"Oh tidak! Apa ini ada hubungannya dengan kedatangan saudara-saudaraku ke sini? Jika benar, apa kakek akan marah?" Tanya Rahma gugup. Rasa takut kini menjalar di sekujur tubuhnya.***Denisa tampak gugup ketika menjejakkan kakinya kembali di rumah orang tuanya. Darmi atau yang biasa dipanggil Mbok Dar, Asisten Rumah Tangga yang bekerja di rumah itu terlihat sumringah menyambut kedatangan putri majikannya.Senyum Denisa terasa hambar, ketika Mbok Dar menanyakan kabarnya dan keluarganya, tak lama, terdengar suara seseorang menyapanya."Denisa, kau di sini? Mengapa tidak memberi tahu papa kalau mau ke sini, nak? Setidaknya papa bisa minta Mbok Dar menyiapkan makanan kesukaanmu.""A-aku sengaja datang ke sini karena ingin bicara denganmu ... pa," jawab Denisa gugup."Jangan sungkan, nak. Apapun yang telah terjadi, ini tetap rumahmu. Kau bisa datang kapan saja kesini.""A-apa aku boleh tetap memanggilmu papa?" Tanya Denisa ragu yang langsung di balas anggukan kepala oleh Budi."Tentu saja,
"Ya, papa berkata benar. Aku dan mama memang harus menemuinya, agar semuanya jelas," putus Denisa kemudian."Papa senang mendengarnya, Denisa," Tutur Budi dengan seulas senyum tipis di wajahnya.***Rahma hanya bisa menelan ludah ketika di lihatnya Surya tengah memandangnya dengan tatapan datar. Tak dapat di pungkiri rasa gugup juga menjalar di sekujur tubuhnya."Kenapa wajahmu tegang seperti itu, Rahma?" tanya Surya."Aku ..." Ucapan Rahma terhenti, entah mengapa lidahnya mendadak kaku."Mengapa, boleh kakek tahu apa yang kau pikirkan?" Tanya Surya pada Rahma."A-aku ... A-apa aku telah melakukan kesalahan, hingga kakek memanggilku ke sini?""Menurutmu?" Balas Surya menaikkan salah satu alisnya."Ku pikir kakek memanggilku ke sini karena tidak menyukai kedatangan para saudaraku ke rumah ini?" Ungkap Rahma menunduk. tak berani menatap mata tua itu terlalu lama.Mendengar pengakuan Rahma, seketika Surya terkekeh. Di mata lelaki tua itu, Rahma tampak seperti anak kecil yang masih begit
"Lebih baik bicara sekarang, karena mama tidak punya waktu untuk duduk di sini lebih lama," ketus Hera sambil memandang putrinya. ***Ketok palu hakim akhirnya terdengar, gugatan cerai yang di ajukan oleh Budi akhirnya dikabulkan. Tampak senyum tipis di wajah lelaki berkacamata itu, seakan menggambarkan kegembiraannya.Hera tertunduk lesu di ruang persidangan itu, wajahnya murung dan sesekali bibirnya memaksa tersenyum ketika pengacaranya mencoba memberinya semangat.Budi tak terlalu memusingkan kehadiran Hera di ruang sidang itu, baginya yang penting, hubungan pernikahan mereka berakhir sudah. Tak ada lagi yang perlu di sesalkan. Setidaknya selama tiga puluh tahun lebih usia pernikahan mereka, Hera sudah menjadi bagian dari hidupnya meskipun itu adalah sebuah catatan kelam untuknya.Ucapan selamat di terima Budi dari pengacaranya, hatinya sungguh terasa lega, persidangan yang melelahkan ini akhirnya sudah selesai sudah. "Selamat Pak Budi. Gugatan cerai bapak akhirnya di kabulkan ol
"Kau datang kesini? Kenapa tidak bilang sebelumnya? Ah untung saja aku masih ada di rumah, tidak pergi menemani Mas Eko," ujar Nella sumringah.Beberapa tetangga tampak melongok dari balik pagar rumah, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Menyadari bahwa pandangan para tetangganya terarah padanya, sontak membuat Nella menyapa mereka."Ah, ibu-ibu. Ini adik saya yang nikah sama konglomerat itu lho."Rahma hanya menggeleng melihat kelakuan kakak perempuannya. Senyum tipis di perlihatkan Rahma pada mereka lalu dengan segera menarik tangan Nella masuk ke dalam rumah."Untung kau datang ke sini pakai mobil bagusmu itu, Rahma. Mereka tadinya tidak percaya saat aku bilang jika adikku menikah dengan konglomerat Widjaja.""Apa harus di beritahu, mbak?" Protes Rahma."Lho iya! Harus. Mbak yakin setelah kedatanganmu kesini, mereka yang tidak percaya pasti kesal," lanjut Nella terbahak."Bagiku kau juga menyebalkan, mbak," gumam Rahma sambil memalingkan wajahnya."Kau bilang sesuatu Rahm
"Oh ya Mbak, bagaimana kabar Mama Hera? Setelah sidang putusan cerai itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi?"Pertanyaan Yudha membuat Denisa menghela nafas berat***"Apa mama Hera akan tinggal bersama dengan Mbak Denisa di Surabaya?" Lanjut Yudha bertanya.Denisa terpaku beberapa saat, matanya tampak memandang ke arah lain."Mama tidak ikut ke Surabaya bersama ku. Dia bilang mungkin untuk sementara akan tinggal apartemen," jawab Denisa."Apartemen yang di Kuning*n itu?" Tanya Yudha."Iya.""Sebenernya, mama meminta untuk ikut tinggal bersamaku di Surabaya. Tapi kau sendiri tahu, Yudha. Mama tidak terlalu menyukai Mas Arga karena pekerjaannya yang hanya seorang karyawan perusahaan biasa, bukan seorang pengusaha kaya seperti yang selalu di inginkan mama selama ini. Aku hanya takut mereka akan bertengkar jika tinggal bersama dalam satu rumah, karena itu aku terpaksa menolaknya.""Lagipula, aku juga masih marah dan kecewa atas semua kebohongannya selama ini, kau bisa membayangkan bag
"Terima kasih Yudha. Aku sungguh beruntung bisa menjadi saudaramu," ujar Denisa dengan mata berkaca-kaca lalu melepas pelukannya."Sama sama mbak.""Oh ya Mbak, bagaimana kabar Mama Hera? Setelah sidang putusan cerai itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi?"Pertanyaan Yudha membuat Denisa menghela nafas berat***"Apa mama Hera akan tinggal bersama dengan Mbak Denisa di Surabaya?" Lanjut Yudha bertanya.Denisa terpaku beberapa saat, matanya tampak memandang ke arah lain."Mama tidak ikut ke Surabaya bersama ku. Dia bilang mungkin untuk sementara akan tinggal apartemen," jawab Denisa."Apartemen yang di Kuning*n itu kah?" Tanya Yudha."Iya.""Sebenernya, mama meminta untuk ikut tinggal bersamaku di Surabaya. Tapi kau sendiri tahu, Yudha. Mama tidak terlalu menyukai Mas Arga karena pekerjaannya yang hanya seorang karyawan perusahaan biasa, bukan seorang pengusaha kaya seperti yang selalu di inginkan mama selama ini. Aku hanya takut mereka akan bertengkar jika tinggal bersama dalam sa
"Kau di sini Rahma?" Sapa Deni yang baru saja datang, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa tamu Nella.***"Mas sendiri dari mana?" Rahma balik bertanya."Aku ke kamar mandi sebentar," jawab Deni sambil menghela nafas berat, sama seperti Widya, Deni juga terlihat lesu."Mas Deni tidak ke toko?"tanya Rahma.Deni menggeleng pelan," tidak, aku meminta Pak Ali menjaga toko hari ini, kau sendiri ada perlu apa datang kesini?" jawab Deni lalu menyandarkan punggungnya di sofa tamu itu."Aku ada urusan di Bogor, jadi sekalian saja mampir. Aku tak tahu jika kalian sedang berkumpul di sini," jawab Rahma berbohong."Aku tertipu investasi bodong. Dua ratus juta uangku lenyap, Rahma." curhat Deni yang langsung di sambut anggukan kepala oleh Widya."Apa itu termasuk uang yang ku pinjamkan?" Tanya Rahma tak percaya."Iya Rahma, di tambah uang hasil dari penjualan semua perhiasanku dan keuntungan toko. Tolong bantu kami agar uang itu bisa kembali," pinta Widya memelas.Rahma menggeleng perlahan," a
lEnam bulan kemudian."Eh, mbak Rahma! Katanya orang kaya. Kok beli sayurannya itu-itu mulu sih? Nggak mu coba beli daging atau ikan? Enak lho," Ejek Mira. Istri Pak Lurah."Iya ya, masa katanya orang kaya, makannya kayak gituan terus?" Sambung Lilis, Istri Pak Acip, juragan tanah kampung ini."Oh, uangnya memang cuma cukup beli sayuran dan tahu aja," jawab Rahma kalem."Berarti bukan orang kaya, dong. Sok-sokan bilangnya orang kaya, nggak tahunya miskin," cibir Lilis."Eh, maaf ya mbak Rahma kalau tersinggung, keceplosan!" Lanjutnya sambil berpura-pura mengigit bibirnya."Lho, saya memang orang kaya, bu. Tapi kok tahu ya? Perasaan saya nggak pernah kasih pengumuman tuh?" Balas Rahma santai."Ya tahu dong, Mak Suryani yang bilang pada kita," sahut Mira."Bener, katanya Mak Suryani, Mbak Rahma itu majikannya di kota, Kaya Raya, rumahnya gedong. Di mana-mana yang namanya majikan ya pasti kaya dong iyakan?" "Minimal ada mobil, tanahnya banyak. Lah, Mbak Rahma, emasnya nggak ada?" Sambun