Tengah malam Elizabeth pergi ke sebuah hotel. Dan hanya beberapa menit saja perjalanan dari rumah menuju ke tempat itu. Sesampainya di sana, Elizabeth tidak sabar untuk memastikan apakah suaminya benar-benar ada di sana. Rasa penasaran di dalam hatinya tidak padam begitu saja. "Di lantai lima, kamar sembilan enam," gumam Elizabeth menatap layar ponselnya yang telah retak. Ia membaca pesan yang seseorang kirimkan itu padanya. Elizabeth berjalan cepat sembari menahan rasa pusing yang mencekam di kepalanya. Hatinya bahkan masih setia tak percaya seolah-olah Evan tidak mungkin berada di tempat ini. Sampai akhirnya Elizabeth tiba di depan pintu nomor sembilan puluh enam. Jemari tangan Elizabeth terasa kebas dan gemetar saat ia mengulurkan tangannya menyentuh gagang pintu. Dengan sekuat hati, Elizabeth membuka pintu tersebut. Pelan, tanpa suara ia mendorongnya perlahan-lahan. "Ti-tidak mungkin..." Kata itu yang begitu lembut keluar dari bibir Elizabeth. Air mata Elizabeth menetes de
Evan terburu-buru pergi ke rumah sakit dengan wajah dan pikirannya yang kalut dan kacau. Ia tidak percaya dengan kabar yang dia dengar sendiri. Saat tiba di rumah sakit, ia menemukan beberapa polisi yang tadi menghubunginya nampak menunggunya di depan sebuah ruangan, yang sangat ramai oleh lalu lalang dokter dan perawat yang berlari terburu-buru. "Tuan Evander?" sapa seorang polisi tersebut begitu Evan mendekat. "Ya, di mana istriku sekarang? Di mana Elizabeth?" seru Evan panik melihat ruangan yang riuh."Nyonya Elizabeth masih berada di dalam, Tuan." Evan mengusap wajahnya yang memerah tergambar kekalutan yang luar biasa. Dalam hatinya, Evan terus berdoa tanpa henti semoga tidak terjadi hal yang buruk pada istrinya. Namun, saat Evan berdiri menanti-nanti, seorang suster keluar dari dalam ruangan itu membawa sebuah kain yang terbakar. "Tunggu...!" Evan menghentikan langkah suster itu. Ia menatap sisa kain mantel yang terbakar, mantel hangat yang baru satu minggu lalu Evan beli
Setelah pemakaman selesai, Evan masih berada di sana. Dia masih setia duduk di samping tanah peristirahatan terakhir istrinya. Langit yang mendung gelap dan hujan yang lebat seolah bersatu menangis atas kepergian Elizabeth. "Evan, ayo pulang nak, hujan semakin deras." Melody menyentuh dan menarik pundak Evan dengan pelan. "Kalian pulanglah dulu," jawab Evan tertunduk. "Aku masih ingin menemani Elizabeth untuk terakhir kali." Arshen menoleh pada istrinya, mereka berjalan pergi dan menunggu Evan dari kejauhan. Air hujan yang lebat, serta suara guntur di langit seperti cambuk putih membelah langit yang gelap diiringi suara keras mengerikan. Evan tahu, Elizabeth sangat takut dengan suara petir. Ia menundukkan kepalanya, tak bisa dibedakan mana air hujan dan mana air matanya yang mengalir. Hanya suara tangisannya yang terdengar. Tangis penuh dengan seribu penyesalan. 'Selama ini aku telah memperlakukanmu dengan buruk. Tapi kenapa? Kenapa harus secepat ini kau meninggalkanku, Elizab
Keesokan harinya, Evan masih berdiam diri di rumah bersama Exel setelah kesedihan yang dia rasakan tidak kunjung bisa mereda. Dan sekarang Exel sampai demam karena semalaman merengek menangis mencari Elizabeth."Papa," rengek Exel merengkuh leher Evan. "Jangan pergi ke mana-mana.""Papa ada di sini, Papa tidak akan pergi ke mana-mana. Tidurlah, Sayang..." Evan menepuk-nepuk lembut punggung kecil Exel. Anak itu kembali memejamkan kedua matanya. Dan Evan, dia mematung menatap pantulan dirinya di lemari kaca. Teringat biasanya sekalipun anaknya demam, Evan tidak akan memiliki waktu atau sempat menggendongnya sebentar saja. Karena Elizabeth pasti akan meluangkan semua waktunya seharian penuh untuk menemani dan menjaga Exel. Tapi kini semua itu, tidak ada lagi. "Permisi Tuan..." Pintu ruangan keluarga terketuk, nampak Jericho yang berdiri di sana. "Ada apa?" tanya Evan dengan wajah datarnya. "Di depan ada Nona Clarisa ingin bertemu dengan Tuan dan Tuan Kecil," jawab Jericho menjelas
Para ajudan Evan bergegas mengecek CCTV di setiap sudut rumah. Dan mereka juga bekerja secara cerdik untuk mencari tahu hingga detailnya.Setelah mereka berhasil mendapatkan semua bukti yang benar-benar akurat, kini mereka menunjukkannya pada Evan. "Nyonya pergi dengan taksi putih ini Tuan, dan Asgar melaporkan pada saya kalau taksi ini adalah taksi yang berhenti di depan hotel yang Tuan tempati malam itu," jelas Jericho menunjuk layar laptop di hadapannya. Evan mengetatkan rahangnya, ia langsung beranjak dari duduknya saat itu juga. "Bagaimana bisa malam itu aku berada di kamar hotel, dan Elizabeth... dari mana dia tahu?" gumam Evan mulai berpikir. Seketika Evan teringat tentang ponsel milik istrinya. Di sana Evan langsung meraih benda pipih berwarna hitam milik Elizabeth yang berada di meja kerjanya. Melihat layarnya yang sudah retak di berbagai sisi, Evan tak yakin ponsel itu masih bisa menyala. Tangannya tak sabaran saat menekan tombol. Ada jeda beberapa saat sampai ponsel
Hari telah berganti, pagi ini Evan meminta para pelayan di rumahnya untuk membersihkan dan merapikan barang-barang milik Elizabeth. Bahkan Evan pun kini masuk ke dalam sebuah ruangan kesukaan Elizabeth yang sebelumnya tidak pernah dia masuki sebelumnya. "Bersihkan ruangan ini, tapi jangan sampai ada satu barang pun yang kalian buang!" seru Evan menatap para pelayannya. "Baik Tuan." Para pelayan membersihkan ruangan itu, sedangkan Evan juga masih berada di sana. Ia mendekati sebuah meja kayu dan mengambil sebuah pigura foto, di mana di dalamnya terdapat gambar Elizabeth yang tersenyum manis sembari memeluk Exel. "Elizabeth..." Evan mengusap gambar itu dengan jemarinya. Dia menatapnya dengan dalam, menyadari kerinduan di hatinya kini mulai menyiksa dari detik demi detik. 'Sekarang aku hanya bisa memandang senyummu dari semua foto yang aku punya. Bagaimana caranya aku harus mengungkapkan kerinduanku padamu, Elizabeth...' Kedua mata Evan terpejam pelan, laki-laki itu meletakkan k
Hari ini Evan mengajak Exel ke tempat peristirahatan terakhir Elizabeth, setelah putranya sembuh dari demam. Setiap hari Evan selalu menyempatkan datang ke sana, membawakan bunga dan juga cukup lama dia berbincang dengan batu nisan bertuliskan nama istrinya tersebut. Kini, Exel mengusap-usap batu nisan berwarna putih itu dengan telapak tangan kecilnya. "Mama... Mama di sini, Pa?" tanya anak itu mendongak menatap Evan lagi. "Iya Sayang, Mama pasti senang kita datang hari ini." Evan tersenyum memeluk Exel. "Heem, Mama sedang tidur kata Oma, Pa," seru anak itu memeluk tubuh sang Papa. Evan selalu terenyuh dalam situasi ini. Ia meletakkan seikat bunga mawar putih di atas tanah pemakaman Elizabeth. "Aku akan selalu menyempatkan waktu untuk menemuimu setiap hari, Elizabeth. Kau jangan takut, aku akan selalu mendoakanmu..." Kedua mata Evan kembali pedih dan berkaca-kaca. Ia memeluk Exel dengan erat dan menatap nisan itu terus menerus. "Aku sangat hancur, aku merasa duniaku telah run
"Jadi Evan baru saja menangkapmu dan menanyakan semuanya?!"Clarisa melebarkan kedua matanya menatap Patricia yang baru saja datang dan masuk ke alam apartemen Clarisa. Wanita itu sangat kebingungan. Dia panik, menyesal, dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. "Ya! Dan hal ini berbuntut panjang! Elizabeth, istri Evander sampai meninggal gara-gara kecelakaan, karena pesan yang aku kirim," kata Patricia. “Dia pasti langsung bergegas ke hotel setelah aku mengirim pesan sialan itu!” Wajah Patricia begitu menyesali perbuatannya. Dia tidak menyangka bila sampai sejauh ini hingga membuat nyawa seseorang terenggut. Semua ini karena Clarisa yang mengajaknya bersekongkol, sampai akhirnya Patricia pun akan terseret dalam masalah yang besar ini. "Aku tidak mau tahu Clarisa, aku tidak ingin disalahkan untuk masalah yang bersangkutan dengan Evander!" seru Patricia menatap Clarisa yang panik. "Bagaimana kau bisa berkata begitu, hah?! Kita melakukan kesalahan ini bersama-sama!" peki
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat
Pauline menuruti keinginan Alicia yang meminta jalan-jalan bersama Xander pagi ini. Meskipun situasi tampak canggung yang terjadi antara Xander dan Pauline saat ini, namun justru Pauline lah yang banyak diam, karena Xander sibuk berbincang dengan Alicia. "Papa, jadi lihat ikan lumba-lumba kan, Papa?" Anak perempuan kecil itu duduk di pangkuan sang Mama dan menoleh pada Xander yang tengah mengemudi. "Jadi dong, Sayang. Papa kan sudah janji dengan Alicia," jawab Xander terkekeh. "Asikk...! Nanti pulangnya kita beli es krim ya, Pa..." "Iya, Sayang." Xander tersenyum manis menatap wajah Alicia yang terlihat begitu berbinar berbunga-bunga. Anak perempuan itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mama. Pauline menoleh pada Xander yang kini tampak begitu bahagia. Ia tidak tahu banyak tentang laki-laki ini selama lima tahun terakhir. Hanya saja, setahu Pauline kalau Xander memang belum menikah atau memiliki pasangan. "Kau tidak sibuk kan, hari ini?" tanya Pauline memecah keheningan. "Sa
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Alicia tampak sudah bangun dan anak itu terlihat jauh sangat bersemangat. Pauline tidak tahu apa yang membuat anaknya begitu antusias, di sisi lain ia hanya pandai menebak kalau kemungkinan besar Xander lah yang membuat Alicia begitu senang."Mama ... ayo cepat, Alicia mau mandi!" pekik anak itu memanggil Pauline yang masih sibuk di dapur. "Mama...!" "Iya, Sayang sebentar!" Elizabeth terdengar menyahuti teriakan cucu kesayangannya. Sampai tak lama kemudian barulah Pauline muncul dan wanita muda itu naik ke lantai dua menemui si kecil yang langsung memasang wajah protes karena Mamanya terlalu lama. "Kenapa, Sayang? Tumben jam segini sudah bangun, hm?" Pauline langsung mengangkat tubuh Alicia dan mengecupi pipinya."Mama, Alicia mau mandi, terus ganti baju yang bagus warna merah muda!" serunya, antusias. "Alicia juga mau pakai sepatu yang merah muda, pakai jepit yang lucu, Mama..." Pauline terkekeh mendengarnya. "Memangnya Alicia mau ke mana, Saya
Sementara di dalam kamar, Pauline panik saat ia terbangun dari tidurnya, wanita muda itu tidak menemukan putrinya. Padahal sudah jelas-jelas tadi saat ia tertidur, Alicia ada di sampingnya. "Ya ampun, ke mana Alicia malam-malam begini!" pekik Pauline kebingungan. Wanita muda bertubuh langsing itu berjalan membuka pintu kamar mandi, dan anaknya tidak ada. Pauline menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Buru-buru Pauline keluar dan ia berjalan ke lantai satu. Di sana sepi, hanya ada suara beberapa orang di ruang tamu. Sampai Pauline berjalan ke depan dan kemunculannya disambut oleh Papa dan Kakaknya, juga rekan-rekannya. "Pa ... Papa melihat Alicia?" tanya Pauline panik.Evan menunjuk ke arah depan dengan dagunya. Laki-laki itu tampak tidak ragu dengan Xander, apalagi saat Evan tahu, selama Pauline pergi, Xander masih setia sendiri dan dia bilang kalau suatu saat dia kukuh ingin menemukan Pauline. Evan benar-benar melihat kesungguhan itu, hingga ia tidak membuat jarak antara
Hari sudah malam, Pauline tertidur nyenyak memeluk Alicia. Tetapi anak kecil itu belum juga terlelap. Alicia memeluk botol susunya dan diam menatap ke arah langit-langit kamarnya sambil mengoceh sendiri. "Mama capek, Alicia nakal terus, jadi Mama bobo cepat-cepat..." Anak itu mengerucutkan bibirnya. "Alicia mau punya Papa yang baik, biar seperti Kakak kembar. Emmm, Papanya Alicia pergi jauh dibawa Tuhan," ocehnya dengan mata lebarnya yang mengerjap. Anak bertubuh mungil dengan balutan piyama hangat berwarna ungu muda itupun perlahan-lahan merangkak turun dari atas ranjang. Alicia berjalan membawa botol susunya dan keluar dari dalam kamar, setelah ia tahu pintu kamar tidak ditutup rapat. Dengan langkah kecilnya, anak itu berjalan menuruni anak tangga. "Aduh ... aduh ... anak tangganya sangat banyak. Alicia harus hati-hati. Satu, dua, satu, dua!" seru anak itu dengan suara mungilnya. Tampak di ruang tamu, beberapa orang laki-laki yang tengah berada di sana, sibuk membahas pekerja
Napas Pauline tercekat saat ia melihat sosok Xander berdiri di depannya dengan ekspresi yang sama kagetnya dengan Pauline. Belum lagi Alicia yang kini memeluk kaku Xander dan anak itu berisik terus meminta gendong. "Om, itu Mamaku, ayo ... Alicia mau gendong. Katanya kalau bertemu Alicia mau digendong lagi! Ayoo, gendong!" pekik Alicia berjinjit-jinjit mengulurkan tangannya pada Xander.Lamunan Xander buyar karena anak itu, ia menunduk dan tersenyum pada Alicia. "Iya, Sayang..." Xander langsung menggendong Alicia dan mengangkat tubuh mungil itu dalam pelukannya sebelum ia berjalan mendekati Pauline yang masih diam membeku di tempatnya. Alicia tersenyum lebar memeluk leher Xander dan menyandarkan kepalanya di sana. "Om, Alicia kok tahu kalau Alicia di sini?" tanya anak itu. "Tentu saja Om tahu, Sayang," jawab Xander. Pauline mengerjapkan kedua matanya dan napasnya terengah tiba-tiba. Ia tercengang melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Sejak kapan Alicia dekat dengan Xand
Sepulang dari jalan-jalan bersama Exel beberapa menit yang lalu, tampak Alicia begitu gembira. Anak itu mengoceh ini dan itu sambil menunjukkan mainannya pada sang Mama. Ditemani Elizabeth dan juga Evan yang bersama mereka sekarang. "Wahh ... banyak sekali mainannya, Sayang?" tanya Elizabeth mengecupi pipi cucunya. "Papa Exel sama Mama Tante yang belikan buat Alicia, Oma. Terus ini boneka panda dari Kakak Vano," ujar anak itu menata semua bonekanya di atas sofa ruang keluarga. "Persis sekali dengan Pauline saat masih kecil," sahut Evan. Elizabeth menoleh. "Oh ya, Pa?" "Iya, Sayang." Pauline terkekeh geli, sampai akhirnya Alicia menarik lengan sang Mama. "Mama ayo tidur, Alicia mau tidur sama Mama," seru anak itu. "Ayo, Maa...!" Evan menatap putrinya. "Sudah, sudah, cepat anak Alicia tidur, Nak," ujarnya. "Iya, Pa." Pauline memasukkan semua boneka-boneka milik Pauline ke dalam paper bag ukuran besar dan membawanya naik ke lantai dua. Alicia tampak sangat ceria dan banyak be
Sore harinya, Exel tidak mengingkari janji untuk mengajak Alicia pergi jalan-jalan dengannya. Bahkan setelah siang tadi Alicia bertemu Exel dan menganggap kalau Exel sungguh-sungguh seorang Papanya, sejak saat itu juga Alicia tidak mau diturunkan dari gendongan Exel. Untung saja, Si kembar tidak banyak protes setelah mereka berdua paham kalau sebenarnya Alicia tidak memiliki Papa. "Dad, kita makan malam di sana yuk, Dad!" ajak Varo menunjuk sebuah rumah makan Jepang. "Iya, Sayang. Jangan lari, Vano!" pekik Exel saat kedua anaknya turun dari dalam mobil. Hauri menoleh pada Alicia yang kini berjinjit meminta gendong pada Exel. "Alicia, mau gendong Mama Hauri?" tawar wanita itu. "Tidak mau. Alicia mau gendong Papa saja, Mama Tante" jawab anak itu. Alicia tidak mau memanggil Mama secara langsung pada Hauri, hingga ia juga menyematkan nama Tante di belakangnya, sampai menjadi Mama Tante. Mereka semua berjalan masuk ke dalam rumah makan tersebut dan memilih tempat yang pas. "Papa,