Ariana duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong menatap jalan yang berkelok-kelok menuju rumah tahanan. Daniel, duduk di balik kemudi, wajahnya kaku, tenang seperti biasa. Ariana tahu, Nicholas tidak akan pernah membiarkannya pergi tanpa pengawasan. Setibanya di bagian depan gedung penjara, Ariana melirik sekilas ke arah Daniel yang sedang berbicara dengan petugas. Setelahnya, mereka diantar menuju ruang kunjungan yang steril dan sederhana. Petugas sipir, seorang pria bertubuh kekar dengan seragam resmi, menuntun mereka melewati koridor sempit hingga tiba di depan ruangan kunjungan. "Tahanan akan dibawa ke sini dalam beberapa menit," ujar sipir tersebut dengan nada tegas. Ariana mengangguk tanpa berkata-kata, menyadari bahwa ruangan itu jauh dari kenyamanan dunia luar. Daniel berdiri di dekat pintu, menjaga jarak dengan tenang. Tidak lama kemudian, pintu berdecit, dan Katrina dibawa masuk oleh seorang sipir lainnya. Tangan Katrina diborgol di depan, dan wajahnya terlihat
Setelah kunjungan yang membuat emosinya bergejolak, Ariana duduk di ruang baca, berusaha fokus pada halaman buku yang ada di tangannya, namun pikirannya terus melayang. Tangannya perlahan mengusap perutnya yang mulai membesar, bayinya kini memasuki bulan keenam. Di dalam benaknya, suara dokter Lina seolah berulang, memperingatkannya untuk berhati-hati dan menghindari stres Namun, bagaimana mungkin bisa sepenuhnya tenang ketika firasat aneh semakin menguat? segala hal yang seperti disembunyikan Nicholas semakin membuat Ariana curiga. Nicholas, dengan sikap manis dan protektifnya, tidak lantas menghilangkan kecurigaan Ariana. Penasaran adalah api yang membakar batasan ketidaktahuan. Jika ingin membuat seseorang lengah, makan berpura-puralah menjadi sesuatu yang jinak. Mungkin itulah yang akan dia coba lakukan. Ariana menarik napas panjang, meletakkan buku di pangkuannya. Hari semakin sore. Setelah merasa sangat cukup duduk berleha-leha, Ariana pergi ke dapur, berkutat dengan wajan
Ariana duduk di meja makan, memperhatikan hidangan di depannya dengan perasaan bosan. Sayuran hijau yang terhidang tampak seolah menegaskan rutinitas hidup yang semakin membatasi kebebasannya. Perutnya mulai terasa semakin berat, dan meski kembar yang dikandungnya membuat Nicholas lebih protektif dari sebelumnya, ada hal lain yang terus-menerus menghantui pikirannya—orang tuanya. Nicholas, yang duduk di seberangnya, tampak fokus pada hidangan steak mahal yang terhidang di depannya. Sosoknya yang selalu tenang dan terkontrol seolah menjadi kontras dengan suasana hati Ariana yang semakin berkecamuk. Dia mengusap lembut perutnya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang muncul setiap kali dia memikirkan orang tuanya. Sudah berbulan-bulan berlalu tanpa kabar, tanpa pesan, seolah mereka menghilang begitu saja dari hidupnya. Tatapan Ariana bergeser pada Nicholas yang tiba-tiba menatapnya, menyelidik namun tersenyum tipis, penuh kepura-puraan. "Apa kau baik-baik saja?" tanyany
Nicholas kembali berbicara kepada Daniel, "Istriku ingin melihat bagaimana mereka menikmati liburannya," katanya kepada Daniel, tetapi matanya tidak lepas dari Ariana yang terlihat sangat penasaran. "Baik Tuan," jawab Daniel. Nicholas memutuskan sambungan teleponnya, dan kembali kepada Ariana yang duduk kaku, posturnya tegang dengan kemarahan. “Apakah kau marah kepadaku?” tanya Nicholas. “Ya,” jawab Ariana tegas, tanpa ragu. Nicholas terkekeh pelan, dan meneguk habis air mineralnya di atas meja, dan berpindah duduk di sebelah Ariana. Dekat. Begitu dekat hingga dia hampir bisa merasakan hangatnya tubuh Ariana dan mencium aroma manisnya. “Kau tahu apa yang membuatku selalu menyukaimu?” tanya Nicholas. Ariana tidak menjawab. Dia tahu Nicholas ahli dalam mengalihkan percakapan serius, mengubahnya menjadi personal dalam upaya melucuti pertahanannya. Nicholas tersenyum melihat reaksi Ariana. “Bibirmu,” ucapnya pelan. “Caranya melengkung ketika kau bahagia, atau ketika kau marah sepe
