Ariana memandang dirinya di depan cermin, jemarinya lembut menyusuri gaun rancangan desainer kenamaan, kainnya meluncur sempurna di tubuh hamilnya. Setiap jahitan gaun itu seolah didesain untuk memancarkan kecantikan dan kemewahannya. Tiba-tiba, lengan Nicholas melingkari pinggangnya dari belakang, erat, penuh dengan rasa kepemilikan. “Mengapa kau begitu cantik?” bisik Nicholas di telinganya, suaranya rendah dan penuh intensitas. “Aku ingin menyimpanmu untuk diriku sendiri.” Ariana tersenyum, melihat pantulan mata tajam suaminya di cermin. “Kau memujiku begitu agar aku tidak lama berdandan, ya?” Nicholas terkekeh pelan, tangannya tak lepas dari pinggang Ariana. “Iya. Aku tidak suka menunggu.” “Dasar,” balas Ariana. Mereka keluar kamar bersama, di depan mobil, Jhon sudah berdiri tegap menunggu. Pintu mobil hitam mengkilat itu terbuka, dan mereka masuk dengan tenang. Saat mobil melaju, Ariana duduk diam di samping Nicholas. Ada pertanyaan yang terus berputar di kepalanya, tak ku
Nicholas keluar dari mobil hitamnya dengan cepat, mendekap tubuh Ariana yang terkulai lemah. Di depan pintu IGD, tim medis sudah siap dengan tandu dan peralatan lengkap—sebuah persiapan yang tak terlepas dari pemberitahuan Daniel. Dia memastikan rumah sakit itu sudah siap menyambut kedatangan tuannya.Di dalam ruangan IGD, berbagai spesialis telah menunggu: dokter spesialis bedah, spesialis kandungan, hingga spesialis anestesi, semuanya sudah siap.Lampu-lampu ruang gawat darurat memantul di wajah Nicholas yang tegang. Wajahnya yang biasanya tenang dan penuh kendali kini dipenuhi kecemasan yang sulit disembunyikan. Ketakutan menyelimuti tatapannya, namun dia berusaha tetap kokoh. Dua perawat sigap mengambil alih Ariana, memindahkannya ke tandu dengan gerakan terlatih. Tanpa membuang waktu, mereka membawa Ariana ke dalam ruangan yang telah dipenuhi alat-alat monitor, di mana para spesialis sudah siap.Dokter Radit, seorang ahli bedah vaskular, segera mendekati Ariana. Di sebelahnya, do
Nicholas melepaskan genggaman tangan Ariana dengan lembut dan berdiri. Matanya menatap ayahnya dengan dingin, seolah-olah kehadiran Richard hanyalah gangguan yang tak diinginkan.“Aku tahu tujuan Papi datang ke sini,” ucap Nicholas. Richard mengerutkan kening, membuka mulut untuk membalas, tapi Nicholas tak memberi kesempatan. Dia melangkah maju, mendekati ayahnya. “Pergilah, Pih. Istriku butuh ketenangan, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun—termasuk Papi—mengganggu istirahatnya.”Richard tersentak. Amarah mulai tampak di matanya, rahangnya mengeras. “Kau berani mengusirku?” suaranya nyaris berbisik namun mengandung ancaman.Nicholas, dengan tenang menjawab singkat. “Iya.”Richard berdiri mematung. Rasa marah yang membara di dadanya hampir tak terbendung, namun gengsinya lebih besar. Perlahan dia menegakkan tubuhnya, mencoba mempertahankan martabat yang tersisa. “Kita belum selesai, Nicholas,” katanya menahan amarah.Nicholas tetap diam, tidak bergerak sedikit pun ketika ayahnya
"Apakah ada instruksi lain?" tanya August.Nicholas menatap Ariana yang masih terbaring di ranjang dengan napas pelan. "Jangan sampai ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.""Saya akan pastikan," jawab August sebelum panggilan berakhir.Nicholas menurunkan ponselnya, tatapannya kembali tertuju pada Ariana. Dia berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang, dan menghela napas panjang. Dalam ruangan yang hening itu, hanya suara mesin monitor yang memecah keheningan. Tatapannya tidak beranjak dari wajah Ariana yang pucat. Tangannya yang besar dan kuat menyentuh lembut tangan Ariana, menggenggamnya seolah takut kehilangannya.“Kau tidak boleh pergi dariku,” gumamnya pelan.Waktu seolah melambat di dalam kamar itu. Matanya yang lelah mulai terasa berat, dan tanpa sadar, Nicholas tertidur di kursi di samping Ariana, masih memegang erat tangannya.Keesokan paginya, sinar matahari yang hangat menyelinap melalui tirai jendela, mengisi kamar dengan cahaya lembut. Nicholas terbangun, tubuhnya ter
Nicholas keluar dari ruang rapat dengan langkah yang tampak tenang meski di dalam dirinya perasaan frustrasi. Setiap detik yang dia habiskan di kantor pusat terasa seperti pengkhianatan terhadap istrinya. Namun, dia tidak punya pilihan. Ada perusahaan yang harus dipimpin, dan hari ini, ayahnya menekannya sampai batas yang sulit ditoleransi.Begitu pintu lift tertutup, Nicholas menekan tombol menuju lantai kantornya dengan sedikit lebih keras dari yang diperlukan. Di dalam lift yang sunyi, dia mendongak ke atas, menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ruang rapat masih terbayang jelas di benaknya—tatapan dingin Richard, kata-kata licin yang penuh agenda tersembunyi, dan dewan yang tak henti-hentinya mengamati setiap gerakannya.Saat lift berbunyi dan pintunya terbuka, Nicholas melangkah keluar. Clarissa yang menyusul dari lift sebelah segera mendekat dengan laporan rapat yang baru saja selesai. Dia berbicara, tapi Nicholas hanya menangkap separuh dari ucapannya. "Pak Nic
Sementara itu, di sudut lain kota, Richard duduk di belakang meja kerjanya, memandang jendela besar yang menampikan kegelapan yang dihiasi cahaya lampu gedung gedung pencakar langit tetangga. Dia tidak pernah menyangka akan tiba saat di mana dia harus memikirkan kemungkinan anaknya sendiri menjadi ancaman. Namun, semakin hari, semakin jelas bahwa Nicholas bukan lagi anak patuh yang mengikuti setiap jejaknya dan kakeknya. Pintu ruangannya terbuka setelah terdengar suara ketukan. Seorang pria bertubuh tinggi, berpakaian formal yang rapi, melangkah masuk. Wajahnya kaku, tanpa ekspresi, seperti sudah terbiasa membawa kabar buruk. Namanya, Roy, orang kepercayaan Richard selama bertahun-tahun. Tangan kanannya terulur, menyerahkan sebuah berkas tipis. Richard mengambilnya tanpa melihat, hanya sekilas mengangguk sebagai tanda agar Roy berbicara."Seperti yang Anda minta, Tuan," suara Roy terdengar datar. Richard tidak segera membuka berkas itu. Dia meletakkannya di meja, pandangannya teta
Rachel duduk nyaman di sofa, matanya terpaku pada layar berukuran besar hampir menutupi dinding, menayangkan drama Korea yang sedang memuncak konfliknya. . Dia tersenyum kecil dan sesekali tertawa, larut dalam alur cerita yang penuh emosi. "Linda, aku tidak percaya dia benar-benar meninggalkan pria itu! Aduh, tidakkah lebih baik dengan Ki Yong, menurutku dia lebih tampan. Kau setuju, kan?" ucap Rachel dengan antusias berbicara dengan ponselnya.Namun, suasana santai itu segera berubah ketika Richard, baru saja pulang, melangkah masuk ke ruang keluarga. Wajahnya terlihat tegang, garis-garis kelelahan menghiasi dahinya. Jasnya sedikit berantakan, dan dasinya longgar, seolah sudah melewati hari yang sangat berat. Dia langsung menuju ke sofa, menghampiri Rachel yang masih asyik dengan ponselnya."Rachel, kita perlu bicara," kata Richard dengan nada datar tapi serius, berdiri di belakang sofa.Rachel, tanpa menoleh, hanya melambaikan tangan seolah meminta waktu. "Nanti, Sayang, aku sedang
Dua minggu kemudian, dokter akhirnya memberikan kabar baik—kondisi Ariana telah stabil, dan janinnya masih bisa dipantau dari rumah. Di perjalanan pulang, mobil bergerak perlahan, memberikan waktu bagi Ariana untuk memandang keluar jendela, mengingat kembali Nicholas yang tidak lepas dari laptop tetap bersamanya dalam dua minggu terakhir. Di dalam mobil mewah yang bergerak perlahan di jalan kota, Nicholas duduk di samping Ariana. Pemandangan luar begitu tenang. Jalan-jalan kota yang penuh dengan hiruk pikuk, pepohonan yang bergerak seiring angin sore.Nicholas, yang baru selesai membalas pesan di ponselnya segera menyandarkan dirinya lebih dekat dan berbisik lembut di telinga Ariana, "Apakah pemandangan di luar lebih menarik daripada suamimu?" suaranya terdengar dalam. Matanya tak lepas dari wajah Ariana yang menatap keluar jendela.Ariana tersenyum tipis, masih memandang ke luar, seolah tak terpengaruh oleh bisikan Nicholas. “Iya,” jawabnya singkat, sengaja membuat pria itu penasar
“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem
Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana
Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat
“Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena