"Maaf, kali ini aku tak bisa membantumu, Hera. Apapun keputusan yang diambil oleh Yudha nanti, kuharap kau bisa lapang dada menerimanya." Budi memalingkan wajahnya lalu memutuskan untuk bertolak meninggalkan Hera yang masih memandangnya dengan tatapan nanar.***Derit pintu yang terdengar membuat Yudha menoleh, tampak di sana Rahma tengah melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Melihat istrinya yang tersenyum membuat suasana hati Yudha sedikit lebih baik."Kau sudah merasa lebih baik, mas?" Tanya Rahma.Yudha tidak menjawab, namun anggukan kepalanya sudah cukup bagi Rahma untuk mengetahui jika suaminya sudah dalam kondisi yang baik.Tangan Yudha menepuk pelan tepian ranjang, tempat yang di dudukinya saat ini. Lelaki itu meminta agar Rahma bisa duduk di sebelahnya."Aku bicara sebentar dengan Denisa tadi, katanya ia akan pulang ke Surabaya dengan penerbangan nanti siang," tutur Rahma menjelaskan."Papa?""Terakhir kulihat ia sedang bicara berdua dengan Tante Hera," jawab Rahma.Yudha hany
Selepas kepergian Yudha, kini hanya tinggal mereka berempat di sana. Setelah berbasa-basi sebentar dengan Denisa, Budi pun pamit pulang ke rumahnya. Lelaki berkacamata itu beralasan jika saat ini Miranda sedang dalam perjalanan ke rumahnya.Denisa mengajak Hera kembali ke kamar mereka, guna bersiap-siap. Jadwal cutinya yang telah habis, membuatnya harus bergegas untuk kembali ke Surabaya. Sedang Hera, wanita itu masih tampak bingung. Duduk terdiam di tepi ranjang sambil menatap nanar putrinya yang tengah menutup kopernya, hingga sebuah pertanyaan terakhir kembali di lontarkan Denisa kepadanya."Mama ikut aku kan ke Surabaya?""Mama ...""Apa Arga bisa menerima kedatangan Mama?" Tanya Hera ragu. Wanita itu tak yakin jika suami Denisa itu menyambut kedatangannya setelah semua perbuatannya dan kalimat-kalimat buruk penuh hinaan yang pernah dulu ia lontarkan pada menantunya itu."Mas Arga tidak seburuk yang mama bayangkan. Percayalah! Dia akan sangat senang menerima kedatangan Mama," uja
"Apa kau keberatan jika aku ingin bicara denganmu, Rahma?" Tanya Jesslyn begitu Denisa beranjak pergi dari sana.***Untuk beberapa saat, Rahma tertegun mendengarnya. Di pandanginya wajah Jesslyn dengan tatapan tanya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya tadi.Perlahan, Rahma menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Tentu saja tidak, Ada apa mbak? Apa ada hal yang penting?" balasnya bertanya."Aku ingin mintalah maaf." Jawab Jesslyn beberapa saat kemudian. Mendengarnya, dahi Rahma berkerut. "Maaf? tapi Untuk apa?" Balasnya."Untuk semua sikap burukku padamu.""Rasa cemburu membuatku ingin merebut Yudha darimu." Sejenak Jesslyn memalingkan wajahnya, mencoba menahan bulir air mata yang hendak keluar.Pengakuan Jesslyn membuat Rahma tersenyum getir. Dipandanginya kembali wajah Jesslyn yang terlihat memerah. Lalu meraih tangannya."Aku hargai keberanianmu untuk mengakui kesalahanmu padaku, Mbak. Namun sebenarnya, bukan hanya kau yang cemburu, tapi aku juga.""Selama a
Hera duduk melamun sambil memandang kearah jalan. Sendiri di teras halaman rumah dan hanya berteman dengan dua orang Asisten rumah tangga yang membuatnya jenuh.Semalam, Denisa beserta anak dan suaminya pergi ke Jakarta, untuk menghadiri acara resepsi pernikahan Budi Anshara Widjaja, mantan suaminya. Meskipun dalam hatinya ada rasa kecewa yang besar karena Budi menolak ajakannya untuk rujuk, tetap saja sebenarnya Hera ingin datang dan mengucapkan selamat untuknya.Sejak tinggal bersama Denisa, Hera mengakui jika hidupnya lebih baik daripada saat ia tinggal di Bandung. Sendiri dan hidup seadanya karena tak punya uang maupun pekerjaan. Ia beruntung karena Denisa menjemputnya dan mengizinkannya untuk tinggal bersamanya.Hera menghela nafas panjang. Lalu beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur. Entah mengapa, perutnya terasa lapar meski ia sudah menyantap makan siangnya. Biasanya, ia tinggal memanggil asisten rumah tangga, namun entah mengapa saat ini, ia ingin melakukannya sendiri
"Baiklah," sahut Denisa sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah pelaminan, hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara Yudha memanggilnya, membuat Denisa menoleh dan spontan memutuskan sambungan telepon mereka. "Yu-yudha!" Sapa Denisa gugup."Lho kok diputus teleponnya, Mbak?" Tanya Yudha."Ah ini, video call dari temen di rumah sakit. Katanya mau lihat pengantinnya ..." Rona gelisah terlihat samar di wajah Denisa."Oh! Ambil saja yang banyak videonya papa, Mbak. Aku yakin papa juga tidak keberatan kalau video pernikahannya jadi tontonan para dokter di rumah sakit." Wajah Yudha terlihat nyengir kuda."Ah, Iya. Kau benar juga. Papa kan orangnya sedikit narsis," balas Denisa. Tak lama mereka berdua tertawa sambil melihat ke arah Budi di kursi pelaminan."Kau tahu, mbak. Sejak kau pindah ke Surabaya, rasanya ada yang hilang.""Aku akan sering berkunjung ke Jakarta." Denisa menepuk lengan Yudha."Hmm ... Di mana Mas Arga dan Kevin?" Ekor mata Yudha mencari keberadaan kakak ipar da
Widya berdecak kesal. Sudah hampir satu bulan ini Deni seolah melupakannya. Ah, tidak. Pernah satu kali lelaki itu datang ke rumahnya hanya untuk mengantarkan beberapa barang miliknya yang tertinggal.Sudah berapa kali orang tuanya menyuruhnya agar segera pulang, namun wanita itu terlalu keras kepala. Entah mengapa, Deni belum mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, seakan-akan sengaja menunggunya menggugat cerai lebih dulu.Pernah terpikirkan dalam benak Widya untuk berpisah dari Deni, hanya saja hatinya masih ragu karena beberapa kali kerabatnya memberi tahu jika keadaaan Deni saat ini jauh lebih baik. Mobil yang sebelumnya diklaim telah terjual pada Rahma, ternyata masih betah menghuni garasi rumahnya.Apakah selama ini Deni telah berbohong padanya? atau semua ini terjadi karena bantuan dari Rahma?Entahlah, kepalanya pusing memikirkannya, hanya saja Widya kesal jika memang itu benar, mengapa Deni harus berbohong padanya?Suara gerimis malam ini terdengarsyahdu di telinga Widya. B
Deni melangkah ragu saat hendak melangkah masuk ke halaman rumah mertuanya, tampak sebuah sepeda motor matic telah terparkir di sana, menandakan jika rumah mertuanya tersebut tidak dalam keadaan kosong.Pandangan matanya mengawasi sekitar, cukup sepi, hanya suara burung peliharaan yang terdengar berkicau menyambut kedatangannya. Sesaat, Deni melihat sosok mengintip dari balik jendela.Perlahan, tangannya mengetuk pintu. Tak lama, wajah ibu mertuanya terlihat menyembul begitu pintu utama rumah itu terbuka."Nak Deni. Ayo masuk!" Ajaknya ramah.Deni tersenyum, lalu mengikuti langkah ibu mertuanya dan masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa tamu setelah lebih dulu di persilahkan oleh sang pemilik rumah."Mau bicara dengan Widya, ya?" Tanya ibu mertuanya."Tidak, aku datang ke sini karena ingin bicara dengan bapak," ucap Deni dengan penuh percaya diri."Oh maaf, ibu kira nak Deni ke sini karena ingin bicara dengan Widya. Kalau begitu tunggu sebentar, ibu panggilkan bapak dulu," pamit wani
"A-aku mau pulang, mas."Ucapan Widya membuat tiga pasang mata yang ada di sana sontak menoleh padanya. "Benarkah?" Ceplos ibu mertuanya sambil melempar pandangan pada Sofyan, suaminya.Mata Deni tak berkedip saat mendengarnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja tadi didengar oleh telinganya, begitu juga dengan Sofyan, ayah mertuanya yang tanpa sadar memandang tajam pada putri sulungnya tersebut.Mungkinkah, istrinya yang keras kepala itu telah berubah? Batin Deni berbisik."Nggak lagi ngelindur kan?" "Kemarin katanya nggak mau pulang, dipaksa- paksa, tetap kekeuh bilangnya males pulang, kok sekarang beda lagi? padahal Deni nggak bilang mau ajak kamu pulang lho, Wid?" Goda ayahnya."Itu ... Ya, terserah dong," ketus Widya yang membuat lelaki paruh baya itu akhirnya terkekeh.Setelah mengatakannya, dengan wajah masam Widya angkat kaki dari sana dan bergegas masuk ke kamarnya. Wanita itu tampak kesal dengan dirinya sendiri karena bisa bisanya terpancing emosi."Sepertinya, a