Ah ini, video call dari temen di rumah sakit. Katanya mau lihat pengantinnya ..." Rona gelisah terlihat samar di wajah Denisa."Oh! Ambil saja yang banyak videonya papa, Mbak. Aku yakin papa juga tidak keberatan kalau video pernikahannya jadi tontonan para dokter di rumah sakit." Wajah Yudha terlihat nyengir kuda."Ah, Iya. Kau benar juga. Papa kan orangnya sedikit narsis," balas Denisa. Tak lama mereka berdua tertawa sambil melihat ke arah Budi di kursi pelaminan."Kau tahu, mbak. Sejak kau pindah ke Surabaya, rasanya ada yang hilang.""Aku akan sering berkunjung ke Jakarta." Denisa menepuk lengan Yudha."Hmm ... Di mana Mas Arga dan Kevin?" Ekor mata Yudha mencari keberadaan kakak ipar da