"Menurutmu apakah Yudha akan memaafkan mama?" Tanya Hera sambil menatap nanar ke arah putrinya. Sungguh, rasa takut masih menggerogotinya.***Mobil yang di kemudikan Budi tampak berbelok masuk ke halaman rumah masa kecilnya. Rumah yang menyimpan banyak sekali kenangan tentang keluarganya, rumah yang kini di wariskan kepada Yudha dan menantunya, Rahma.Ekor matanya melirik ke teras rumah. Seperti biasa, rumah besar itu selalu terlihat sepi meski sebenarnya ada orang di dalamnya. Tak lama Budi keluar dari mobilnya dan berjalan menuju pintu masuk utama rumah besar itu.Seorang pelayan membukakan pintunya, segera saja Budi bergegas masuk dan berjalan cepat menuju ruang baca, setelah sebelumnya meminta seorang pelayan memberitahu tentang kedatangannya kepada Yudha.Terlihat tangannya yang menyentuh beberapa buku yang tersusun rapi di atas rak tersebut, hingga sepuluh menit kemudian, terdengar pintu ruangan itu berderit terbuka dan suara langkah kaki yang terdengar mendekat."Papa!" Sapa Yu
"Kau pasti yang memintanya datang ke sini, Iya kan?" Tuding Hera, membuat Denisa menggeleng."Sebaiknya, tante tanyakan saja pada papa. Apa yang membuatnya datang ke sini semalam?" Balas Rahma lalu dengan sopan pamit pergi meninggalkan mereka.***Jantung Hera berdebar dengan kencang saat melangkah menuju meja makan, meski Denisa sudah berkali-kali menyakinkan dirinya bahwa tak akan terjadi apapun. Namun tetap saja gelisah dan rasa cemas menjalar di sekujur tubuhnya.Pandangan mata Suryani yang menatapnya tanpa berkedip membuat Hera menggigit bibirnya. Andai bisa menghilang, Hera ingin pergi sejauh mungkin sekarang dari sini.Hanya tinggal beberapa langkah lagi, maka mereka berdua akan tiba di meja makan. Bertemu kembali dengan Budi, membuat rasa gugup Hera semakin menjadi. Wanita paruh baya itu berharap semoga tak ada masalah baru yang membelitnya meski sebenarnya ia masih berharap hubungannya dengan Budi bisa diperbaiki"Tenanglah ma, Om Budi orang yang bijaksana, aku yakin ia tidak
"Tunggu sebentar Hera, jika tidak keberatan, aku ingin bicara denganmu." Seketika pelipis Hera berdenyut mendengarnya. Sepertinya, hal yang sedari tadi ia takutkan, akan terjadi sebentar lagi.***"Kau baik-baik saja, mas?" Tanya Rahma sambil mengelus lembut punggung Yudha."Aku tak apa - apa.""Maaf, jika tadi aku bersikap tidak sopan, Rahma.""Tak apa, aku bisa mengerti. Menerima kenyataan ini memang terasa berat, namun setidaknya, semuanya sudah terungkap dan jelas sekarang." Rahma menyahut pelan."Entahlah, aku bingung. Kepalaku pusing. Di satu sisi aku menghormati Mbak Denisa yang selalu bersikap baik padaku, tapi di sisi lainnya, aku sangat marah pada Tante Hera," ungkap Yudha sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut."Apa yang harus kulakukan, Rahma? memaafkannya? mungkin aku bisa melakukannya tapi untuk melupakan semua kejahatannya? Entahlah, aku tak sebaik itu."Mendengarnya, Rahma mengulas senyum, lalu menatap wajah Yudha lebih dekat."Memaafkan seseorang yang
"Maaf, kali ini aku tak bisa membantumu, Hera. Apapun keputusan yang diambil oleh Yudha nanti, kuharap kau bisa lapang dada menerimanya." Budi memalingkan wajahnya lalu memutuskan untuk bertolak meninggalkan Hera yang masih memandangnya dengan tatapan nanar.***Derit pintu yang terdengar membuat Yudha menoleh, tampak di sana Rahma tengah melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Melihat istrinya yang tersenyum membuat suasana hati Yudha sedikit lebih baik."Kau sudah merasa lebih baik, mas?" Tanya Rahma.Yudha tidak menjawab, namun anggukan kepalanya sudah cukup bagi Rahma untuk mengetahui jika suaminya sudah dalam kondisi yang baik.Tangan Yudha menepuk pelan tepian ranjang, tempat yang di dudukinya saat ini. Lelaki itu meminta agar Rahma bisa duduk di sebelahnya."Aku bicara sebentar dengan Denisa tadi, katanya ia akan pulang ke Surabaya dengan penerbangan nanti siang," tutur Rahma menjelaskan."Papa?""Terakhir kulihat ia sedang bicara berdua dengan Tante Hera," jawab Rahma.Yudha hany