Keesokan paginya matahari sudah membubung tinggi. Ariana membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur saat pertama kali melihat Nicholas masih berbaring di sampingnya. Tatapan Nicholas yang tenang, wajahnya begitu dekat. Jarang sekali Nicholas masih berada di tempat tidur saat dia bangun. Biasanya, suaminya itu sudah lama berangkat ke kantor."Apa aku bangun terlalu pagi?" tanya Ariana sedikit heran, suaranya serak karena tidur. Dia menggeser tubuhnya, tangan meraba perut besarnya.Nicholas tersenyum lembut, menggoyangkan kepalanya sedikit. "Benar, tidurlah kembali," jawabnya sambil membelai rambut Ariana yang tergerai di atas bantal.Ariana mengulurkan tangan, meraih jam alarm di nakas samping tempat tidur, Matanya melebar sedikit saat melihat angka di layar digital. "Nick, ini sudah pukul 10!"Nicholas hanya mengangguk, masih santai. "Iya."Ariana mengerutkan kening. " Sejak kapan kau mulai mengamatiku tidur?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi di wajah suaminya yang tenang."Sejak
Setelah mereka tiba di rumah, Ariana berjalan dengan hati-hati. Namun, begitu melewati ruang tamu, Ariana berhenti, matanya terpaku pada ruang kerja Nicholas yang berada di sebelah kamar mereka, yang hampir rampung direnovasi oleh beberapa pekerjaa ahli. Dinding kaca yang besar memisahkan ruang kerja itu dengan ruang tengah dan kamar tidur mereka, seakan menegaskan bahwa privasi hanyalah ilusi.“Nick… ada renovasi kilat?” tanya Ariana dengan nada heran, matanya menyipit seolah ingin menembus pikiran suaminya.Nicholas, yang sedang menuntun Ariana ke kamar, menoleh sambil tersenyum santai. “Ruang kerja baru. Sekarang aku bisa bekerja dari rumah, dan tetap bisa memantau ‘proyek terpentingku’,” katanya sambil melirik ke arah Ariana.Ariana tertegun, lalu tertawa pelan. "Proyek terpenting? Apa itu maksudnya aku? Kau jadi bos besar yang mengawasi istri hamilnya?"Nicholas terkekeh sambil meraih pundak Ariana dengan lembut. "Ya, hampir seperti itu."Ariana memperhatikan pekerja yang sibuk m
Ariana yang pura-pura tidur, akhirnya benar-benar tertidur pulas di ranjang besar. Ketika akhirnya terbangun, matanya membuka perlahan, cahaya matahari pagi mengintip dari celah-celah tirai tebal. Dia mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan pandangannya dengan ruangan di sekitarnya. Saat Ariana melihat ke arah dinding kaca yang membatasi kamar dengan ruang kerja Nicholas, dia terpaku. Nicholas duduk di meja kerjanya, memeriksa tumpukan berkas dengan raut wajah serius. Sesekali, dia mengetuk keyboard laptopnya dengan ketukan yang terdengar mantap. Alisnya sedikit berkerut, menunjukkan intensitas dari pemikirannya.“Apakah dia tidak mengenal tidur?” gumam Ariana dalam hati, setengah heran dan setengah kagum. Betapa dia mencintai sisi ini dari suaminya—dedikasi dan ketelitian Nicholas yang tanpa cela.Ketukan pelan di pintu kamarnya membuyarkan lamunannya. Tok. Tok."Pagi, Nyonya," suara lembut Bibi Helen menyapa. Wanita paruh baya itu membawa nampan berisi sarapan lengkap."Pagi?
Setelah kepergian August, Nicholas berdiri dari kursinya. Langkahnya mantap saat dia berjalan ke arah pintu yang menghubungkan ruang kerjanya dan kamar tidurnya. Tepat saat dia berdiri di depan dinding kaca, dengan satu sentuhan, kaca buram itu berubah menjadi bening. Di seberang sana, Ariana yang mengenakan gaun rumah yang sederhana namun anggun sudah berdiri menghadapnya. Senyum tipis terukir di wajahnya ketika matanya bertemu dengan tatapan Nicholas. Ada sesuatu yang mendalam dan tak terucapkan di antara mereka—seperti bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti. Nicholas balas tersenyum, membuka pintu, dan langkahnya langsung menuju Ariana. "Apakah kau sudah menghabiskan sarapanmu?" tanyanya lembut, suaranya nyaris seperti bisikan, penuh perhatian. Ariana mengangguk, melirik ke arah ruang kerja Nicholas yang kini terlihat lebih tenang setelah sesi panjang tadi. “Bagaimana denganmu?” tanyanya balik, bernada sedikit khawatir. Nicholas tidak langsung menjawab, matanya menelusur