Halo, terima kasih sudah mengikuti ceritanya! Berkat kalian, Ariana dan Nick dapat hadiah 800 koin, untuk dibagikan kepada 8 orang pembaca setia. Silakan tulis USER ID kalian (8 digit angka yang ada di profil) di kolom komentar untuk pengiriman koinnya. Terima kasih dan salam hangat!
Nicholas akhirnya menarik diri. “Penggemar ya?” katanya sembari jemarinya menelusuri bibir Ariana, seolah sedang membersihkan jejak ciuman panas mereka barusan. “Tapi sekarang... semua fantasimu tentangku sudah jadi kenyataan, kan?” katanya lagi dengan godaan yang sensual, suaranya semakin dalam. "Or maybe... there's still something filthy we haven't tried yet?" lanjut Nicholas dengan nada rendahnya. Mengartikan ucapan Nicholas, wajah Ariana langsung memerah dan segera menepis tangan Nicholas yang menari-nari di bibirnya. Dia mengambil sendok lagi dan kembali menyuapkan es krim ke mulutnya, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang tak bisa dia tahan.Nicholas berdiri di sampingnya, menatap Ariana dengan penuh perhatian. “Apa kau akan tetap duduk di sini menghabiskan es krim-mu?” tanyanya sambil melirik cangkir es krim Ariana yang hampir habis.Ariana melirik gelas es krim Nicholas yang mulai mencair. “Dan kau, tidak menghabiskan es krim-mu?” tanyanya balik.Nicholas tersenyum nakal
Ariana memandang dirinya di depan cermin, jemarinya lembut menyusuri gaun rancangan desainer kenamaan, kainnya meluncur sempurna di tubuh hamilnya. Setiap jahitan gaun itu seolah didesain untuk memancarkan kecantikan dan kemewahannya. Tiba-tiba, lengan Nicholas melingkari pinggangnya dari belakang, erat, penuh dengan rasa kepemilikan. “Mengapa kau begitu cantik?” bisik Nicholas di telinganya, suaranya rendah dan penuh intensitas. “Aku ingin menyimpanmu untuk diriku sendiri.” Ariana tersenyum, melihat pantulan mata tajam suaminya di cermin. “Kau memujiku begitu agar aku tidak lama berdandan, ya?” Nicholas terkekeh pelan, tangannya tak lepas dari pinggang Ariana. “Iya. Aku tidak suka menunggu.” “Dasar,” balas Ariana. Mereka keluar kamar bersama, di depan mobil, Jhon sudah berdiri tegap menunggu. Pintu mobil hitam mengkilat itu terbuka, dan mereka masuk dengan tenang. Saat mobil melaju, Ariana duduk diam di samping Nicholas. Ada pertanyaan yang terus berputar di kepalanya, tak ku
Nicholas keluar dari mobil hitamnya dengan cepat, mendekap tubuh Ariana yang terkulai lemah. Di depan pintu IGD, tim medis sudah siap dengan tandu dan peralatan lengkap—sebuah persiapan yang tak terlepas dari pemberitahuan Daniel. Dia memastikan rumah sakit itu sudah siap menyambut kedatangan tuannya.Di dalam ruangan IGD, berbagai spesialis telah menunggu: dokter spesialis bedah, spesialis kandungan, hingga spesialis anestesi, semuanya sudah siap.Lampu-lampu ruang gawat darurat memantul di wajah Nicholas yang tegang. Wajahnya yang biasanya tenang dan penuh kendali kini dipenuhi kecemasan yang sulit disembunyikan. Ketakutan menyelimuti tatapannya, namun dia berusaha tetap kokoh. Dua perawat sigap mengambil alih Ariana, memindahkannya ke tandu dengan gerakan terlatih. Tanpa membuang waktu, mereka membawa Ariana ke dalam ruangan yang telah dipenuhi alat-alat monitor, di mana para spesialis sudah siap.Dokter Radit, seorang ahli bedah vaskular, segera mendekati Ariana. Di sebelahnya, do
Nicholas melepaskan genggaman tangan Ariana dengan lembut dan berdiri. Matanya menatap ayahnya dengan dingin, seolah-olah kehadiran Richard hanyalah gangguan yang tak diinginkan.“Aku tahu tujuan Papi datang ke sini,” ucap Nicholas. Richard mengerutkan kening, membuka mulut untuk membalas, tapi Nicholas tak memberi kesempatan. Dia melangkah maju, mendekati ayahnya. “Pergilah, Pih. Istriku butuh ketenangan, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun—termasuk Papi—mengganggu istirahatnya.”Richard tersentak. Amarah mulai tampak di matanya, rahangnya mengeras. “Kau berani mengusirku?” suaranya nyaris berbisik namun mengandung ancaman.Nicholas, dengan tenang menjawab singkat. “Iya.”Richard berdiri mematung. Rasa marah yang membara di dadanya hampir tak terbendung, namun gengsinya lebih besar. Perlahan dia menegakkan tubuhnya, mencoba mempertahankan martabat yang tersisa. “Kita belum selesai, Nicholas,” katanya menahan amarah.Nicholas tetap diam, tidak bergerak sedikit pun ketika ayahnya
