Sementara itu, di sudut lain kota, Richard duduk di belakang meja kerjanya, memandang jendela besar yang menampikan kegelapan yang dihiasi cahaya lampu gedung gedung pencakar langit tetangga. Dia tidak pernah menyangka akan tiba saat di mana dia harus memikirkan kemungkinan anaknya sendiri menjadi ancaman. Namun, semakin hari, semakin jelas bahwa Nicholas bukan lagi anak patuh yang mengikuti setiap jejaknya dan kakeknya. Pintu ruangannya terbuka setelah terdengar suara ketukan. Seorang pria bertubuh tinggi, berpakaian formal yang rapi, melangkah masuk. Wajahnya kaku, tanpa ekspresi, seperti sudah terbiasa membawa kabar buruk. Namanya, Roy, orang kepercayaan Richard selama bertahun-tahun. Tangan kanannya terulur, menyerahkan sebuah berkas tipis. Richard mengambilnya tanpa melihat, hanya sekilas mengangguk sebagai tanda agar Roy berbicara."Seperti yang Anda minta, Tuan," suara Roy terdengar datar. Richard tidak segera membuka berkas itu. Dia meletakkannya di meja, pandangannya teta
Rachel duduk nyaman di sofa, matanya terpaku pada layar berukuran besar hampir menutupi dinding, menayangkan drama Korea yang sedang memuncak konfliknya. . Dia tersenyum kecil dan sesekali tertawa, larut dalam alur cerita yang penuh emosi. "Linda, aku tidak percaya dia benar-benar meninggalkan pria itu! Aduh, tidakkah lebih baik dengan Ki Yong, menurutku dia lebih tampan. Kau setuju, kan?" ucap Rachel dengan antusias berbicara dengan ponselnya.Namun, suasana santai itu segera berubah ketika Richard, baru saja pulang, melangkah masuk ke ruang keluarga. Wajahnya terlihat tegang, garis-garis kelelahan menghiasi dahinya. Jasnya sedikit berantakan, dan dasinya longgar, seolah sudah melewati hari yang sangat berat. Dia langsung menuju ke sofa, menghampiri Rachel yang masih asyik dengan ponselnya."Rachel, kita perlu bicara," kata Richard dengan nada datar tapi serius, berdiri di belakang sofa.Rachel, tanpa menoleh, hanya melambaikan tangan seolah meminta waktu. "Nanti, Sayang, aku sedang
Dua minggu kemudian, dokter akhirnya memberikan kabar baik—kondisi Ariana telah stabil, dan janinnya masih bisa dipantau dari rumah. Di perjalanan pulang, mobil bergerak perlahan, memberikan waktu bagi Ariana untuk memandang keluar jendela, mengingat kembali Nicholas yang tidak lepas dari laptop tetap bersamanya dalam dua minggu terakhir. Di dalam mobil mewah yang bergerak perlahan di jalan kota, Nicholas duduk di samping Ariana. Pemandangan luar begitu tenang. Jalan-jalan kota yang penuh dengan hiruk pikuk, pepohonan yang bergerak seiring angin sore.Nicholas, yang baru selesai membalas pesan di ponselnya segera menyandarkan dirinya lebih dekat dan berbisik lembut di telinga Ariana, "Apakah pemandangan di luar lebih menarik daripada suamimu?" suaranya terdengar dalam. Matanya tak lepas dari wajah Ariana yang menatap keluar jendela.Ariana tersenyum tipis, masih memandang ke luar, seolah tak terpengaruh oleh bisikan Nicholas. “Iya,” jawabnya singkat, sengaja membuat pria itu penasar
Ariana duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong menatap jalan yang berkelok-kelok menuju rumah tahanan. Daniel, duduk di balik kemudi, wajahnya kaku, tenang seperti biasa. Ariana tahu, Nicholas tidak akan pernah membiarkannya pergi tanpa pengawasan. Setibanya di bagian depan gedung penjara, Ariana melirik sekilas ke arah Daniel yang sedang berbicara dengan petugas. Setelahnya, mereka diantar menuju ruang kunjungan yang steril dan sederhana. Petugas sipir, seorang pria bertubuh kekar dengan seragam resmi, menuntun mereka melewati koridor sempit hingga tiba di depan ruangan kunjungan. "Tahanan akan dibawa ke sini dalam beberapa menit," ujar sipir tersebut dengan nada tegas. Ariana mengangguk tanpa berkata-kata, menyadari bahwa ruangan itu jauh dari kenyamanan dunia luar. Daniel berdiri di dekat pintu, menjaga jarak dengan tenang. Tidak lama kemudian, pintu berdecit, dan Katrina dibawa masuk oleh seorang sipir lainnya. Tangan Katrina diborgol di depan, dan wajahnya terlihat
