"Sejak tadi kalian terus meminta maaf padaku. Boleh aku bertanya, apa kalian sudah meminta maaf pada Rahma?" Pertanyaan Yudha membuat mereka bertiga seketika menelan ludah. Tak lama terdengar suara seseorang berdehem keras, tampak Surya yang baru saja pulang, kini tengah menyipitkan mata menatap tajam pada mereka.***Langkah Denisa terhenti ketika dilihatnya Hera sedang turun dari mobilnya, di pelataran rumah sakit. Segera saja ia memalingkan wajahnya, berharap sang ibu tak melihatnya. Sengaja ia membalikkan badan dan berusaha menghindar, namun usahanya tidak berhasil, suara parau Hera terdengar memanggil namanya, terpaksa membuatnya menghentikan niatnya.Pertemuan ini sungguh tak dikehendakinya, amarah masih berkecamuk di dalam hati Denisa. Kenyataan bahwa dirinya bukanlah bagian dari keluarga Widjaja masih melukainya, dan satu satunya orang yang bertanggung jawab atas rasa sakit itu adalah Hera, ibunya sendiri."Denisa!" Panggil Hera lalu melangkah lebar menghampirinya."Ada perl
"Mama punya banyak uang, setelah bercerai pun aku yakin mama akan mendapat uang cerai dari papa. Bukankah selama ini yang mama inginkan hanyalah uang?" Sinis Denisa.**"Lagipula, aku tidak bisa memutuskannya sendiri. Aku harus membicarakannya dengan Mas Arga," lanjut Denisa beralasan."Mama akan bicara sendiri dengan Arga!" Sahut Hera cepat."Tak perlu, aku bisa memberitahunya sendiri. Jika tak ada yang ingin Mama bicarakan lagi, aku mau masuk ke mobilku. Maaf ma, tapi aku harus segera pulang." Pamit Denisa lalu melangkah cepat ke dalam mobilnya.Di dalam mobil nya, Denisa menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata. Helaan nafasnya terdengar berat, tak lama, sudut matanya terlihat basah."Maaf ma, aku butuh waktu untuk bisa menerima semua kenyataan ini, aku butuh ketenangan," bisik Denisa sambil memandang sayu pada Hera yang masih berdiri di tempatnya. Beberapa detik kemudian Denisa menyalakan mobilnya dan bergegas meninggalkan rumah sakit tempatnya bekerja selama ini.Sepeningg
"Baiklah, sebelum itu bisakah aku bicara dengan Mbak Nella sebentar?" Pinta Rahma sambil tersenyum memandangnya.***"Bicara dengan ku?" Tanya Nella bingung."Iya, mbak. Aku ingin bicara dengan Mbak Nella sebentar saja. Tidak disini, kita ke ruang baca sebentar," jawab Rahma.Deni melirik Rahma dengan kening berkerut, ada banyak pertanyaan yang ada dalam kepalanya. Bagi Deni, sikap Rahma cukup aneh. "Bicara saja di sini, kenapa? Kita ini saudara, kenapa harus bicara di tempat lain?" ketus Widya menyela."Mbak mu benar Rahma. Kalian bicara saja di sini," tambah Deni mendukung ucapan istrinya.Rahma menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya ingin bicara dengan Mbak Nella, berdua saja. Lagipula, mengapa kalian terlihat kesal seperti itu? Aku dan Mbak Nella bukan ingin membahas kalian!" jelas Rahma.Nella memandang Rahma dengan seksama. Ucapan Rahma sebenarnya sedikit menganggu dirinya, Namun, segera di tepisnya kuat pikiran buruk itu. Ia yakin Rahma tidak mungkin ingin berniat buruk padanya.
