Rahma mengelus dada membacanya. Marah? Tentu saja, itu yang kini ia rasakan. Kata kata Widya benar benar keterlaluan, membuat mulut Rahma mendadak gatal ingin memaki kakak iparnya tersebut."Dasar Lampir! Mulutmu memang benar-benar pahit, mbak," Sungut Rahma yang tidak sengaja terdengar oleh Yudha yang baru saja keluar dari kamar mandi."Ada apa? Apa ada masalah?" Tanya Yudha lalu menghampiri istrinya.***Rahma tampak mendengkus kesal."Kau lihat saja sendiri, mas! Mbak Widya benar benar menyebalkan," Sungut Rahma lalu menyerahkan ponselnya dan memperlihatkan status WA Widya pada Yudha.Melihat status WA tersebut, tak membuat lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu meradang. Sebaliknya Yudha malah terkekeh geli.Rahma berdecak, wajahnya cemberut ketika mendapati reaksi Yudha yang seakan tengah ikut mengejeknya. Di cubitnya pinggang suaminya karena gemas."Kenapa tertawa, apa kau juga ingin ikut menyindirku. Lihat, gara gara aku menolak memberikan pinjaman uang pada suaminya, ia be
Hera membanting ponselnya ke atas karpet bulu didekat tempat tidurnya, lalu dengan dengan emosi ia berjalan ke arah brankas pribadinya. Tak lama, ia menekan rangkaian angka untuk membuka kotak besi itu.Beberapa set perhiasan dan uang tunai langsung terlihat begitu brankas itu terbuka. Sejenak Hera terpaku memandang isi brankas itu, tak lama keningnya tampak berkerut."Setidaknya setelah bercerai nanti, semua perhiasan itu akan menjadi milikku," gumam Hera lalu menutup kembali brankas pribadinya dan merebahkan tubuhnya. Memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti.***"Bagaimana menurutmu, mas? Apa penampilanku sudah cukup, tidak membuatmu malu, kan?" Tanya Rahma sambil menatap cermin besar di hadapannya."Sudah bagus, kau terlihat sangat cantik, sayang," puji Yudha sambil memasang jam di tangannya."Aku deg-degan mas. Kau kan tahu sendiri, aku tak pernah datang ke acara seperti ini, pasti banyak orang penting yang akan datang, iya kan?" Kembali Rahma bertanya, rasanya ia benar-benar
."Apa kau tidak tahu, kami ini saudaranya yang punya acara ini tahu," teriak Widya."Maaf bu, saya hanya menjalankan tugas saja, perlihatkan undangannya maka ibu bisa masuk kedalam," jawab petugas itu menolak.***"Ada apa sayang?" Tanya Yudha begitu melihat Rahma menghentikan langkahnya."Lihat mas, ada Mbak Widya di sana, Mas Deni dan Mbak Nella juga ada. Ada urusan apa yang membuat mereka bertiga datang ke sini, ya? Bukankah ini acara tertutup hanya untuk para karyawan dan tamu undangan?" Tanya Rahma bingung."Entahlah, apa salah satu dari mereka tidak ada yang memberitahumu?" Tanya Yudha.Rahma menggeleng," tidak ada, tak satupun dari mereka yang memberi tahu ataupun menelponku. Sudahlah, mungkin mereka mau bertemu dengan seseorang di sini," jawab Rahma mencoba berpikir positif."Kalau tidak ada yang menelpon atau mengabarimu, berarti mungkin saja itu benar. Mereka datang kesini karena ada keperluan dengan orang lain," hibur Yudha lalu menggandeng tangan istrinya.Benarkah sepert
"Pak Demian tetap berdiri saja di sana, agar menghalangi pandangan mereka padaku, aku masih ingin tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya," titah Rahma."Baik bu.""Sudah hampir setengah jam, mana Bagas? Jangan-jangan si Nia tidak menyampaikan pesan kita lagi sama suaminya?" Tuding Nella sambil melirik penunjuk waktu di ponselnya."Awas saja si Nia, kalau memang itu benar," geram Widya.***"Sudah, tidak usah bertengkar, kita tunggu saja Bagas sebentar lagi, siapa tahu dia akan datang," Deni menengahi perdebatan mereka. Malas rasanya jika melihat dua wanita itu bertengkar dan membuat keributan di tempat ini. Bisa jadi mereka bertiga akan di usir dan di seret keluar. Entah mengapa membayangkannya saja sudah membuat Deni bergidik.Jika hal itu terjadi, maka tujuan mereka datang ke tempat ini pun akan sia-sia saja.Widya melengos dengan kedua tangannya yang kini terlipat di depan dadanya. Tak lama di lihatnya Nella merogoh ponsel dari dalam tasnya, membuat ekor matanya seketika men
"Oh ya ... ngomong-ngomong, bagaimana kabar Denisa? Sejak kejadian di acara makan malam itu kakek tak pernah lagi mendengar kabarnya. Apa ia meneleponmu?" Pertanyaan Surya membuat Yudha seketika menoleh padanya.***"Mbak Denisa?""Iya. Bagaimana kabarnya?" Ulang Surya."Kurasa ia baik-baik saja. Aku bertemu sekali dengannya setelah acara makan malam itu, dan kelihatannya ia sehat. Ada apa kakek menanyakannya?" Yudha balik bertanya."Tidak, kakek hanya ingin tahu saja.""Apa kakek mengetahui sesuatu hal tentangnya?" Cecar Yudha. Surya menggeleng," tidak. Sejak acara makan malam itu, kakek dan dia belum bertemu lagi."Yudha memandang Surya dengan tatapan tanya."Kakek kasihan padanya karena di manfaatkan Hera. Sebenarnya beberapa hari setelah acara makan malam itu, papamu memberitahuku jika Denisa menemuinya dan berencana pindah tugas ke cabang rumah sakit yang ada di Surabaya. Ke daerah tempat asal suaminya. Katanya untuk menenangkan diri dan sementara ingin menjauh dulu dari Hera.
