"Sayang, ada umi dan Cintya di sini," bisik Bara. Aisya sudah tak mampu berucap. Dia begitu lemah. Nafasnya berat. Umi Khofsoh mendekat. Diletakkan tangannya di atas kening Aisya. Mulutnya merapal do'a, agar sang menantu cepat sembuh. "Sudah makan?" tanya Bara lembut. Dia memeriksa makanan yang diberikan dari pihak rumah sakit. Aisya hanya menggeleng. "Makan dulu, ya!" bujuk Bara. Lagi-lagi, Aisya menggeleng. Cintya memperhatikan Bara yang begitu lembut memperlakukan Aisya. Ada sedikit nyeri di hatinya, tapi ia segera menepisnya. Andai dia yang sakit, pasti Bara juga memperlakukan hal yang sama. KrietPintu kamar mandi terbuka. Seorang wanita paruh baya keluar, dengan wajah segar. Dari wajahnya, umi Khofsoh tahu, kalau itu ibunya Aisya. Terlihat dari garis wajahnya yang begitu mirip. "Oh, ada tamu? Maaf saya tidak dengar," ujarnya ramah. Lalu, menyalami Cintya dan umi Khofsoh. Mereka berdua menerima uluran tangan ibu Aisya, seraya tersenyum ramah. Ibu Aisya memandangi kedua t
Dua malam dirawat, kondisi Aisya mulai membaik. Dua hari itu pula, Bara tak pulang sama sekali. Waktunya ia habiskan untuk menemani Aisya, bergantian dengan ibu mertuanya. Aisya juga sudah mulai mau makan, meski hanya sedikit. Setidaknya ada asupan tenaga yang masuk. "Umi, apa dulu pernah berniat cerai dari abah?" tanya Cintya, saat mereka tengah membersihkan taman. Cintya memangkas tangkai bunga yang layu. Sementara umi Khofsoh mencabut rumput liar.Mendengar pertanyaan menantunya, umi Khofsoh menghentikan aktifitasnya. Dia menatap lekat Cintya. Dia lantas membersihkan tangan, lalu duduk di ayunan. Cintya juga menghampiri umi. Dia mengusap peluh yang menetes di dahi, dengan punggung tangan. "Apa sudah menyerah, Nduk?" Umi Khofsoh justru balik bertanya. Cintya menunduk dalam. Jemari tangannya bertaut satu sama lain. Entah kenapa, dia justru deg-degan. "Umi dulu mengetahui abah menikah lagi, saat Bara sudah dalam kandungan. Belum lama dari kelahiran Bara, abah sudah meninggal. All
Bara berjalan ke teras. Dihempaskan bokongnya di kursi kayu, sambil terus menatap pintu gerbang. Berharap, sang istri segera datang. Berkali-kali ia mengembuskan nafas gusar, karena Cintya tak kunjung datang. Lebih dari lima belas menit menunggu, Bara memutuskan ke dalam. Tepat saat dia berdiri, mobil Cintya memasuki halaman. Bukannya senang, Bara justru semakin kesal. "Jam berapa ini?" bentak Bara saat Cintya baru saja memijakkan kaki di halaman. "Kapan datang, Mas?" "Aku tanya, sekarang jam berapa?" tanya Bara penuh penekanan. Cintya lantas mengambil ponsel yang ia masukkan dalam tas kecil. Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul sepuluh malam lewat lima belas menit. "Sudah tahu kan, ini jam berapa? Kenapa baru pulang?" Bara menatap tak suka. "Aku habis dari pesta temanku, Mas. Kamu jangan berlebihan!" Cintya malas berdebat. Dia juga lelah. "Sampai selarut ini?" Bara masih belum puas. Dia terus mencerca pertanyaan kepada istrinya. Bip bipCintya mematikan alarm dari remot
"Kamu ke kampus jam berapa?" tanya Bara, sambil mengeringkan rambut yang basah dengan handuk. "Jam sepuluhan." "Oh." Cintya melirik Bara sekilas. Wajahnya tampak lebih segar daripada kemarin. "Mau ke rumah sakit, lagi?" "Iya. Mungkin nanti sore sudah dibolehkan pulang," ujarnya sambil meletakkan handuk di sandaran kursi. "Apa Kamu buru-buru?" tanya Cintya ragu. "Kenapa?" Cintya diam sejenak. Dia ragu, untuk melanjutkan obrolannya. "Ah tidak, kapan-kapan saja kita bicarakan!" ujar Cintya sambil berlalu. Tak dinyana, Bara mencekal lengannya. Ditatapnya manik mata Cintya. Cintya reflek mengalihkan pandangan, karena dia tak sanggup harus bertatapan dengan Bara. "Ada apa? Bicaralah!" Bara mendudukkan Cintya di tepi ranjang. "Pergilah! Mungkin Aisya sudah menunggumu!" Cintya seolah menghindar. Bara menggeleng. Dia memaksa Cintya untuk bicara. "Aisya lebih membutuhkanmu, daripada aku," ujar Cintya dengan seulas senyum yang dipaksa. Bara menggenggam tangan Cintya
"Cintya!" Suara Bara memenuhi semua penjuru rumahnya. Namun, Cintya tak peduli. Dia terus melenggang, meninggalkan Bara yang sedang kesal. Umi Khofsoh dan mbah Yah, yang sedang di dapur, sontak menoleh, mendengar keributan dari atas. Namun, mbah Yah berpura-pura tak mendengar. Dia tetap melanjutkan aktivitasnya. Begitupun dengan umi. Sebisa mungkin dia terlihat tenang, di hadapan mbah Yah, padahal hatinya sedang bergemuruh hebat.Bara mengejar Cintya yang terus berjalan keluar. Emosinya semakin membuncah, karena Cintya mengabaikannya."Mau ke mana?" Cintya tetap tak menjawab."Lepas!" Cintya berontak, saat Bara mencekal tangannya. Semakin dia berontak, Bara semakin erat mencengkeram tangannya. "Kamu tidak boleh keluar rumah, tanpa seizinku!" Bara menatap tajam Cintya. Cintya memutar bola mata malas. "Aku suamimu. Berhak melarang!" ujar Bara jumawa."Baiklah. Aku izin keluar!" sahutnya malas. Bara menggeleng, tanda tak mengizinkan istrinya pergi. "Aku sudah izin, tapi Kamu yang
Beberapa hari, Bara tak pulang ke rumah. Sudah dipastikan, dia pulang ke rumah Aisya. Selama itu pula, Bara tak memberikan kabar sama sekali. "Umi jadi mau menginap di vila?" tanya Cintya sore itu. "Enggak nunggu Bara?"Cintya tersenyum miris. "Dia sedang sibuk dengan Aisya, Mi. Kita ke sana berdua saja," usul Cintya. Umi Khofsoh ragu. Dia termenung agak lama. "Kalau enggak bisa, enggak apa-apa, kok, Mi," ujar Cintya dengan nada kecewa. Dia sudah tak sabar untuk menemui pak Udin. Dia ingin mengetahui semua tentang Aisya. Umi Khofsoh menangkap kekecewaan dalam wajah anak menantunya. Dia merasa tidak enak. Dulu, dia yang memintanya diajak ke vila. Namun, saat kesempatan itu datang, justru dia tolak. "Umi siap-siap dulu, ya. Apa saja yang mau dibawa?" tanya umi Khofsoh semangat. Dia tak tega mematahkan hati Cintya. Selama ini, Cintya tak pernah mengecewakannya. Senyum Cintya langsung merekah. Terpancar jelas, binar bahagia dari wajahnya. "Beneran, Mi?" Cintya memastikan. Umi Kh
"Pak Udin tidak bisa mengelak lagi." Cintya berkata serius. Tanpa diminta, pak Udin justru memulai pembicaraan tentang Aisya. Padahal, dia sedang menyiapkan siasat, agar pak Udin mau cerita. Sekarang Cintya tak perlu bersusah payah memancing pak Udin. "Saya ambilkan gula dulu, Bu. Tadi belum ada gulanya," kilahnya mencoba menghindar."Enggak usah, Pak. Rasanya lebih enak kalau tanpa gula."Cras!Tangan pak Udin tergores parang, saat dia membelah durian. Darah segar mengalir dari luka, yang sepertinya cukup dalam."Ya Allah," pekik umi Khofsoh, saat melihat darah yang keluar cukup banyak. "Bapak lebih rela melukai tangan, daripada harus jujur sama saya," cibir Cintya, karena dia tahu, pak Udin hanya mengulur waktu. "Saya bersihkan luka dulu!" Pak Udin mencoba pergi. "Ada kran di situ, Pak. Bersihkan di situ saja. Saya juga belum selesai bicara," tegas Cintya. Dia merasa kesal, karena pak Udin selalu menghindar, saat ditanya tentang Aisya. "Ada kotak obat juga, di dalam mobil."Pak
Cintya memandang semburat jingga, yang tampak indah sore ini. Deburan ombak yang tak terlalu besar, menambah cantik pantai Malene di sore hari. "Waktu itu, saya menanyakan pekerjaan untuk Aisya. Dia sedang mencari tambahan, karena ibunya sedang sakit. Saya juga bilang, kalau yang mencari kerja perempuan yatim. Saya minta izin agar Aisya ikut kerja di sini dan bapak mengiyakan." Pak Udin bercerita panjang lebar. Cintya memejamkan mata sejenak. Dia kembali menguatkan hati, mendengar cerita pak Udin selanjutnya. "Lalu?" "Kurang lebih sebulan, Aisya ikut kerja membersihkan vila ini. Pak Bara juga memintanya untuk berjualan makanan, saat vila sedang ramai." Dada Cintya naik turun, menahan emosi. "Kenapa enggak bilang ke saya?" "Karena waktu itu, ibu jarang ke sini," ujar pak Udin takut-takut. Dulu, Cintya memang jarang ke vila, karena kesibukannya. Waktunya terkuras habis. Ditambah, Bara juga sedang sibuk mengurus proyek sampai luar kota. Sehingga ia menghabiskan liburannya han
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.