"Sebaiknya kembali kita ke ruang tamu, nanti akan kujelaskan di sana. Aku masih berharap mbak bisa memikirkan semua perkataanku tadi."Nella tidak menjawabnya namun dari ekspresi wajahnya, tampak jelas jika ia menolak saran Rahma.***Rahma bangkit dari tempat duduknya, begitu juga Nella. Tak lama, mereka berjalan beriringan kembali ke ruang tamu di mana Deni dan Widya masih duduk menunggu mereka."Sudah selesai, pembicaraan rahasianya?" Sindir Widya."Iya, kami memang bicara hal yang rahasia. Kenapa? Mbak ingin tahu apa yang kami bicarakan tadi?" Balas Rahma."Sudahlah Widya, jaga sikapmu. Ingat kita sedang berada di rumah Rahma," tegur Deni pada istrinya."Berisik.""Lalu, apa kalian sudah selesai bicara?" Tanya Deni, yang mengabaikan wajah masam Widya padanya."Sudah. Maaf jika membuat kalian menunggu.""Aku tak peduli dengan pembicaraan kalian. Ingat Rahma kau sudah berkata akan memenuhi permintaanku. Jadi kapan aku bisa menerima uangnya?" Tanya Deni antusias."Tenang saja, kau da
"Oh tidak! Apa ini ada hubungannya dengan kedatangan saudara-saudaraku ke sini? Jika benar, apa kakek akan marah?" Tanya Rahma gugup. Rasa takut kini menjalar di sekujur tubuhnya.***Denisa tampak gugup ketika menjejakkan kakinya kembali di rumah orang tuanya. Darmi atau yang biasa dipanggil Mbok Dar, Asisten Rumah Tangga yang bekerja di rumah itu terlihat sumringah menyambut kedatangan putri majikannya.Senyum Denisa terasa hambar, ketika Mbok Dar menanyakan kabarnya dan keluarganya, tak lama, terdengar suara seseorang menyapanya."Denisa, kau di sini? Mengapa tidak memberi tahu papa kalau mau ke sini, nak? Setidaknya papa bisa minta Mbok Dar menyiapkan makanan kesukaanmu.""A-aku sengaja datang ke sini karena ingin bicara denganmu ... pa," jawab Denisa gugup."Jangan sungkan, nak. Apapun yang telah terjadi, ini tetap rumahmu. Kau bisa datang kapan saja kesini.""A-apa aku boleh tetap memanggilmu papa?" Tanya Denisa ragu yang langsung di balas anggukan kepala oleh Budi."Tentu saja,
"Ya, papa berkata benar. Aku dan mama memang harus menemuinya, agar semuanya jelas," putus Denisa kemudian."Papa senang mendengarnya, Denisa," Tutur Budi dengan seulas senyum tipis di wajahnya.***Rahma hanya bisa menelan ludah ketika di lihatnya Surya tengah memandangnya dengan tatapan datar. Tak dapat di pungkiri rasa gugup juga menjalar di sekujur tubuhnya."Kenapa wajahmu tegang seperti itu, Rahma?" tanya Surya."Aku ..." Ucapan Rahma terhenti, entah mengapa lidahnya mendadak kaku."Mengapa, boleh kakek tahu apa yang kau pikirkan?" Tanya Surya pada Rahma."A-aku ... A-apa aku telah melakukan kesalahan, hingga kakek memanggilku ke sini?""Menurutmu?" Balas Surya menaikkan salah satu alisnya."Ku pikir kakek memanggilku ke sini karena tidak menyukai kedatangan para saudaraku ke rumah ini?" Ungkap Rahma menunduk. tak berani menatap mata tua itu terlalu lama.Mendengar pengakuan Rahma, seketika Surya terkekeh. Di mata lelaki tua itu, Rahma tampak seperti anak kecil yang masih begit
"Lebih baik bicara sekarang, karena mama tidak punya waktu untuk duduk di sini lebih lama," ketus Hera sambil memandang putrinya. ***Ketok palu hakim akhirnya terdengar, gugatan cerai yang di ajukan oleh Budi akhirnya dikabulkan. Tampak senyum tipis di wajah lelaki berkacamata itu, seakan menggambarkan kegembiraannya.Hera tertunduk lesu di ruang persidangan itu, wajahnya murung dan sesekali bibirnya memaksa tersenyum ketika pengacaranya mencoba memberinya semangat.Budi tak terlalu memusingkan kehadiran Hera di ruang sidang itu, baginya yang penting, hubungan pernikahan mereka berakhir sudah. Tak ada lagi yang perlu di sesalkan. Setidaknya selama tiga puluh tahun lebih usia pernikahan mereka, Hera sudah menjadi bagian dari hidupnya meskipun itu adalah sebuah catatan kelam untuknya.Ucapan selamat di terima Budi dari pengacaranya, hatinya sungguh terasa lega, persidangan yang melelahkan ini akhirnya sudah selesai sudah. "Selamat Pak Budi. Gugatan cerai bapak akhirnya di kabulkan ol
"Kau datang kesini? Kenapa tidak bilang sebelumnya? Ah untung saja aku masih ada di rumah, tidak pergi menemani Mas Eko," ujar Nella sumringah.Beberapa tetangga tampak melongok dari balik pagar rumah, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Menyadari bahwa pandangan para tetangganya terarah padanya, sontak membuat Nella menyapa mereka."Ah, ibu-ibu. Ini adik saya yang nikah sama konglomerat itu lho."Rahma hanya menggeleng melihat kelakuan kakak perempuannya. Senyum tipis di perlihatkan Rahma pada mereka lalu dengan segera menarik tangan Nella masuk ke dalam rumah."Untung kau datang ke sini pakai mobil bagusmu itu, Rahma. Mereka tadinya tidak percaya saat aku bilang jika adikku menikah dengan konglomerat Widjaja.""Apa harus di beritahu, mbak?" Protes Rahma."Lho iya! Harus. Mbak yakin setelah kedatanganmu kesini, mereka yang tidak percaya pasti kesal," lanjut Nella terbahak."Bagiku kau juga menyebalkan, mbak," gumam Rahma sambil memalingkan wajahnya."Kau bilang sesuatu Rahm