Selepas kepergian Yudha, kini hanya tinggal mereka berempat di sana. Setelah berbasa-basi sebentar dengan Denisa, Budi pun pamit pulang ke rumahnya. Lelaki berkacamata itu beralasan jika saat ini Miranda sedang dalam perjalanan ke rumahnya.Denisa mengajak Hera kembali ke kamar mereka, guna bersiap-siap. Jadwal cutinya yang telah habis, membuatnya harus bergegas untuk kembali ke Surabaya. Sedang Hera, wanita itu masih tampak bingung. Duduk terdiam di tepi ranjang sambil menatap nanar putrinya yang tengah menutup kopernya, hingga sebuah pertanyaan terakhir kembali di lontarkan Denisa kepadanya."Mama ikut aku kan ke Surabaya?""Mama ...""Apa Arga bisa menerima kedatangan Mama?" Tanya Hera ragu. Wanita itu tak yakin jika suami Denisa itu menyambut kedatangannya setelah semua perbuatannya dan kalimat-kalimat buruk penuh hinaan yang pernah dulu ia lontarkan pada menantunya itu."Mas Arga tidak seburuk yang mama bayangkan. Percayalah! Dia akan sangat senang menerima kedatangan Mama," uja
"Apa kau keberatan jika aku ingin bicara denganmu, Rahma?" Tanya Jesslyn begitu Denisa beranjak pergi dari sana.***Untuk beberapa saat, Rahma tertegun mendengarnya. Di pandanginya wajah Jesslyn dengan tatapan tanya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya tadi.Perlahan, Rahma menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Tentu saja tidak, Ada apa mbak? Apa ada hal yang penting?" balasnya bertanya."Aku ingin mintalah maaf." Jawab Jesslyn beberapa saat kemudian. Mendengarnya, dahi Rahma berkerut. "Maaf? tapi Untuk apa?" Balasnya."Untuk semua sikap burukku padamu.""Rasa cemburu membuatku ingin merebut Yudha darimu." Sejenak Jesslyn memalingkan wajahnya, mencoba menahan bulir air mata yang hendak keluar.Pengakuan Jesslyn membuat Rahma tersenyum getir. Dipandanginya kembali wajah Jesslyn yang terlihat memerah. Lalu meraih tangannya."Aku hargai keberanianmu untuk mengakui kesalahanmu padaku, Mbak. Namun sebenarnya, bukan hanya kau yang cemburu, tapi aku juga.""Selama a
Hera duduk melamun sambil memandang kearah jalan. Sendiri di teras halaman rumah dan hanya berteman dengan dua orang Asisten rumah tangga yang membuatnya jenuh.Semalam, Denisa beserta anak dan suaminya pergi ke Jakarta, untuk menghadiri acara resepsi pernikahan Budi Anshara Widjaja, mantan suaminya. Meskipun dalam hatinya ada rasa kecewa yang besar karena Budi menolak ajakannya untuk rujuk, tetap saja sebenarnya Hera ingin datang dan mengucapkan selamat untuknya.Sejak tinggal bersama Denisa, Hera mengakui jika hidupnya lebih baik daripada saat ia tinggal di Bandung. Sendiri dan hidup seadanya karena tak punya uang maupun pekerjaan. Ia beruntung karena Denisa menjemputnya dan mengizinkannya untuk tinggal bersamanya.Hera menghela nafas panjang. Lalu beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur. Entah mengapa, perutnya terasa lapar meski ia sudah menyantap makan siangnya. Biasanya, ia tinggal memanggil asisten rumah tangga, namun entah mengapa saat ini, ia ingin melakukannya sendiri
"Baiklah," sahut Denisa sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah pelaminan, hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara Yudha memanggilnya, membuat Denisa menoleh dan spontan memutuskan sambungan telepon mereka. "Yu-yudha!" Sapa Denisa gugup."Lho kok diputus teleponnya, Mbak?" Tanya Yudha."Ah ini, video call dari temen di rumah sakit. Katanya mau lihat pengantinnya ..." Rona gelisah terlihat samar di wajah Denisa."Oh! Ambil saja yang banyak videonya papa, Mbak. Aku yakin papa juga tidak keberatan kalau video pernikahannya jadi tontonan para dokter di rumah sakit." Wajah Yudha terlihat nyengir kuda."Ah, Iya. Kau benar juga. Papa kan orangnya sedikit narsis," balas Denisa. Tak lama mereka berdua tertawa sambil melihat ke arah Budi di kursi pelaminan."Kau tahu, mbak. Sejak kau pindah ke Surabaya, rasanya ada yang hilang.""Aku akan sering berkunjung ke Jakarta." Denisa menepuk lengan Yudha."Hmm ... Di mana Mas Arga dan Kevin?" Ekor mata Yudha mencari keberadaan kakak ipar da