Setelah kunjungan yang membuat emosinya bergejolak, Ariana duduk di ruang baca, berusaha fokus pada halaman buku yang ada di tangannya, namun pikirannya terus melayang. Tangannya perlahan mengusap perutnya yang mulai membesar, bayinya kini memasuki bulan keenam. Di dalam benaknya, suara dokter Lina seolah berulang, memperingatkannya untuk berhati-hati dan menghindari stres Namun, bagaimana mungkin bisa sepenuhnya tenang ketika firasat aneh semakin menguat? segala hal yang seperti disembunyikan Nicholas semakin membuat Ariana curiga. Nicholas, dengan sikap manis dan protektifnya, tidak lantas menghilangkan kecurigaan Ariana. Penasaran adalah api yang membakar batasan ketidaktahuan. Jika ingin membuat seseorang lengah, makan berpura-puralah menjadi sesuatu yang jinak. Mungkin itulah yang akan dia coba lakukan. Ariana menarik napas panjang, meletakkan buku di pangkuannya. Hari semakin sore. Setelah merasa sangat cukup duduk berleha-leha, Ariana pergi ke dapur, berkutat dengan wajan
Ariana duduk di meja makan, memperhatikan hidangan di depannya dengan perasaan bosan. Sayuran hijau yang terhidang tampak seolah menegaskan rutinitas hidup yang semakin membatasi kebebasannya. Perutnya mulai terasa semakin berat, dan meski kembar yang dikandungnya membuat Nicholas lebih protektif dari sebelumnya, ada hal lain yang terus-menerus menghantui pikirannya—orang tuanya. Nicholas, yang duduk di seberangnya, tampak fokus pada hidangan steak mahal yang terhidang di depannya. Sosoknya yang selalu tenang dan terkontrol seolah menjadi kontras dengan suasana hati Ariana yang semakin berkecamuk. Dia mengusap lembut perutnya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang muncul setiap kali dia memikirkan orang tuanya. Sudah berbulan-bulan berlalu tanpa kabar, tanpa pesan, seolah mereka menghilang begitu saja dari hidupnya. Tatapan Ariana bergeser pada Nicholas yang tiba-tiba menatapnya, menyelidik namun tersenyum tipis, penuh kepura-puraan. "Apa kau baik-baik saja?" tanyany
Nicholas kembali berbicara kepada Daniel, "Istriku ingin melihat bagaimana mereka menikmati liburannya," katanya kepada Daniel, tetapi matanya tidak lepas dari Ariana yang terlihat sangat penasaran. "Baik Tuan," jawab Daniel. Nicholas memutuskan sambungan teleponnya, dan kembali kepada Ariana yang duduk kaku, posturnya tegang dengan kemarahan. “Apakah kau marah kepadaku?” tanya Nicholas. “Ya,” jawab Ariana tegas, tanpa ragu. Nicholas terkekeh pelan, dan meneguk habis air mineralnya di atas meja, dan berpindah duduk di sebelah Ariana. Dekat. Begitu dekat hingga dia hampir bisa merasakan hangatnya tubuh Ariana dan mencium aroma manisnya. “Kau tahu apa yang membuatku selalu menyukaimu?” tanya Nicholas. Ariana tidak menjawab. Dia tahu Nicholas ahli dalam mengalihkan percakapan serius, mengubahnya menjadi personal dalam upaya melucuti pertahanannya. Nicholas tersenyum melihat reaksi Ariana. “Bibirmu,” ucapnya pelan. “Caranya melengkung ketika kau bahagia, atau ketika kau marah sepe
Keesokan paginya matahari sudah membubung tinggi. Ariana membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur saat pertama kali melihat Nicholas masih berbaring di sampingnya. Tatapan Nicholas yang tenang, wajahnya begitu dekat. Jarang sekali Nicholas masih berada di tempat tidur saat dia bangun. Biasanya, suaminya itu sudah lama berangkat ke kantor."Apa aku bangun terlalu pagi?" tanya Ariana sedikit heran, suaranya serak karena tidur. Dia menggeser tubuhnya, tangan meraba perut besarnya.Nicholas tersenyum lembut, menggoyangkan kepalanya sedikit. "Benar, tidurlah kembali," jawabnya sambil membelai rambut Ariana yang tergerai di atas bantal.Ariana mengulurkan tangan, meraih jam alarm di nakas samping tempat tidur, Matanya melebar sedikit saat melihat angka di layar digital. "Nick, ini sudah pukul 10!"Nicholas hanya mengangguk, masih santai. "Iya."Ariana mengerutkan kening. " Sejak kapan kau mulai mengamatiku tidur?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi di wajah suaminya yang tenang."Sejak
“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem
Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana
Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat
“Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena