"Pak Demian, bisakah kau meminta petugas keamanan itu mempersilakan mereka masuk!?" "Baik Bu, saya akan bicara dengan mereka sebentar, bu," jawab Demian lalu melangkah menemui para petugas keamanan yang berjaga di depan pintu masuk aula tersebut dan berbicara dengan mereka.***"Kupikir kau masih lama bicara dengan mereka, makanya aku mengirim pesan pada Demian," aku Yudha ketika melihat Rahma sudah duduk disampingnya."Maaf mas, membuatmu cemas," sesal Rahma."Tidak, aku hanya takut kau bertengkar dengan mereka.""Itu tidak terjadi. Mereka kini sudah bersikap baik padaku, hanya Mbak Widya saja yang masih menyebalkan," terang Rahma."Lalu apa kau tahu tujuan mereka datang kemari?" "Iya, katanya mereka ingin bicara denganmu, setelah penolakanku waktu itu, mereka berharap dengan bicara denganmu, keinginan mereka bisa terpenuhi. Ah, rasanya ingin sekali aku mencekik leher mereka.""Jika mereka memang membutuhkan uang untuk alasan yang mendesak. Aku pasti akan langsung memberikannya, ta
"Sejak tadi kalian terus meminta maaf padaku. Boleh aku bertanya, apa kalian sudah meminta maaf pada Rahma?" Pertanyaan Yudha membuat mereka bertiga seketika menelan ludah. Tak lama terdengar suara seseorang berdehem keras, tampak Surya yang baru saja pulang, kini tengah menyipitkan mata menatap tajam pada mereka.***Langkah Denisa terhenti ketika dilihatnya Hera sedang turun dari mobilnya, di pelataran rumah sakit. Segera saja ia memalingkan wajahnya, berharap sang ibu tak melihatnya. Sengaja ia membalikkan badan dan berusaha menghindar, namun usahanya tidak berhasil, suara parau Hera terdengar memanggil namanya, terpaksa membuatnya menghentikan niatnya.Pertemuan ini sungguh tak dikehendakinya, amarah masih berkecamuk di dalam hati Denisa. Kenyataan bahwa dirinya bukanlah bagian dari keluarga Widjaja masih melukainya, dan satu satunya orang yang bertanggung jawab atas rasa sakit itu adalah Hera, ibunya sendiri."Denisa!" Panggil Hera lalu melangkah lebar menghampirinya."Ada perl
"Mama punya banyak uang, setelah bercerai pun aku yakin mama akan mendapat uang cerai dari papa. Bukankah selama ini yang mama inginkan hanyalah uang?" Sinis Denisa.**"Lagipula, aku tidak bisa memutuskannya sendiri. Aku harus membicarakannya dengan Mas Arga," lanjut Denisa beralasan."Mama akan bicara sendiri dengan Arga!" Sahut Hera cepat."Tak perlu, aku bisa memberitahunya sendiri. Jika tak ada yang ingin Mama bicarakan lagi, aku mau masuk ke mobilku. Maaf ma, tapi aku harus segera pulang." Pamit Denisa lalu melangkah cepat ke dalam mobilnya.Di dalam mobil nya, Denisa menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata. Helaan nafasnya terdengar berat, tak lama, sudut matanya terlihat basah."Maaf ma, aku butuh waktu untuk bisa menerima semua kenyataan ini, aku butuh ketenangan," bisik Denisa sambil memandang sayu pada Hera yang masih berdiri di tempatnya. Beberapa detik kemudian Denisa menyalakan mobilnya dan bergegas meninggalkan rumah sakit tempatnya bekerja selama ini.Sepeningg
"Baiklah, sebelum itu bisakah aku bicara dengan Mbak Nella sebentar?" Pinta Rahma sambil tersenyum memandangnya.***"Bicara dengan ku?" Tanya Nella bingung."Iya, mbak. Aku ingin bicara dengan Mbak Nella sebentar saja. Tidak disini, kita ke ruang baca sebentar," jawab Rahma.Deni melirik Rahma dengan kening berkerut, ada banyak pertanyaan yang ada dalam kepalanya. Bagi Deni, sikap Rahma cukup aneh. "Bicara saja di sini, kenapa? Kita ini saudara, kenapa harus bicara di tempat lain?" ketus Widya menyela."Mbak mu benar Rahma. Kalian bicara saja di sini," tambah Deni mendukung ucapan istrinya.Rahma menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya ingin bicara dengan Mbak Nella, berdua saja. Lagipula, mengapa kalian terlihat kesal seperti itu? Aku dan Mbak Nella bukan ingin membahas kalian!" jelas Rahma.Nella memandang Rahma dengan seksama. Ucapan Rahma sebenarnya sedikit menganggu dirinya, Namun, segera di tepisnya kuat pikiran buruk itu. Ia yakin Rahma tidak mungkin ingin berniat buruk padanya.
"Sebaiknya kembali kita ke ruang tamu, nanti akan kujelaskan di sana. Aku masih berharap mbak bisa memikirkan semua perkataanku tadi."Nella tidak menjawabnya namun dari ekspresi wajahnya, tampak jelas jika ia menolak saran Rahma.***Rahma bangkit dari tempat duduknya, begitu juga Nella. Tak lama, mereka berjalan beriringan kembali ke ruang tamu di mana Deni dan Widya masih duduk menunggu mereka."Sudah selesai, pembicaraan rahasianya?" Sindir Widya."Iya, kami memang bicara hal yang rahasia. Kenapa? Mbak ingin tahu apa yang kami bicarakan tadi?" Balas Rahma."Sudahlah Widya, jaga sikapmu. Ingat kita sedang berada di rumah Rahma," tegur Deni pada istrinya."Berisik.""Lalu, apa kalian sudah selesai bicara?" Tanya Deni, yang mengabaikan wajah masam Widya padanya."Sudah. Maaf jika membuat kalian menunggu.""Aku tak peduli dengan pembicaraan kalian. Ingat Rahma kau sudah berkata akan memenuhi permintaanku. Jadi kapan aku bisa menerima uangnya?" Tanya Deni antusias."Tenang saja, kau da
"Oh tidak! Apa ini ada hubungannya dengan kedatangan saudara-saudaraku ke sini? Jika benar, apa kakek akan marah?" Tanya Rahma gugup. Rasa takut kini menjalar di sekujur tubuhnya.***Denisa tampak gugup ketika menjejakkan kakinya kembali di rumah orang tuanya. Darmi atau yang biasa dipanggil Mbok Dar, Asisten Rumah Tangga yang bekerja di rumah itu terlihat sumringah menyambut kedatangan putri majikannya.Senyum Denisa terasa hambar, ketika Mbok Dar menanyakan kabarnya dan keluarganya, tak lama, terdengar suara seseorang menyapanya."Denisa, kau di sini? Mengapa tidak memberi tahu papa kalau mau ke sini, nak? Setidaknya papa bisa minta Mbok Dar menyiapkan makanan kesukaanmu.""A-aku sengaja datang ke sini karena ingin bicara denganmu ... pa," jawab Denisa gugup."Jangan sungkan, nak. Apapun yang telah terjadi, ini tetap rumahmu. Kau bisa datang kapan saja kesini.""A-apa aku boleh tetap memanggilmu papa?" Tanya Denisa ragu yang langsung di balas anggukan kepala oleh Budi."Tentu saja,
"Ya, papa berkata benar. Aku dan mama memang harus menemuinya, agar semuanya jelas," putus Denisa kemudian."Papa senang mendengarnya, Denisa," Tutur Budi dengan seulas senyum tipis di wajahnya.***Rahma hanya bisa menelan ludah ketika di lihatnya Surya tengah memandangnya dengan tatapan datar. Tak dapat di pungkiri rasa gugup juga menjalar di sekujur tubuhnya."Kenapa wajahmu tegang seperti itu, Rahma?" tanya Surya."Aku ..." Ucapan Rahma terhenti, entah mengapa lidahnya mendadak kaku."Mengapa, boleh kakek tahu apa yang kau pikirkan?" Tanya Surya pada Rahma."A-aku ... A-apa aku telah melakukan kesalahan, hingga kakek memanggilku ke sini?""Menurutmu?" Balas Surya menaikkan salah satu alisnya."Ku pikir kakek memanggilku ke sini karena tidak menyukai kedatangan para saudaraku ke rumah ini?" Ungkap Rahma menunduk. tak berani menatap mata tua itu terlalu lama.Mendengar pengakuan Rahma, seketika Surya terkekeh. Di mata lelaki tua itu, Rahma tampak seperti anak kecil yang masih begit
"Lebih baik bicara sekarang, karena mama tidak punya waktu untuk duduk di sini lebih lama," ketus Hera sambil memandang putrinya. ***Ketok palu hakim akhirnya terdengar, gugatan cerai yang di ajukan oleh Budi akhirnya dikabulkan. Tampak senyum tipis di wajah lelaki berkacamata itu, seakan menggambarkan kegembiraannya.Hera tertunduk lesu di ruang persidangan itu, wajahnya murung dan sesekali bibirnya memaksa tersenyum ketika pengacaranya mencoba memberinya semangat.Budi tak terlalu memusingkan kehadiran Hera di ruang sidang itu, baginya yang penting, hubungan pernikahan mereka berakhir sudah. Tak ada lagi yang perlu di sesalkan. Setidaknya selama tiga puluh tahun lebih usia pernikahan mereka, Hera sudah menjadi bagian dari hidupnya meskipun itu adalah sebuah catatan kelam untuknya.Ucapan selamat di terima Budi dari pengacaranya, hatinya sungguh terasa lega, persidangan yang melelahkan ini akhirnya sudah selesai sudah. "Selamat Pak Budi. Gugatan cerai bapak akhirnya di kabulkan ol
Tiga bulan kemudian,"Selamat ya Pak Yudha, ibu Rahma positif hamil," ucap dokter wanita itu saat memeriksa Rahma."Alhamdulillah, terima kasih banyak dokter."Wajah Yudha begitu bahagia saat mendengar kabar bahagia tersebut, tak hanya dirinya, pipi Rahma pun tampak bersemu merah."Saya akan meresepkan beberapa vitamin. Jangan lupa istirahat yang cukup ya, Bu Rahma." Ujar dokter wanita tersebut, setelah pemeriksaan ultrasonografi (USG) tersebut selesai.Beberapa pesan di berikan oleh dokter wanita itu pada mereka, tak lupa juga mengingatkan agar melakukan pemeriksaan rutin setiap bulan. Setelah berbincang sebentar, mereka pun akhirnya pamit dan bergegas pulang ke rumah dengan suasana hati yang riang. Kurang lebih setengah jam kemudian, mobil yang membawa mereka pun akhirnya menepi dan berhenti di rumah besar itu, rumah yang hampir dua tahun ini mereka tinggali.Dengan hati hati, Yudha membantu Rahma keluar dari mobil. Rona bahagia begitu terpancar dari wajahnya. Melihat wajah Yudha y
"Bagaimana kondisi Mbak Nella?" Tanya Yudha beberapa saat setelah mendengar cerita Rahma."Mbak Nella baik baik saja," jawab Rahma lalu beranjak dari meja riasnya dan duduk di tepian ranjang mereka."Syukurlah. Uang yang hilang bisa dicari tapi jika para perampok itu sampai melukainya, entahlah, aku sulit untuk membayangkannya," sahut Yudha lalu meletakkan ponselnya ke atas nakas."Iya, kau benar, mas." "Hmm!" Yudha berdehem kecil."Besok papa mengundang kita untuk datang ke rumahnya.""Oh ya?" Tanya Rahma sembari menatap suaminya dengan pandangan tanya."Ada acara apa di rumah papa, mas?" Kembali Rahma bertanya."Tak ada, katanya sih hanya ingin berkumpul dengan kita saja sebelum berangkat umroh," jawab Yudha Mendengarnya, Rahma mengangguk pelan. "Oh, sekalian bulan madu, ya? Pengantin baru bikin gemes," sambung Rahma terkekeh."Mungkin saja, karena kudengar dari papa, katanya sih tante Miranda berharap segera diberi keturunan sepulang umroh nanti." Yudha kembali mejelaskan. "Ami
Kabar perampokan yang terjadi di rumah Nella, akhirnya sampai juga ke telinga Rahma, meskipun sudah dua hari berselang pasca kejadian tersebut, tetap saja insiden perampokan itu masih menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan para tetangganya.Meski khawatir, Rahma menahan diri untuk tidak segera datang ke rumah kakak perempuannya tersebut. Rahma yakin pasti ada alasan mengapa Nella tidak memberitahu dirinya atas musibah yang menimpa dirinya. Berdiri di hadapannya, seorang wanita yang beberapa jam lalu di mintanya untuk mencari kabar terbaru tentang Nella. Dari laporan yang diterimanya, setidaknya Rahma bisa menghela nafas lega karena para perampok itu sudah di tangkap polisi. Dan salah satunya adalah orang yang mereka kenal baik, seseorang yang masih bertetangga dengan Nella.Ada tiga orang yang beraksi pada malam itu. Menggasak habis uang yang tersimpan di dalam lemari, untung saja pada malam sebelumnya, Nella telah memindahkan kotak yang biasa digunakannya untuk menyimpan perhi
Deru mobil Deni perlahan terdengar menjauh dari rumah. Sesaat, terlihat Widya mematung di sana, seakan tengah mengkhawatirkan suaminya. Tak lama, ia berbalik masuk ke dalam rumah, setelah mengunci pagarnya terlebih dulu.Pandangan matanya terlihat menerawang ke sekeliling ruangan, ia tak menyangka jika tak ada satupun perabotan rumah ini yang berubah letaknya. Semuanya masih sama seperti ia tinggalkan beberapa waktu lalu. Piring, gelas maupun toples yang ada di atas meja pun hampir tak ada yang berubah letaknya, hanya isinya saja yang sudah kosong.Helaan nafasnya terdengar berat, tak lama la melangkah ke arah dapur, bersiap untuk mencuci peralatan makan dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, karena asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mereka sebelumnya, terpaksa di berhentikan beberapa hari setelah kasus penipuan berkedok investasi yang menghabiskan semua uang mereka tersebut.Suara seseorang terdengar mengetuk pintu, sontak membuat kepala Widya menoleh, tak butuh waktu
Deni mengulum senyum ketika di lihatnya Widya yang tampak canggung saat mereka duduk berdua saja di dalam mobil. Lelaki itu tak menyangka jika rencana Rahma untuk membuat istrinya kembali ke rumah tanpa paksaan, akan berjalan dengan sempurna.Tadinya ia sempat tak yakin, namun atas dukungan dari Nella, Deni akhirnya memberanikan diri menelpon ayah mertuanya dan meminta bantuan darinya, agar Widya bisa pulang tanpa harus membuatnya memohon dan menjatuhkan harga diri di depan istrinya.Untuk beberapa saat, suasana terasa hening, karena tak ada satupun dari mereka yang mau membuka percakapan lebih dulu, baik Deni maupun Widya, tampak masih berusaha mengatur nafas masing-masing. "Aku dengar kau sering belanja di warungnya si Mirna? Apa benar, mas?"Pertanyaan Widya akhirnya memecah keheningan di antara mereka, membuat Deni memalingkan wajahnya dari Widya sembari menyunggingkan senyum. "Kalau iya, apa ada masalah? Semua orang tahu jika dia cantik dan sendiri," Pancing Deni menggoda istri
"A-aku mau pulang, mas."Ucapan Widya membuat tiga pasang mata yang ada di sana sontak menoleh padanya. "Benarkah?" Ceplos ibu mertuanya sambil melempar pandangan pada Sofyan, suaminya.Mata Deni tak berkedip saat mendengarnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja tadi didengar oleh telinganya, begitu juga dengan Sofyan, ayah mertuanya yang tanpa sadar memandang tajam pada putri sulungnya tersebut.Mungkinkah, istrinya yang keras kepala itu telah berubah? Batin Deni berbisik."Nggak lagi ngelindur kan?" "Kemarin katanya nggak mau pulang, dipaksa- paksa, tetap kekeuh bilangnya males pulang, kok sekarang beda lagi? padahal Deni nggak bilang mau ajak kamu pulang lho, Wid?" Goda ayahnya."Itu ... Ya, terserah dong," ketus Widya yang membuat lelaki paruh baya itu akhirnya terkekeh.Setelah mengatakannya, dengan wajah masam Widya angkat kaki dari sana dan bergegas masuk ke kamarnya. Wanita itu tampak kesal dengan dirinya sendiri karena bisa bisanya terpancing emosi."Sepertinya, a
Deni melangkah ragu saat hendak melangkah masuk ke halaman rumah mertuanya, tampak sebuah sepeda motor matic telah terparkir di sana, menandakan jika rumah mertuanya tersebut tidak dalam keadaan kosong.Pandangan matanya mengawasi sekitar, cukup sepi, hanya suara burung peliharaan yang terdengar berkicau menyambut kedatangannya. Sesaat, Deni melihat sosok mengintip dari balik jendela.Perlahan, tangannya mengetuk pintu. Tak lama, wajah ibu mertuanya terlihat menyembul begitu pintu utama rumah itu terbuka."Nak Deni. Ayo masuk!" Ajaknya ramah.Deni tersenyum, lalu mengikuti langkah ibu mertuanya dan masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa tamu setelah lebih dulu di persilahkan oleh sang pemilik rumah."Mau bicara dengan Widya, ya?" Tanya ibu mertuanya."Tidak, aku datang ke sini karena ingin bicara dengan bapak," ucap Deni dengan penuh percaya diri."Oh maaf, ibu kira nak Deni ke sini karena ingin bicara dengan Widya. Kalau begitu tunggu sebentar, ibu panggilkan bapak dulu," pamit wani
Widya berdecak kesal. Sudah hampir satu bulan ini Deni seolah melupakannya. Ah, tidak. Pernah satu kali lelaki itu datang ke rumahnya hanya untuk mengantarkan beberapa barang miliknya yang tertinggal.Sudah berapa kali orang tuanya menyuruhnya agar segera pulang, namun wanita itu terlalu keras kepala. Entah mengapa, Deni belum mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, seakan-akan sengaja menunggunya menggugat cerai lebih dulu.Pernah terpikirkan dalam benak Widya untuk berpisah dari Deni, hanya saja hatinya masih ragu karena beberapa kali kerabatnya memberi tahu jika keadaaan Deni saat ini jauh lebih baik. Mobil yang sebelumnya diklaim telah terjual pada Rahma, ternyata masih betah menghuni garasi rumahnya.Apakah selama ini Deni telah berbohong padanya? atau semua ini terjadi karena bantuan dari Rahma?Entahlah, kepalanya pusing memikirkannya, hanya saja Widya kesal jika memang itu benar, mengapa Deni harus berbohong padanya?Suara gerimis malam ini terdengarsyahdu di telinga Widya. B
"Baiklah," sahut Denisa sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah pelaminan, hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara Yudha memanggilnya, membuat Denisa menoleh dan spontan memutuskan sambungan telepon mereka. "Yu-yudha!" Sapa Denisa gugup."Lho kok diputus teleponnya, Mbak?" Tanya Yudha."Ah ini, video call dari temen di rumah sakit. Katanya mau lihat pengantinnya ..." Rona gelisah terlihat samar di wajah Denisa."Oh! Ambil saja yang banyak videonya papa, Mbak. Aku yakin papa juga tidak keberatan kalau video pernikahannya jadi tontonan para dokter di rumah sakit." Wajah Yudha terlihat nyengir kuda."Ah, Iya. Kau benar juga. Papa kan orangnya sedikit narsis," balas Denisa. Tak lama mereka berdua tertawa sambil melihat ke arah Budi di kursi pelaminan."Kau tahu, mbak. Sejak kau pindah ke Surabaya, rasanya ada yang hilang.""Aku akan sering berkunjung ke Jakarta." Denisa menepuk lengan Yudha."Hmm ... Di mana Mas Arga dan Kevin?" Ekor mata Yudha mencari keberadaan kakak ipar da