"Apakah ada instruksi lain?" tanya August.Nicholas menatap Ariana yang masih terbaring di ranjang dengan napas pelan. "Jangan sampai ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.""Saya akan pastikan," jawab August sebelum panggilan berakhir.Nicholas menurunkan ponselnya, tatapannya kembali tertuju pada Ariana. Dia berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang, dan menghela napas panjang. Dalam ruangan yang hening itu, hanya suara mesin monitor yang memecah keheningan. Tatapannya tidak beranjak dari wajah Ariana yang pucat. Tangannya yang besar dan kuat menyentuh lembut tangan Ariana, menggenggamnya seolah takut kehilangannya.“Kau tidak boleh pergi dariku,” gumamnya pelan.Waktu seolah melambat di dalam kamar itu. Matanya yang lelah mulai terasa berat, dan tanpa sadar, Nicholas tertidur di kursi di samping Ariana, masih memegang erat tangannya.Keesokan paginya, sinar matahari yang hangat menyelinap melalui tirai jendela, mengisi kamar dengan cahaya lembut. Nicholas terbangun, tubuhnya ter
Nicholas keluar dari ruang rapat dengan langkah yang tampak tenang meski di dalam dirinya perasaan frustrasi. Setiap detik yang dia habiskan di kantor pusat terasa seperti pengkhianatan terhadap istrinya. Namun, dia tidak punya pilihan. Ada perusahaan yang harus dipimpin, dan hari ini, ayahnya menekannya sampai batas yang sulit ditoleransi.Begitu pintu lift tertutup, Nicholas menekan tombol menuju lantai kantornya dengan sedikit lebih keras dari yang diperlukan. Di dalam lift yang sunyi, dia mendongak ke atas, menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ruang rapat masih terbayang jelas di benaknya—tatapan dingin Richard, kata-kata licin yang penuh agenda tersembunyi, dan dewan yang tak henti-hentinya mengamati setiap gerakannya.Saat lift berbunyi dan pintunya terbuka, Nicholas melangkah keluar. Clarissa yang menyusul dari lift sebelah segera mendekat dengan laporan rapat yang baru saja selesai. Dia berbicara, tapi Nicholas hanya menangkap separuh dari ucapannya. "Pak Nic
Sementara itu, di sudut lain kota, Richard duduk di belakang meja kerjanya, memandang jendela besar yang menampikan kegelapan yang dihiasi cahaya lampu gedung gedung pencakar langit tetangga. Dia tidak pernah menyangka akan tiba saat di mana dia harus memikirkan kemungkinan anaknya sendiri menjadi ancaman. Namun, semakin hari, semakin jelas bahwa Nicholas bukan lagi anak patuh yang mengikuti setiap jejaknya dan kakeknya. Pintu ruangannya terbuka setelah terdengar suara ketukan. Seorang pria bertubuh tinggi, berpakaian formal yang rapi, melangkah masuk. Wajahnya kaku, tanpa ekspresi, seperti sudah terbiasa membawa kabar buruk. Namanya, Roy, orang kepercayaan Richard selama bertahun-tahun. Tangan kanannya terulur, menyerahkan sebuah berkas tipis. Richard mengambilnya tanpa melihat, hanya sekilas mengangguk sebagai tanda agar Roy berbicara."Seperti yang Anda minta, Tuan," suara Roy terdengar datar. Richard tidak segera membuka berkas itu. Dia meletakkannya di meja, pandangannya teta
Rachel duduk nyaman di sofa, matanya terpaku pada layar berukuran besar hampir menutupi dinding, menayangkan drama Korea yang sedang memuncak konfliknya. . Dia tersenyum kecil dan sesekali tertawa, larut dalam alur cerita yang penuh emosi. "Linda, aku tidak percaya dia benar-benar meninggalkan pria itu! Aduh, tidakkah lebih baik dengan Ki Yong, menurutku dia lebih tampan. Kau setuju, kan?" ucap Rachel dengan antusias berbicara dengan ponselnya.Namun, suasana santai itu segera berubah ketika Richard, baru saja pulang, melangkah masuk ke ruang keluarga. Wajahnya terlihat tegang, garis-garis kelelahan menghiasi dahinya. Jasnya sedikit berantakan, dan dasinya longgar, seolah sudah melewati hari yang sangat berat. Dia langsung menuju ke sofa, menghampiri Rachel yang masih asyik dengan ponselnya."Rachel, kita perlu bicara," kata Richard dengan nada datar tapi serius, berdiri di belakang sofa.Rachel, tanpa menoleh, hanya melambaikan tangan seolah meminta waktu. "Nanti, Sayang, aku sedang