"Pak Demian, bisakah kau meminta petugas keamanan itu mempersilakan mereka masuk!?" "Baik Bu, saya akan bicara dengan mereka sebentar, bu," jawab Demian lalu melangkah menemui para petugas keamanan yang berjaga di depan pintu masuk aula tersebut dan berbicara dengan mereka.***"Kupikir kau masih lama bicara dengan mereka, makanya aku mengirim pesan pada Demian," aku Yudha ketika melihat Rahma sudah duduk disampingnya."Maaf mas, membuatmu cemas," sesal Rahma."Tidak, aku hanya takut kau bertengkar dengan mereka.""Itu tidak terjadi. Mereka kini sudah bersikap baik padaku, hanya Mbak Widya saja yang masih menyebalkan," terang Rahma."Lalu apa kau tahu tujuan mereka datang kemari?" "Iya, katanya mereka ingin bicara denganmu, setelah penolakanku waktu itu, mereka berharap dengan bicara denganmu, keinginan mereka bisa terpenuhi. Ah, rasanya ingin sekali aku mencekik leher mereka.""Jika mereka memang membutuhkan uang untuk alasan yang mendesak. Aku pasti akan langsung memberikannya, ta
"Sejak tadi kalian terus meminta maaf padaku. Boleh aku bertanya, apa kalian sudah meminta maaf pada Rahma?" Pertanyaan Yudha membuat mereka bertiga seketika menelan ludah. Tak lama terdengar suara seseorang berdehem keras, tampak Surya yang baru saja pulang, kini tengah menyipitkan mata menatap tajam pada mereka.***Langkah Denisa terhenti ketika dilihatnya Hera sedang turun dari mobilnya, di pelataran rumah sakit. Segera saja ia memalingkan wajahnya, berharap sang ibu tak melihatnya. Sengaja ia membalikkan badan dan berusaha menghindar, namun usahanya tidak berhasil, suara parau Hera terdengar memanggil namanya, terpaksa membuatnya menghentikan niatnya.Pertemuan ini sungguh tak dikehendakinya, amarah masih berkecamuk di dalam hati Denisa. Kenyataan bahwa dirinya bukanlah bagian dari keluarga Widjaja masih melukainya, dan satu satunya orang yang bertanggung jawab atas rasa sakit itu adalah Hera, ibunya sendiri."Denisa!" Panggil Hera lalu melangkah lebar menghampirinya."Ada perl
"Mama punya banyak uang, setelah bercerai pun aku yakin mama akan mendapat uang cerai dari papa. Bukankah selama ini yang mama inginkan hanyalah uang?" Sinis Denisa.**"Lagipula, aku tidak bisa memutuskannya sendiri. Aku harus membicarakannya dengan Mas Arga," lanjut Denisa beralasan."Mama akan bicara sendiri dengan Arga!" Sahut Hera cepat."Tak perlu, aku bisa memberitahunya sendiri. Jika tak ada yang ingin Mama bicarakan lagi, aku mau masuk ke mobilku. Maaf ma, tapi aku harus segera pulang." Pamit Denisa lalu melangkah cepat ke dalam mobilnya.Di dalam mobil nya, Denisa menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata. Helaan nafasnya terdengar berat, tak lama, sudut matanya terlihat basah."Maaf ma, aku butuh waktu untuk bisa menerima semua kenyataan ini, aku butuh ketenangan," bisik Denisa sambil memandang sayu pada Hera yang masih berdiri di tempatnya. Beberapa detik kemudian Denisa menyalakan mobilnya dan bergegas meninggalkan rumah sakit tempatnya bekerja selama ini.Sepeningg