"Maka apa, tante ..." Suara Yudha terdengar jelas. Kakinya melangkah masuk ke kamar Denisa dengan sorot matanya yang menghujam tajam memandang Hera yang masih terduduk di lantai.***Wajah Hera seketika pias saat melihat Yudha yang kini berdiri di hadapannya. Tatapan mata Yudha serasa ada begitu menusuk ke dalam manik matanya.Yudha tidak sendiri, di belakang berdiri Rahma yang juga ikut melempar pandangan padanya. Sesaat Hera merasa tubuhnya kaku, sulit untuk digerakkan.Suasana tegang kini mendominasi kamar itu. Terlihat Denisa mengusap kasar wajahnya, tak hanya Hera yang terkejut, namun dirinya juga tidak menyangka jika Yudha bisa berada di hadapannya.Apakah Yudha sudah mendengar semua yang mereka bicarakan? Pertanyaan itu kini menggantung di benak Hera. Perlahan ia berdiri dan dengan terbata-bata menyapa Yudha lebih dulu."Yudha. Apa ada sesuatu yang bisa tante lakukan hingga kau datang ke sini?" "Kalimat yang tadi ... aku ingin dengar lanjutan dari kalimatmu tadi, Tante.""Ka
Helaan nafas Yudha terdengar berat, sejenak ia memejamkan mata hingga akhirnya beranjak bangkit dan bergegas meninggalkan kamar Denisa, tanpa sempat dicegah oleh siapapun. ***"Mas!" Panggil Rahma saat melihat Yudha berlalu di hadapannya.Rahma pamit pada mereka berdua dan mengejar Yudha yang berjalan ke arah kamar. Suara langkah kakinya terdengar cepat, wanita itu berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai atas.Perlahan dibukanya pintu kamarnya, tampak di sana Yudha sedang duduk sambil mengusap wajahnya. Sejenak gerakannya terhenti ketika di lihat istrinya tengah berdiri di pintu."Mas!" Panggil Rahma sembari perlahan melangkah masuk ke kamar mereka."Kau baik-baik saja, mas?" Tanya Rahma lalu duduk di samping Yudha."Maaf, aku ... ""Tak perlu minta maaf, aku bisa mengerti, memang sulit untuk menerima kenyataannya. Tapi setidaknya kita tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi."Tangan Rahma mengelus lembut punggung Yudha, seakan ingin memberi nya semangat. Tak lama, Yudha meleta
"Menurutmu apakah Yudha akan memaafkan mama?" Tanya Hera sambil menatap nanar ke arah putrinya. Sungguh, rasa takut masih menggerogotinya.***Mobil yang di kemudikan Budi tampak berbelok masuk ke halaman rumah masa kecilnya. Rumah yang menyimpan banyak sekali kenangan tentang keluarganya, rumah yang kini di wariskan kepada Yudha dan menantunya, Rahma.Ekor matanya melirik ke teras rumah. Seperti biasa, rumah besar itu selalu terlihat sepi meski sebenarnya ada orang di dalamnya. Tak lama Budi keluar dari mobilnya dan berjalan menuju pintu masuk utama rumah besar itu.Seorang pelayan membukakan pintunya, segera saja Budi bergegas masuk dan berjalan cepat menuju ruang baca, setelah sebelumnya meminta seorang pelayan memberitahu tentang kedatangannya kepada Yudha.Terlihat tangannya yang menyentuh beberapa buku yang tersusun rapi di atas rak tersebut, hingga sepuluh menit kemudian, terdengar pintu ruangan itu berderit terbuka dan suara langkah kaki yang terdengar mendekat."Papa!" Sapa Yu
"Kau pasti yang memintanya datang ke sini, Iya kan?" Tuding Hera, membuat Denisa menggeleng."Sebaiknya, tante tanyakan saja pada papa. Apa yang membuatnya datang ke sini semalam?" Balas Rahma lalu dengan sopan pamit pergi meninggalkan mereka.***Jantung Hera berdebar dengan kencang saat melangkah menuju meja makan, meski Denisa sudah berkali-kali menyakinkan dirinya bahwa tak akan terjadi apapun. Namun tetap saja gelisah dan rasa cemas menjalar di sekujur tubuhnya.Pandangan mata Suryani yang menatapnya tanpa berkedip membuat Hera menggigit bibirnya. Andai bisa menghilang, Hera ingin pergi sejauh mungkin sekarang dari sini.Hanya tinggal beberapa langkah lagi, maka mereka berdua akan tiba di meja makan. Bertemu kembali dengan Budi, membuat rasa gugup Hera semakin menjadi. Wanita paruh baya itu berharap semoga tak ada masalah baru yang membelitnya meski sebenarnya ia masih berharap hubungannya dengan Budi bisa diperbaiki"Tenanglah ma, Om Budi orang yang bijaksana, aku yakin ia tidak
