Dengan sopan, Arga pamit meninggalkan meja makan itu sambil menggendong Kevin, putranya. Perasaan lelaki itu kini gelisah, sesungguhnya ia tidak tega meninggalkan istrinya, Denisa sendirian di sana, hanya saja membiarkan Kevin terlalu lama di sana dan melihat pertengkaran mereka tentu tak baik untuk anak seusianya."Jawab aku ma, apa yang dikatakan kakek tadi semuanya benar? Aku bukanlah anak dari papa Budi, bukan anggota dari keluarga Widjaja?" Desak Denisa setengah berteriak.***Rahma melambaikan tangannya ketika di lihatnya Renata masuk ke dalam mobilnya. Lalu menarik tangannya kembali ketika mobil itu perlahan menjauh.Untuk beberapa saat ia berdiri di sana hingga mobil yang di kemudikan Renata menghilang dari balik pagar. Tak lama, Rahma memutuskan untuk duduk di kursi teras sesaat dan memilih menikmati cahaya bulan yang cukup terang malam ini.Entah apa yang saat ini sedang terjadi di meja makan karena sekilas di liriknya suami Denisa melintas di sisi kirinya sambil menggendong
Mungkin alasan itu terdengar konyol, setidaknya melihat wajah Hera yang menyedihkan saat ini karena kebencian dari Denisa, adalah kegembiraan dan hiburan tersendiri untuknya. Budi merasa jika inilah akhirnya dari semua kebohongan Hera selama ini sekaligus akhir dari usia pernikahan mereka.Meja makan itu menjadi saksi bagaimana kuatnya Hera bertahan saat di cecar begitu banyak pertanyaan oleh Denisa dan Surya, namun bukti yang di perlihatkan Surya akhirnya membuat wanita egois itu menyerah kalah dan mengakui semua pengkhianatannya."Jelaskan semuanya ma, mengapa mama tega mengkhianati papa? Ah, sekarang aku bahkan tidak berhak memanggilnya papa," ujar Denisa dengan suara parau."Karena lelaki itu tidak pernah bisa menerimaku sebagai istrinya," balas Hera cepat setengah berteriak.Budi menyeringai ketika mendengar tudingan Hera, lelaki itu lalu menggeleng perlahan, sambil terus mengunci tatapan matanya pada Hera."Kau menyalahkanku sekarang Hera? Harusnya kau instrospeksi dulu dirimu,
"Boleh aku bertanya satu hal padamu, Mama Hera? Mengapa kau sangat tidak menyukaiku? Apakah karena aku anak dari madumu? Atau karena keinginan kakek yang akan mewariskan semua harta kekayaan keluarga, kepadaku?" Tanya Yudha tiba-tiba. Membuat Denisa seketika menatapnya."Dan juga ...." Yudha menjeda kalimatnya lalu melirik ke arah Budi yang tampak sedang mengelap kacamata yang dipakainya."Sejak kapan papa mengetahui kenyataan jika Mbak Denisa bukanlah anak kandung papa?" Lanjut Yudha kemudian.***Rahma menutup mulutnya ketika mendengar pertanyaan suaminya, benarkah itu? Sebenci itukah Hera pada Yudha?Tapi mengapa? Apakah mungkin karena rasa cemburu Hera pada Jasmine? Benarlah kata pepatah, sesuatu yang di peroleh dengan cara tidak benar, tak akan bisa mendatangkan kebahagiaan, Rahma yakin itulah yang terjadi pada Hera, wanita itu sedang menuai karma atas perbuatannya merebut Budi dari tangan Dewi, teman sekolahnya dulu.Nafas Rahma kini tampak naik turun, ada emosi dan kemarahan
"Mengapa mama masih diam? Tidak kah mama ingin meminta maaf pada papa Budi, pada kakek Surya yang mama khianati selama puluhan tahun? Setidaknya mama harus berterima kasih pada mereka karena masih menganggapku sebagai bagian dari keluarga ini setelah semua yang mama lakukan? Sungguh, aku bahkan tak mampu lagi untuk duduk di sini terlalu lama karena rasa malu," Desis Denisa lalu menggeser kursinya dan pamit meninggalkan meja makan itu dengan hati yang hancur.***Sepeninggal Denisa, Hera juga meninggalkan meja makan setelah meminta maaf, meskipun permintaan maaf itu tampak di lakukannya dengan rasa enggan dan terpaksa, setidaknya Rahma yakin ia akan berpikir ribuan kali untuk mencari masalah baru.Makan malam yang di rencanakan untuk mengenalkan Rahma kepada seluruh anggota keluarga akhirnya berakhir dengan sebuah kenyataan pahit. Namun, setidaknya, ada hal baik yang terjadi, mengingat Budi akhirnya memutuskan untuk menelpon pengacara keluarga dan memintanya agar segera mengurus percer
Rahma mengelus dada membacanya. Marah? Tentu saja, itu yang kini ia rasakan. Kata kata Widya benar benar keterlaluan, membuat mulut Rahma mendadak gatal ingin memaki kakak iparnya tersebut."Dasar Lampir! Mulutmu memang benar-benar pahit, mbak," Sungut Rahma yang tidak sengaja terdengar oleh Yudha yang baru saja keluar dari kamar mandi."Ada apa? Apa ada masalah?" Tanya Yudha lalu menghampiri istrinya.***Rahma tampak mendengkus kesal."Kau lihat saja sendiri, mas! Mbak Widya benar benar menyebalkan," Sungut Rahma lalu menyerahkan ponselnya dan memperlihatkan status WA Widya pada Yudha.Melihat status WA tersebut, tak membuat lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu meradang. Sebaliknya Yudha malah terkekeh geli.Rahma berdecak, wajahnya cemberut ketika mendapati reaksi Yudha yang seakan tengah ikut mengejeknya. Di cubitnya pinggang suaminya karena gemas."Kenapa tertawa, apa kau juga ingin ikut menyindirku. Lihat, gara gara aku menolak memberikan pinjaman uang pada suaminya, ia be
Hera membanting ponselnya ke atas karpet bulu didekat tempat tidurnya, lalu dengan dengan emosi ia berjalan ke arah brankas pribadinya. Tak lama, ia menekan rangkaian angka untuk membuka kotak besi itu.Beberapa set perhiasan dan uang tunai langsung terlihat begitu brankas itu terbuka. Sejenak Hera terpaku memandang isi brankas itu, tak lama keningnya tampak berkerut."Setidaknya setelah bercerai nanti, semua perhiasan itu akan menjadi milikku," gumam Hera lalu menutup kembali brankas pribadinya dan merebahkan tubuhnya. Memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti.***"Bagaimana menurutmu, mas? Apa penampilanku sudah cukup, tidak membuatmu malu, kan?" Tanya Rahma sambil menatap cermin besar di hadapannya."Sudah bagus, kau terlihat sangat cantik, sayang," puji Yudha sambil memasang jam di tangannya."Aku deg-degan mas. Kau kan tahu sendiri, aku tak pernah datang ke acara seperti ini, pasti banyak orang penting yang akan datang, iya kan?" Kembali Rahma bertanya, rasanya ia benar-benar
."Apa kau tidak tahu, kami ini saudaranya yang punya acara ini tahu," teriak Widya."Maaf bu, saya hanya menjalankan tugas saja, perlihatkan undangannya maka ibu bisa masuk kedalam," jawab petugas itu menolak.***"Ada apa sayang?" Tanya Yudha begitu melihat Rahma menghentikan langkahnya."Lihat mas, ada Mbak Widya di sana, Mas Deni dan Mbak Nella juga ada. Ada urusan apa yang membuat mereka bertiga datang ke sini, ya? Bukankah ini acara tertutup hanya untuk para karyawan dan tamu undangan?" Tanya Rahma bingung."Entahlah, apa salah satu dari mereka tidak ada yang memberitahumu?" Tanya Yudha.Rahma menggeleng," tidak ada, tak satupun dari mereka yang memberi tahu ataupun menelponku. Sudahlah, mungkin mereka mau bertemu dengan seseorang di sini," jawab Rahma mencoba berpikir positif."Kalau tidak ada yang menelpon atau mengabarimu, berarti mungkin saja itu benar. Mereka datang kesini karena ada keperluan dengan orang lain," hibur Yudha lalu menggandeng tangan istrinya.Benarkah sepert
"Pak Demian tetap berdiri saja di sana, agar menghalangi pandangan mereka padaku, aku masih ingin tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya," titah Rahma."Baik bu.""Sudah hampir setengah jam, mana Bagas? Jangan-jangan si Nia tidak menyampaikan pesan kita lagi sama suaminya?" Tuding Nella sambil melirik penunjuk waktu di ponselnya."Awas saja si Nia, kalau memang itu benar," geram Widya.***"Sudah, tidak usah bertengkar, kita tunggu saja Bagas sebentar lagi, siapa tahu dia akan datang," Deni menengahi perdebatan mereka. Malas rasanya jika melihat dua wanita itu bertengkar dan membuat keributan di tempat ini. Bisa jadi mereka bertiga akan di usir dan di seret keluar. Entah mengapa membayangkannya saja sudah membuat Deni bergidik.Jika hal itu terjadi, maka tujuan mereka datang ke tempat ini pun akan sia-sia saja.Widya melengos dengan kedua tangannya yang kini terlipat di depan dadanya. Tak lama di lihatnya Nella merogoh ponsel dari dalam tasnya, membuat ekor matanya seketika men