Dua malam dirawat, kondisi Aisya mulai membaik. Dua hari itu pula, Bara tak pulang sama sekali. Waktunya ia habiskan untuk menemani Aisya, bergantian dengan ibu mertuanya. Aisya juga sudah mulai mau makan, meski hanya sedikit. Setidaknya ada asupan tenaga yang masuk. "Umi, apa dulu pernah berniat cerai dari abah?" tanya Cintya, saat mereka tengah membersihkan taman. Cintya memangkas tangkai bunga yang layu. Sementara umi Khofsoh mencabut rumput liar.Mendengar pertanyaan menantunya, umi Khofsoh menghentikan aktifitasnya. Dia menatap lekat Cintya. Dia lantas membersihkan tangan, lalu duduk di ayunan. Cintya juga menghampiri umi. Dia mengusap peluh yang menetes di dahi, dengan punggung tangan. "Apa sudah menyerah, Nduk?" Umi Khofsoh justru balik bertanya. Cintya menunduk dalam. Jemari tangannya bertaut satu sama lain. Entah kenapa, dia justru deg-degan. "Umi dulu mengetahui abah menikah lagi, saat Bara sudah dalam kandungan. Belum lama dari kelahiran Bara, abah sudah meninggal. All
Bara berjalan ke teras. Dihempaskan bokongnya di kursi kayu, sambil terus menatap pintu gerbang. Berharap, sang istri segera datang. Berkali-kali ia mengembuskan nafas gusar, karena Cintya tak kunjung datang. Lebih dari lima belas menit menunggu, Bara memutuskan ke dalam. Tepat saat dia berdiri, mobil Cintya memasuki halaman. Bukannya senang, Bara justru semakin kesal. "Jam berapa ini?" bentak Bara saat Cintya baru saja memijakkan kaki di halaman. "Kapan datang, Mas?" "Aku tanya, sekarang jam berapa?" tanya Bara penuh penekanan. Cintya lantas mengambil ponsel yang ia masukkan dalam tas kecil. Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul sepuluh malam lewat lima belas menit. "Sudah tahu kan, ini jam berapa? Kenapa baru pulang?" Bara menatap tak suka. "Aku habis dari pesta temanku, Mas. Kamu jangan berlebihan!" Cintya malas berdebat. Dia juga lelah. "Sampai selarut ini?" Bara masih belum puas. Dia terus mencerca pertanyaan kepada istrinya. Bip bipCintya mematikan alarm dari remot
"Kamu ke kampus jam berapa?" tanya Bara, sambil mengeringkan rambut yang basah dengan handuk. "Jam sepuluhan." "Oh." Cintya melirik Bara sekilas. Wajahnya tampak lebih segar daripada kemarin. "Mau ke rumah sakit, lagi?" "Iya. Mungkin nanti sore sudah dibolehkan pulang," ujarnya sambil meletakkan handuk di sandaran kursi. "Apa Kamu buru-buru?" tanya Cintya ragu. "Kenapa?" Cintya diam sejenak. Dia ragu, untuk melanjutkan obrolannya. "Ah tidak, kapan-kapan saja kita bicarakan!" ujar Cintya sambil berlalu. Tak dinyana, Bara mencekal lengannya. Ditatapnya manik mata Cintya. Cintya reflek mengalihkan pandangan, karena dia tak sanggup harus bertatapan dengan Bara. "Ada apa? Bicaralah!" Bara mendudukkan Cintya di tepi ranjang. "Pergilah! Mungkin Aisya sudah menunggumu!" Cintya seolah menghindar. Bara menggeleng. Dia memaksa Cintya untuk bicara. "Aisya lebih membutuhkanmu, daripada aku," ujar Cintya dengan seulas senyum yang dipaksa. Bara menggenggam tangan Cintya
"Cintya!" Suara Bara memenuhi semua penjuru rumahnya. Namun, Cintya tak peduli. Dia terus melenggang, meninggalkan Bara yang sedang kesal. Umi Khofsoh dan mbah Yah, yang sedang di dapur, sontak menoleh, mendengar keributan dari atas. Namun, mbah Yah berpura-pura tak mendengar. Dia tetap melanjutkan aktivitasnya. Begitupun dengan umi. Sebisa mungkin dia terlihat tenang, di hadapan mbah Yah, padahal hatinya sedang bergemuruh hebat.Bara mengejar Cintya yang terus berjalan keluar. Emosinya semakin membuncah, karena Cintya mengabaikannya."Mau ke mana?" Cintya tetap tak menjawab."Lepas!" Cintya berontak, saat Bara mencekal tangannya. Semakin dia berontak, Bara semakin erat mencengkeram tangannya. "Kamu tidak boleh keluar rumah, tanpa seizinku!" Bara menatap tajam Cintya. Cintya memutar bola mata malas. "Aku suamimu. Berhak melarang!" ujar Bara jumawa."Baiklah. Aku izin keluar!" sahutnya malas. Bara menggeleng, tanda tak mengizinkan istrinya pergi. "Aku sudah izin, tapi Kamu yang
Beberapa hari, Bara tak pulang ke rumah. Sudah dipastikan, dia pulang ke rumah Aisya. Selama itu pula, Bara tak memberikan kabar sama sekali. "Umi jadi mau menginap di vila?" tanya Cintya sore itu. "Enggak nunggu Bara?"Cintya tersenyum miris. "Dia sedang sibuk dengan Aisya, Mi. Kita ke sana berdua saja," usul Cintya. Umi Khofsoh ragu. Dia termenung agak lama. "Kalau enggak bisa, enggak apa-apa, kok, Mi," ujar Cintya dengan nada kecewa. Dia sudah tak sabar untuk menemui pak Udin. Dia ingin mengetahui semua tentang Aisya. Umi Khofsoh menangkap kekecewaan dalam wajah anak menantunya. Dia merasa tidak enak. Dulu, dia yang memintanya diajak ke vila. Namun, saat kesempatan itu datang, justru dia tolak. "Umi siap-siap dulu, ya. Apa saja yang mau dibawa?" tanya umi Khofsoh semangat. Dia tak tega mematahkan hati Cintya. Selama ini, Cintya tak pernah mengecewakannya. Senyum Cintya langsung merekah. Terpancar jelas, binar bahagia dari wajahnya. "Beneran, Mi?" Cintya memastikan. Umi Kh
"Pak Udin tidak bisa mengelak lagi." Cintya berkata serius. Tanpa diminta, pak Udin justru memulai pembicaraan tentang Aisya. Padahal, dia sedang menyiapkan siasat, agar pak Udin mau cerita. Sekarang Cintya tak perlu bersusah payah memancing pak Udin. "Saya ambilkan gula dulu, Bu. Tadi belum ada gulanya," kilahnya mencoba menghindar."Enggak usah, Pak. Rasanya lebih enak kalau tanpa gula."Cras!Tangan pak Udin tergores parang, saat dia membelah durian. Darah segar mengalir dari luka, yang sepertinya cukup dalam."Ya Allah," pekik umi Khofsoh, saat melihat darah yang keluar cukup banyak. "Bapak lebih rela melukai tangan, daripada harus jujur sama saya," cibir Cintya, karena dia tahu, pak Udin hanya mengulur waktu. "Saya bersihkan luka dulu!" Pak Udin mencoba pergi. "Ada kran di situ, Pak. Bersihkan di situ saja. Saya juga belum selesai bicara," tegas Cintya. Dia merasa kesal, karena pak Udin selalu menghindar, saat ditanya tentang Aisya. "Ada kotak obat juga, di dalam mobil."Pak
Cintya memandang semburat jingga, yang tampak indah sore ini. Deburan ombak yang tak terlalu besar, menambah cantik pantai Malene di sore hari. "Waktu itu, saya menanyakan pekerjaan untuk Aisya. Dia sedang mencari tambahan, karena ibunya sedang sakit. Saya juga bilang, kalau yang mencari kerja perempuan yatim. Saya minta izin agar Aisya ikut kerja di sini dan bapak mengiyakan." Pak Udin bercerita panjang lebar. Cintya memejamkan mata sejenak. Dia kembali menguatkan hati, mendengar cerita pak Udin selanjutnya. "Lalu?" "Kurang lebih sebulan, Aisya ikut kerja membersihkan vila ini. Pak Bara juga memintanya untuk berjualan makanan, saat vila sedang ramai." Dada Cintya naik turun, menahan emosi. "Kenapa enggak bilang ke saya?" "Karena waktu itu, ibu jarang ke sini," ujar pak Udin takut-takut. Dulu, Cintya memang jarang ke vila, karena kesibukannya. Waktunya terkuras habis. Ditambah, Bara juga sedang sibuk mengurus proyek sampai luar kota. Sehingga ia menghabiskan liburannya han
Matahari mulai kembali ke peraduannya. Langitpun berubah menjadi gelap. Nan jauh di sana, lautan juga mulai tak kelihatan. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari masjid di kampung sebelah. Cintya lantas mengajak umi masuk. "Kita sholat berjama'ah, Nduk!" ajak umi Khofsoh, agar hati Cintya menjadi tenang. Mereka berdua bergantian mengambil air wudhu. Setelah itu, Cintya menggelar dua sajadah. Umi yang bertindak sebagai imam. "Umi mau makan apa?" tanya Cintya sambil melipat mukena. "Terserah Kamu saja!" Cintya lantas mengambil ponselnya. Dia lupa, ternyata dari tadi ponselnya mati. Itu karena dia merasa kesal kepada Bara, karena tak memberinya kabar. "Lupa kalau tadi ponselku mati, Mi," ujar Cintya sambil menunggu layar benda pipihnya menyala. Umi berjalan ke teras. Dia memperhatikan sekeliling, yang tampak sunyi. Hanya deburan ombak yang terdengar. Suasana sungguh syahdu. Cocok sekali, bagi orang yang ingin meninggalkan hiruk pikuk kota. Dalam hati, ia kagum pada Cintya dan Bara