"Kau di sini Rahma?" Sapa Deni yang baru saja datang, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa tamu Nella.***"Mas sendiri dari mana?" Rahma balik bertanya."Aku ke kamar mandi sebentar," jawab Deni sambil menghela nafas berat, sama seperti Widya, Deni juga terlihat lesu."Mas Deni tidak ke toko?"tanya Rahma.Deni menggeleng pelan," tidak, aku meminta Pak Ali menjaga toko hari ini, kau sendiri ada perlu apa datang kesini?" jawab Deni lalu menyandarkan punggungnya di sofa tamu itu."Aku ada urusan di Bogor, jadi sekalian saja mampir. Aku tak tahu jika kalian sedang berkumpul di sini," jawab Rahma berbohong."Aku tertipu investasi bodong. Dua ratus juta uangku lenyap, Rahma." curhat Deni yang langsung di sambut anggukan kepala oleh Widya."Apa itu termasuk uang yang ku pinjamkan?" Tanya Rahma tak percaya."Iya Rahma, di tambah uang hasil dari penjualan semua perhiasanku dan keuntungan toko. Tolong bantu kami agar uang itu bisa kembali," pinta Widya memelas.Rahma menggeleng perlahan," a
lEnam bulan kemudian."Eh, mbak Rahma! Katanya orang kaya. Kok beli sayurannya itu-itu mulu sih? Nggak mu coba beli daging atau ikan? Enak lho," Ejek Mira. Istri Pak Lurah."Iya ya, masa katanya orang kaya, makannya kayak gituan terus?" Sambung Lilis, Istri Pak Acip, juragan tanah kampung ini."Oh, uangnya memang cuma cukup beli sayuran dan tahu aja," jawab Rahma kalem."Berarti bukan orang kaya, dong. Sok-sokan bilangnya orang kaya, nggak tahunya miskin," cibir Lilis."Eh, maaf ya mbak Rahma kalau tersinggung, keceplosan!" Lanjutnya sambil berpura-pura mengigit bibirnya."Lho, saya memang orang kaya, bu. Tapi kok tahu ya? Perasaan saya nggak pernah kasih pengumuman tuh?" Balas Rahma santai."Ya tahu dong, Mak Suryani yang bilang pada kita," sahut Mira."Bener, katanya Mak Suryani, Mbak Rahma itu majikannya di kota, Kaya Raya, rumahnya gedong. Di mana-mana yang namanya majikan ya pasti kaya dong iyakan?" "Minimal ada mobil, tanahnya banyak. Lah, Mbak Rahma, emasnya nggak ada?" Sambun
"Mau ngebungkam mulut mereka," ujar Rahma dengan lengkungan tipis di sudut bibirnya.***Sementara itu di tempat lain, tampak Widya yang muram sambil menatap buku tabungan yang ada di tangannya. Sesekali ia menghela nafas panjang. Seakan ada sebuah beban yang begitu berat di pundaknya.Di samping wanita itu tampak Deni, suaminya yang juga tampak muram. Mata lelaki itu tampak begitu lelah dengan lingkaran mata yang hitam, sambil menyesap rokok di tangannya."Mas, uang kita hanya tinggal segini saja di tabungan, tidak cukup untuk membayar semua tagihan," keluh Widya."Diamlah, aku sedang berpikir.""Jangan terlalu banyak berpikir, mas. Cepat cari uang! Cari pinjaman kemana kek, jangan bisanya cuma duduk saja," sungut Widya."Tak bisakah kau menutup mulutmu itu? Kalau saja aku tidak mengikuti keinginanmu untuk ikut dalam investasi itu, kita tak akan kesulitan uang seperti ini," umpat Deni lalu menarik asbak dan menekan ujung rokoknya hingga padam."Kau selalu menyalahkanku. Mana kutahu
"Kalau begitu langsung saja, kapan tagihannya akan dilunasi?" Ujar salah satu dari mereka."Melunasi?" Balas Deni dengan wajah bingung."Maaf kalian dari mana?""Ini ...!" Jawab salah seorang dari mereka sambil memperlihatkan kartu identitas yang mereka pakai kepada Deni, membuat lelaki itu seketika menelan ludah."Masuk dulu, pak. Ki-kita bicara di dalam saja," ajak Deni gugup dengan ekor mata yang spontan melirik ke kanan dan kiri, berharap tetangganya tak ada yang melihat atau memperhatikan mereka."Tak perlu pak, kami tak punya banyak waktu, berikan saja uangnya maka kami akan segera pergi," ujar salah seorang dari mereka yang berwajah sangar.Kembali Deni menelan ludah."Bisakah saya meminta waktu beberapa hari?" Pinta Deni dengan wajah memelas."Ini saja sudah diberikan kelonggaran waktu, pak. Sudah tiga bulan lho bapak nunggak. Jangan mencoba mencari alasan," gertak salah seorang dari mereka, membuat nyali Deni menciut."Tapi saya benar-benar tidak ada uangnya, pak!" Kembali De
Bab 78"Oh itu namanya Pak Demian, orang kepercayaannya Pak Darren, suaminya Bu Rahma," jawab seseorang yang tiba-tiba menyela pembicaraan mereka.Membuat ketiga wanita itu seketika menoleh.***Tampak seorang lelaki dengan kemeja berwarna gelap kini sedang berdiri di samping mereka, taklama ia menyeringai kecil lalu berjalan kembali meninggalkan mereka ke arah yang berlawanan dari tempat Rahma berada."Apa maksudnya?""Siapa tadi katanya? Pak Demian? Siapa itu?" Tanya Mira mengulang ucapannya."Kalau nggak salah sih tadi bilangnya, orang kepercayaannya siapa gitu? Nggak begitu denger," sahut Lilis menimpali."Apa tadi dia mau bilang kalau suaminya Mbak Rahma itu beneran orang kaya? Tapi ... Ah, sudahlah. Rasanya nggak mungkin, bisa saja itu kenalannya ataupun mungkin orang suruhan seli-ngkuhannya, iya kan?" Rini mendesis.Ketiga wanita itu masih asyik membahas Rahma, sesekali mereka tertawa sambil melirik sinis pada Rahma, hingga terdengar seseorang yang berbicara lewat pengeras suar
"Penasaran ya? kalau aku jawab dia selingkuhan, apa Bu Rini mau percaya?" sahut Rahma balas menyeringai.***Rini terlihat mencebikkan bibirnya saat mendengar jawaban Rahma, Lalu beralih menatap dokumen yang ada di meja. Rasa penasaran akhirnya, membuatnya kembali bertanya. " Kertas apa itu, Mbak Rahma?" ucapnya.Rahma melirik laporan yang tadi di serahkan Demian kepadanya. Bibirnya Kembali tersenyum tatkala melihat Rini yang terlihat melongokkan kepalanya saat ia merapikan dokumen-dokumen tersebut. "Oh, ini dokumen milik Mak Suryani yang tadi ketinggalan. Kelihatannya ia lupa, maklumlah sudah tua," jawab Rahma sambil mengulas senyum."Masa sih, kok Mak Suryani punya dokumen begituan?"Rahma masih terlihat santai saat mendengar ucapan Rini, tak lama pun menyahut," Lho emang kenapa? Mak Suryani kan warga negara Indonesia, punya KTP, bukan makhluk dari alam lain. Jadi bisa saja ia punya dokumen begini. Jangan meremehkan seseorang dari penampilannya," Rahma menyahutinya cepat."Memang s
Di ikuti oleh tatapan mata Rini yang sedari tadi tak berkedip memandangnya ***Dari celah kecil gorden jendela rumahnya, Nella mengintip. Tampak di teras rumahnya dua orang pria yang sedang berdiril sambil sesekali mengucap salam dan mengetuk pintu rumahnya.Tubuh wanita itu gemetar, lututnya terasa lemas tidak bertenaga. Entah ada di mana keberaniannya, karena saat ini rasa takut semakin menjalar di sekujur tubuhnya.Tak ada orang lain selain dirinya di rumah. Seorang tetangga yang bekerja di rumahnya sudah beberapa saat lalu pamit pulang, begitu juga dengan Eko, suaminya yang masih belum pulang ke rumah."Bu Nella!"Kembali Nella mendengar namanya dipanggil keras, namun tetap saja ia memilih untuk bungkam. Rasa takut membuat wanita itu mematung dan tak berani beranjak dari tempatnya."Bagaimana ini, sampai kapan mereka berdiri di sana?" Keluh Nella dengan suaranya yang teramat pelan.Beberapa saat kemudian, kembali matanya mengintip, setidaknya kali ini ia merasa lega karena dua or
"Halo," sapa Nella lebih dulu saat panggilan telepon mereka tersambung.***Beberapa hari kemudian."Bagaimana dengan laporan yang kuminta, Pak Demian?" Tanya Rahma begitu sambungan teleponnya tersambung."Sudah saya selesaikan, Bu. Begitu juga dengan hal yang ibu minta kemarin," jawab Demian."Lalu bagaimana reaksinya?"Suara seseorang mengucap salam terdengar membuat Rahma yang duduk di sofa tamu menoleh, namun telinganya masih menangkap jawaban atas pertanyaannya pada Demian tadi.Dengan sedikit tergesa-gesa, Mak Suryani datang dari arah dapur untuk melihat siapa yang hendak bertamu ke rumah mereka. Dari balik gorden dilihatnya Lilis, Istri juragan tanah kampung ini, tengah berdiri bersama seorang wanita sambil mengipasi wajahnya."Siapa yang datang, mak?" Tanya Rahma lalu memutuskan sambungan teleponnya."Ibu Lilis, Istrinya Pak Acip si juragan tanah, mbak," jawab Suryani."Istrinya juragan tanah itu, ngapain dia datang ke sini, Mak?" Sahut Rahma mengernyitkan dahi."Entahlah, mba
Tiga bulan kemudian,"Selamat ya Pak Yudha, ibu Rahma positif hamil," ucap dokter wanita itu saat memeriksa Rahma."Alhamdulillah, terima kasih banyak dokter."Wajah Yudha begitu bahagia saat mendengar kabar bahagia tersebut, tak hanya dirinya, pipi Rahma pun tampak bersemu merah."Saya akan meresepkan beberapa vitamin. Jangan lupa istirahat yang cukup ya, Bu Rahma." Ujar dokter wanita tersebut, setelah pemeriksaan ultrasonografi (USG) tersebut selesai.Beberapa pesan di berikan oleh dokter wanita itu pada mereka, tak lupa juga mengingatkan agar melakukan pemeriksaan rutin setiap bulan. Setelah berbincang sebentar, mereka pun akhirnya pamit dan bergegas pulang ke rumah dengan suasana hati yang riang. Kurang lebih setengah jam kemudian, mobil yang membawa mereka pun akhirnya menepi dan berhenti di rumah besar itu, rumah yang hampir dua tahun ini mereka tinggali.Dengan hati hati, Yudha membantu Rahma keluar dari mobil. Rona bahagia begitu terpancar dari wajahnya. Melihat wajah Yudha y
"Bagaimana kondisi Mbak Nella?" Tanya Yudha beberapa saat setelah mendengar cerita Rahma."Mbak Nella baik baik saja," jawab Rahma lalu beranjak dari meja riasnya dan duduk di tepian ranjang mereka."Syukurlah. Uang yang hilang bisa dicari tapi jika para perampok itu sampai melukainya, entahlah, aku sulit untuk membayangkannya," sahut Yudha lalu meletakkan ponselnya ke atas nakas."Iya, kau benar, mas." "Hmm!" Yudha berdehem kecil."Besok papa mengundang kita untuk datang ke rumahnya.""Oh ya?" Tanya Rahma sembari menatap suaminya dengan pandangan tanya."Ada acara apa di rumah papa, mas?" Kembali Rahma bertanya."Tak ada, katanya sih hanya ingin berkumpul dengan kita saja sebelum berangkat umroh," jawab Yudha Mendengarnya, Rahma mengangguk pelan. "Oh, sekalian bulan madu, ya? Pengantin baru bikin gemes," sambung Rahma terkekeh."Mungkin saja, karena kudengar dari papa, katanya sih tante Miranda berharap segera diberi keturunan sepulang umroh nanti." Yudha kembali mejelaskan. "Ami
Kabar perampokan yang terjadi di rumah Nella, akhirnya sampai juga ke telinga Rahma, meskipun sudah dua hari berselang pasca kejadian tersebut, tetap saja insiden perampokan itu masih menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan para tetangganya.Meski khawatir, Rahma menahan diri untuk tidak segera datang ke rumah kakak perempuannya tersebut. Rahma yakin pasti ada alasan mengapa Nella tidak memberitahu dirinya atas musibah yang menimpa dirinya. Berdiri di hadapannya, seorang wanita yang beberapa jam lalu di mintanya untuk mencari kabar terbaru tentang Nella. Dari laporan yang diterimanya, setidaknya Rahma bisa menghela nafas lega karena para perampok itu sudah di tangkap polisi. Dan salah satunya adalah orang yang mereka kenal baik, seseorang yang masih bertetangga dengan Nella.Ada tiga orang yang beraksi pada malam itu. Menggasak habis uang yang tersimpan di dalam lemari, untung saja pada malam sebelumnya, Nella telah memindahkan kotak yang biasa digunakannya untuk menyimpan perhi
Deru mobil Deni perlahan terdengar menjauh dari rumah. Sesaat, terlihat Widya mematung di sana, seakan tengah mengkhawatirkan suaminya. Tak lama, ia berbalik masuk ke dalam rumah, setelah mengunci pagarnya terlebih dulu.Pandangan matanya terlihat menerawang ke sekeliling ruangan, ia tak menyangka jika tak ada satupun perabotan rumah ini yang berubah letaknya. Semuanya masih sama seperti ia tinggalkan beberapa waktu lalu. Piring, gelas maupun toples yang ada di atas meja pun hampir tak ada yang berubah letaknya, hanya isinya saja yang sudah kosong.Helaan nafasnya terdengar berat, tak lama la melangkah ke arah dapur, bersiap untuk mencuci peralatan makan dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, karena asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mereka sebelumnya, terpaksa di berhentikan beberapa hari setelah kasus penipuan berkedok investasi yang menghabiskan semua uang mereka tersebut.Suara seseorang terdengar mengetuk pintu, sontak membuat kepala Widya menoleh, tak butuh waktu
Deni mengulum senyum ketika di lihatnya Widya yang tampak canggung saat mereka duduk berdua saja di dalam mobil. Lelaki itu tak menyangka jika rencana Rahma untuk membuat istrinya kembali ke rumah tanpa paksaan, akan berjalan dengan sempurna.Tadinya ia sempat tak yakin, namun atas dukungan dari Nella, Deni akhirnya memberanikan diri menelpon ayah mertuanya dan meminta bantuan darinya, agar Widya bisa pulang tanpa harus membuatnya memohon dan menjatuhkan harga diri di depan istrinya.Untuk beberapa saat, suasana terasa hening, karena tak ada satupun dari mereka yang mau membuka percakapan lebih dulu, baik Deni maupun Widya, tampak masih berusaha mengatur nafas masing-masing. "Aku dengar kau sering belanja di warungnya si Mirna? Apa benar, mas?"Pertanyaan Widya akhirnya memecah keheningan di antara mereka, membuat Deni memalingkan wajahnya dari Widya sembari menyunggingkan senyum. "Kalau iya, apa ada masalah? Semua orang tahu jika dia cantik dan sendiri," Pancing Deni menggoda istri
"A-aku mau pulang, mas."Ucapan Widya membuat tiga pasang mata yang ada di sana sontak menoleh padanya. "Benarkah?" Ceplos ibu mertuanya sambil melempar pandangan pada Sofyan, suaminya.Mata Deni tak berkedip saat mendengarnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja tadi didengar oleh telinganya, begitu juga dengan Sofyan, ayah mertuanya yang tanpa sadar memandang tajam pada putri sulungnya tersebut.Mungkinkah, istrinya yang keras kepala itu telah berubah? Batin Deni berbisik."Nggak lagi ngelindur kan?" "Kemarin katanya nggak mau pulang, dipaksa- paksa, tetap kekeuh bilangnya males pulang, kok sekarang beda lagi? padahal Deni nggak bilang mau ajak kamu pulang lho, Wid?" Goda ayahnya."Itu ... Ya, terserah dong," ketus Widya yang membuat lelaki paruh baya itu akhirnya terkekeh.Setelah mengatakannya, dengan wajah masam Widya angkat kaki dari sana dan bergegas masuk ke kamarnya. Wanita itu tampak kesal dengan dirinya sendiri karena bisa bisanya terpancing emosi."Sepertinya, a
Deni melangkah ragu saat hendak melangkah masuk ke halaman rumah mertuanya, tampak sebuah sepeda motor matic telah terparkir di sana, menandakan jika rumah mertuanya tersebut tidak dalam keadaan kosong.Pandangan matanya mengawasi sekitar, cukup sepi, hanya suara burung peliharaan yang terdengar berkicau menyambut kedatangannya. Sesaat, Deni melihat sosok mengintip dari balik jendela.Perlahan, tangannya mengetuk pintu. Tak lama, wajah ibu mertuanya terlihat menyembul begitu pintu utama rumah itu terbuka."Nak Deni. Ayo masuk!" Ajaknya ramah.Deni tersenyum, lalu mengikuti langkah ibu mertuanya dan masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa tamu setelah lebih dulu di persilahkan oleh sang pemilik rumah."Mau bicara dengan Widya, ya?" Tanya ibu mertuanya."Tidak, aku datang ke sini karena ingin bicara dengan bapak," ucap Deni dengan penuh percaya diri."Oh maaf, ibu kira nak Deni ke sini karena ingin bicara dengan Widya. Kalau begitu tunggu sebentar, ibu panggilkan bapak dulu," pamit wani
Widya berdecak kesal. Sudah hampir satu bulan ini Deni seolah melupakannya. Ah, tidak. Pernah satu kali lelaki itu datang ke rumahnya hanya untuk mengantarkan beberapa barang miliknya yang tertinggal.Sudah berapa kali orang tuanya menyuruhnya agar segera pulang, namun wanita itu terlalu keras kepala. Entah mengapa, Deni belum mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, seakan-akan sengaja menunggunya menggugat cerai lebih dulu.Pernah terpikirkan dalam benak Widya untuk berpisah dari Deni, hanya saja hatinya masih ragu karena beberapa kali kerabatnya memberi tahu jika keadaaan Deni saat ini jauh lebih baik. Mobil yang sebelumnya diklaim telah terjual pada Rahma, ternyata masih betah menghuni garasi rumahnya.Apakah selama ini Deni telah berbohong padanya? atau semua ini terjadi karena bantuan dari Rahma?Entahlah, kepalanya pusing memikirkannya, hanya saja Widya kesal jika memang itu benar, mengapa Deni harus berbohong padanya?Suara gerimis malam ini terdengarsyahdu di telinga Widya. B
"Baiklah," sahut Denisa sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah pelaminan, hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara Yudha memanggilnya, membuat Denisa menoleh dan spontan memutuskan sambungan telepon mereka. "Yu-yudha!" Sapa Denisa gugup."Lho kok diputus teleponnya, Mbak?" Tanya Yudha."Ah ini, video call dari temen di rumah sakit. Katanya mau lihat pengantinnya ..." Rona gelisah terlihat samar di wajah Denisa."Oh! Ambil saja yang banyak videonya papa, Mbak. Aku yakin papa juga tidak keberatan kalau video pernikahannya jadi tontonan para dokter di rumah sakit." Wajah Yudha terlihat nyengir kuda."Ah, Iya. Kau benar juga. Papa kan orangnya sedikit narsis," balas Denisa. Tak lama mereka berdua tertawa sambil melihat ke arah Budi di kursi pelaminan."Kau tahu, mbak. Sejak kau pindah ke Surabaya, rasanya ada yang hilang.""Aku akan sering berkunjung ke Jakarta." Denisa menepuk lengan Yudha."Hmm ... Di mana Mas Arga dan Kevin?" Ekor mata Yudha mencari keberadaan kakak ipar da