"Lebih baik bicara sekarang, karena mama tidak punya waktu untuk duduk di sini lebih lama," ketus Hera sambil memandang putrinya. ***Ketok palu hakim akhirnya terdengar, gugatan cerai yang di ajukan oleh Budi akhirnya dikabulkan. Tampak senyum tipis di wajah lelaki berkacamata itu, seakan menggambarkan kegembiraannya.Hera tertunduk lesu di ruang persidangan itu, wajahnya murung dan sesekali bibirnya memaksa tersenyum ketika pengacaranya mencoba memberinya semangat.Budi tak terlalu memusingkan kehadiran Hera di ruang sidang itu, baginya yang penting, hubungan pernikahan mereka berakhir sudah. Tak ada lagi yang perlu di sesalkan. Setidaknya selama tiga puluh tahun lebih usia pernikahan mereka, Hera sudah menjadi bagian dari hidupnya meskipun itu adalah sebuah catatan kelam untuknya.Ucapan selamat di terima Budi dari pengacaranya, hatinya sungguh terasa lega, persidangan yang melelahkan ini akhirnya sudah selesai sudah. "Selamat Pak Budi. Gugatan cerai bapak akhirnya di kabulkan ol
"Kau datang kesini? Kenapa tidak bilang sebelumnya? Ah untung saja aku masih ada di rumah, tidak pergi menemani Mas Eko," ujar Nella sumringah.Beberapa tetangga tampak melongok dari balik pagar rumah, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Menyadari bahwa pandangan para tetangganya terarah padanya, sontak membuat Nella menyapa mereka."Ah, ibu-ibu. Ini adik saya yang nikah sama konglomerat itu lho."Rahma hanya menggeleng melihat kelakuan kakak perempuannya. Senyum tipis di perlihatkan Rahma pada mereka lalu dengan segera menarik tangan Nella masuk ke dalam rumah."Untung kau datang ke sini pakai mobil bagusmu itu, Rahma. Mereka tadinya tidak percaya saat aku bilang jika adikku menikah dengan konglomerat Widjaja.""Apa harus di beritahu, mbak?" Protes Rahma."Lho iya! Harus. Mbak yakin setelah kedatanganmu kesini, mereka yang tidak percaya pasti kesal," lanjut Nella terbahak."Bagiku kau juga menyebalkan, mbak," gumam Rahma sambil memalingkan wajahnya."Kau bilang sesuatu Rahm
"Oh ya Mbak, bagaimana kabar Mama Hera? Setelah sidang putusan cerai itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi?"Pertanyaan Yudha membuat Denisa menghela nafas berat***"Apa mama Hera akan tinggal bersama dengan Mbak Denisa di Surabaya?" Lanjut Yudha bertanya.Denisa terpaku beberapa saat, matanya tampak memandang ke arah lain."Mama tidak ikut ke Surabaya bersama ku. Dia bilang mungkin untuk sementara akan tinggal apartemen," jawab Denisa."Apartemen yang di Kuning*n itu?" Tanya Yudha."Iya.""Sebenernya, mama meminta untuk ikut tinggal bersamaku di Surabaya. Tapi kau sendiri tahu, Yudha. Mama tidak terlalu menyukai Mas Arga karena pekerjaannya yang hanya seorang karyawan perusahaan biasa, bukan seorang pengusaha kaya seperti yang selalu di inginkan mama selama ini. Aku hanya takut mereka akan bertengkar jika tinggal bersama dalam satu rumah, karena itu aku terpaksa menolaknya.""Lagipula, aku juga masih marah dan kecewa atas semua kebohongannya selama ini, kau bisa membayangkan bag
"Terima kasih Yudha. Aku sungguh beruntung bisa menjadi saudaramu," ujar Denisa dengan mata berkaca-kaca lalu melepas pelukannya."Sama sama mbak.""Oh ya Mbak, bagaimana kabar Mama Hera? Setelah sidang putusan cerai itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi?"Pertanyaan Yudha membuat Denisa menghela nafas berat***"Apa mama Hera akan tinggal bersama dengan Mbak Denisa di Surabaya?" Lanjut Yudha bertanya.Denisa terpaku beberapa saat, matanya tampak memandang ke arah lain."Mama tidak ikut ke Surabaya bersama ku. Dia bilang mungkin untuk sementara akan tinggal apartemen," jawab Denisa."Apartemen yang di Kuning*n itu kah?" Tanya Yudha."Iya.""Sebenernya, mama meminta untuk ikut tinggal bersamaku di Surabaya. Tapi kau sendiri tahu, Yudha. Mama tidak terlalu menyukai Mas Arga karena pekerjaannya yang hanya seorang karyawan perusahaan biasa, bukan seorang pengusaha kaya seperti yang selalu di inginkan mama selama ini. Aku hanya takut mereka akan bertengkar jika tinggal bersama dalam sa
"Kau di sini Rahma?" Sapa Deni yang baru saja datang, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa tamu Nella.***"Mas sendiri dari mana?" Rahma balik bertanya."Aku ke kamar mandi sebentar," jawab Deni sambil menghela nafas berat, sama seperti Widya, Deni juga terlihat lesu."Mas Deni tidak ke toko?"tanya Rahma.Deni menggeleng pelan," tidak, aku meminta Pak Ali menjaga toko hari ini, kau sendiri ada perlu apa datang kesini?" jawab Deni lalu menyandarkan punggungnya di sofa tamu itu."Aku ada urusan di Bogor, jadi sekalian saja mampir. Aku tak tahu jika kalian sedang berkumpul di sini," jawab Rahma berbohong."Aku tertipu investasi bodong. Dua ratus juta uangku lenyap, Rahma." curhat Deni yang langsung di sambut anggukan kepala oleh Widya."Apa itu termasuk uang yang ku pinjamkan?" Tanya Rahma tak percaya."Iya Rahma, di tambah uang hasil dari penjualan semua perhiasanku dan keuntungan toko. Tolong bantu kami agar uang itu bisa kembali," pinta Widya memelas.Rahma menggeleng perlahan," a
lEnam bulan kemudian."Eh, mbak Rahma! Katanya orang kaya. Kok beli sayurannya itu-itu mulu sih? Nggak mu coba beli daging atau ikan? Enak lho," Ejek Mira. Istri Pak Lurah."Iya ya, masa katanya orang kaya, makannya kayak gituan terus?" Sambung Lilis, Istri Pak Acip, juragan tanah kampung ini."Oh, uangnya memang cuma cukup beli sayuran dan tahu aja," jawab Rahma kalem."Berarti bukan orang kaya, dong. Sok-sokan bilangnya orang kaya, nggak tahunya miskin," cibir Lilis."Eh, maaf ya mbak Rahma kalau tersinggung, keceplosan!" Lanjutnya sambil berpura-pura mengigit bibirnya."Lho, saya memang orang kaya, bu. Tapi kok tahu ya? Perasaan saya nggak pernah kasih pengumuman tuh?" Balas Rahma santai."Ya tahu dong, Mak Suryani yang bilang pada kita," sahut Mira."Bener, katanya Mak Suryani, Mbak Rahma itu majikannya di kota, Kaya Raya, rumahnya gedong. Di mana-mana yang namanya majikan ya pasti kaya dong iyakan?" "Minimal ada mobil, tanahnya banyak. Lah, Mbak Rahma, emasnya nggak ada?" Sambun
"Mau ngebungkam mulut mereka," ujar Rahma dengan lengkungan tipis di sudut bibirnya.***Sementara itu di tempat lain, tampak Widya yang muram sambil menatap buku tabungan yang ada di tangannya. Sesekali ia menghela nafas panjang. Seakan ada sebuah beban yang begitu berat di pundaknya.Di samping wanita itu tampak Deni, suaminya yang juga tampak muram. Mata lelaki itu tampak begitu lelah dengan lingkaran mata yang hitam, sambil menyesap rokok di tangannya."Mas, uang kita hanya tinggal segini saja di tabungan, tidak cukup untuk membayar semua tagihan," keluh Widya."Diamlah, aku sedang berpikir.""Jangan terlalu banyak berpikir, mas. Cepat cari uang! Cari pinjaman kemana kek, jangan bisanya cuma duduk saja," sungut Widya."Tak bisakah kau menutup mulutmu itu? Kalau saja aku tidak mengikuti keinginanmu untuk ikut dalam investasi itu, kita tak akan kesulitan uang seperti ini," umpat Deni lalu menarik asbak dan menekan ujung rokoknya hingga padam."Kau selalu menyalahkanku. Mana kutahu
"Kalau begitu langsung saja, kapan tagihannya akan dilunasi?" Ujar salah satu dari mereka."Melunasi?" Balas Deni dengan wajah bingung."Maaf kalian dari mana?""Ini ...!" Jawab salah seorang dari mereka sambil memperlihatkan kartu identitas yang mereka pakai kepada Deni, membuat lelaki itu seketika menelan ludah."Masuk dulu, pak. Ki-kita bicara di dalam saja," ajak Deni gugup dengan ekor mata yang spontan melirik ke kanan dan kiri, berharap tetangganya tak ada yang melihat atau memperhatikan mereka."Tak perlu pak, kami tak punya banyak waktu, berikan saja uangnya maka kami akan segera pergi," ujar salah seorang dari mereka yang berwajah sangar.Kembali Deni menelan ludah."Bisakah saya meminta waktu beberapa hari?" Pinta Deni dengan wajah memelas."Ini saja sudah diberikan kelonggaran waktu, pak. Sudah tiga bulan lho bapak nunggak. Jangan mencoba mencari alasan," gertak salah seorang dari mereka, membuat nyali Deni menciut."Tapi saya benar-benar tidak ada uangnya, pak!" Kembali De