"Tunggu sebentar Hera, jika tidak keberatan, aku ingin bicara denganmu." Seketika pelipis Hera berdenyut mendengarnya. Sepertinya, hal yang sedari tadi ia takutkan, akan terjadi sebentar lagi.***"Kau baik-baik saja, mas?" Tanya Rahma sambil mengelus lembut punggung Yudha."Aku tak apa - apa.""Maaf, jika tadi aku bersikap tidak sopan, Rahma.""Tak apa, aku bisa mengerti. Menerima kenyataan ini memang terasa berat, namun setidaknya, semuanya sudah terungkap dan jelas sekarang." Rahma menyahut pelan."Entahlah, aku bingung. Kepalaku pusing. Di satu sisi aku menghormati Mbak Denisa yang selalu bersikap baik padaku, tapi di sisi lainnya, aku sangat marah pada Tante Hera," ungkap Yudha sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut."Apa yang harus kulakukan, Rahma? memaafkannya? mungkin aku bisa melakukannya tapi untuk melupakan semua kejahatannya? Entahlah, aku tak sebaik itu."Mendengarnya, Rahma mengulas senyum, lalu menatap wajah Yudha lebih dekat."Memaafkan seseorang yang
"Maaf, kali ini aku tak bisa membantumu, Hera. Apapun keputusan yang diambil oleh Yudha nanti, kuharap kau bisa lapang dada menerimanya." Budi memalingkan wajahnya lalu memutuskan untuk bertolak meninggalkan Hera yang masih memandangnya dengan tatapan nanar.***Derit pintu yang terdengar membuat Yudha menoleh, tampak di sana Rahma tengah melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Melihat istrinya yang tersenyum membuat suasana hati Yudha sedikit lebih baik."Kau sudah merasa lebih baik, mas?" Tanya Rahma.Yudha tidak menjawab, namun anggukan kepalanya sudah cukup bagi Rahma untuk mengetahui jika suaminya sudah dalam kondisi yang baik.Tangan Yudha menepuk pelan tepian ranjang, tempat yang di dudukinya saat ini. Lelaki itu meminta agar Rahma bisa duduk di sebelahnya."Aku bicara sebentar dengan Denisa tadi, katanya ia akan pulang ke Surabaya dengan penerbangan nanti siang," tutur Rahma menjelaskan."Papa?""Terakhir kulihat ia sedang bicara berdua dengan Tante Hera," jawab Rahma.Yudha hany
Selepas kepergian Yudha, kini hanya tinggal mereka berempat di sana. Setelah berbasa-basi sebentar dengan Denisa, Budi pun pamit pulang ke rumahnya. Lelaki berkacamata itu beralasan jika saat ini Miranda sedang dalam perjalanan ke rumahnya.Denisa mengajak Hera kembali ke kamar mereka, guna bersiap-siap. Jadwal cutinya yang telah habis, membuatnya harus bergegas untuk kembali ke Surabaya. Sedang Hera, wanita itu masih tampak bingung. Duduk terdiam di tepi ranjang sambil menatap nanar putrinya yang tengah menutup kopernya, hingga sebuah pertanyaan terakhir kembali di lontarkan Denisa kepadanya."Mama ikut aku kan ke Surabaya?""Mama ...""Apa Arga bisa menerima kedatangan Mama?" Tanya Hera ragu. Wanita itu tak yakin jika suami Denisa itu menyambut kedatangannya setelah semua perbuatannya dan kalimat-kalimat buruk penuh hinaan yang pernah dulu ia lontarkan pada menantunya itu."Mas Arga tidak seburuk yang mama bayangkan. Percayalah! Dia akan sangat senang menerima kedatangan Mama," uja
"Apa kau keberatan jika aku ingin bicara denganmu, Rahma?" Tanya Jesslyn begitu Denisa beranjak pergi dari sana.***Untuk beberapa saat, Rahma tertegun mendengarnya. Di pandanginya wajah Jesslyn dengan tatapan tanya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya tadi.Perlahan, Rahma menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Tentu saja tidak, Ada apa mbak? Apa ada hal yang penting?" balasnya bertanya."Aku ingin mintalah maaf." Jawab Jesslyn beberapa saat kemudian. Mendengarnya, dahi Rahma berkerut. "Maaf? tapi Untuk apa?" Balasnya."Untuk semua sikap burukku padamu.""Rasa cemburu membuatku ingin merebut Yudha darimu." Sejenak Jesslyn memalingkan wajahnya, mencoba menahan bulir air mata yang hendak keluar.Pengakuan Jesslyn membuat Rahma tersenyum getir. Dipandanginya kembali wajah Jesslyn yang terlihat memerah. Lalu meraih tangannya."Aku hargai keberanianmu untuk mengakui kesalahanmu padaku, Mbak. Namun sebenarnya, bukan hanya kau yang cemburu, tapi aku juga.""Selama a