Para ajudan Evan bergegas mengecek CCTV di setiap sudut rumah. Dan mereka juga bekerja secara cerdik untuk mencari tahu hingga detailnya.Setelah mereka berhasil mendapatkan semua bukti yang benar-benar akurat, kini mereka menunjukkannya pada Evan. "Nyonya pergi dengan taksi putih ini Tuan, dan Asgar melaporkan pada saya kalau taksi ini adalah taksi yang berhenti di depan hotel yang Tuan tempati malam itu," jelas Jericho menunjuk layar laptop di hadapannya. Evan mengetatkan rahangnya, ia langsung beranjak dari duduknya saat itu juga. "Bagaimana bisa malam itu aku berada di kamar hotel, dan Elizabeth... dari mana dia tahu?" gumam Evan mulai berpikir. Seketika Evan teringat tentang ponsel milik istrinya. Di sana Evan langsung meraih benda pipih berwarna hitam milik Elizabeth yang berada di meja kerjanya. Melihat layarnya yang sudah retak di berbagai sisi, Evan tak yakin ponsel itu masih bisa menyala. Tangannya tak sabaran saat menekan tombol. Ada jeda beberapa saat sampai ponsel
Hari telah berganti, pagi ini Evan meminta para pelayan di rumahnya untuk membersihkan dan merapikan barang-barang milik Elizabeth. Bahkan Evan pun kini masuk ke dalam sebuah ruangan kesukaan Elizabeth yang sebelumnya tidak pernah dia masuki sebelumnya. "Bersihkan ruangan ini, tapi jangan sampai ada satu barang pun yang kalian buang!" seru Evan menatap para pelayannya. "Baik Tuan." Para pelayan membersihkan ruangan itu, sedangkan Evan juga masih berada di sana. Ia mendekati sebuah meja kayu dan mengambil sebuah pigura foto, di mana di dalamnya terdapat gambar Elizabeth yang tersenyum manis sembari memeluk Exel. "Elizabeth..." Evan mengusap gambar itu dengan jemarinya. Dia menatapnya dengan dalam, menyadari kerinduan di hatinya kini mulai menyiksa dari detik demi detik. 'Sekarang aku hanya bisa memandang senyummu dari semua foto yang aku punya. Bagaimana caranya aku harus mengungkapkan kerinduanku padamu, Elizabeth...' Kedua mata Evan terpejam pelan, laki-laki itu meletakkan k
Hari ini Evan mengajak Exel ke tempat peristirahatan terakhir Elizabeth, setelah putranya sembuh dari demam. Setiap hari Evan selalu menyempatkan datang ke sana, membawakan bunga dan juga cukup lama dia berbincang dengan batu nisan bertuliskan nama istrinya tersebut. Kini, Exel mengusap-usap batu nisan berwarna putih itu dengan telapak tangan kecilnya. "Mama... Mama di sini, Pa?" tanya anak itu mendongak menatap Evan lagi. "Iya Sayang, Mama pasti senang kita datang hari ini." Evan tersenyum memeluk Exel. "Heem, Mama sedang tidur kata Oma, Pa," seru anak itu memeluk tubuh sang Papa. Evan selalu terenyuh dalam situasi ini. Ia meletakkan seikat bunga mawar putih di atas tanah pemakaman Elizabeth. "Aku akan selalu menyempatkan waktu untuk menemuimu setiap hari, Elizabeth. Kau jangan takut, aku akan selalu mendoakanmu..." Kedua mata Evan kembali pedih dan berkaca-kaca. Ia memeluk Exel dengan erat dan menatap nisan itu terus menerus. "Aku sangat hancur, aku merasa duniaku telah run
"Jadi Evan baru saja menangkapmu dan menanyakan semuanya?!"Clarisa melebarkan kedua matanya menatap Patricia yang baru saja datang dan masuk ke alam apartemen Clarisa. Wanita itu sangat kebingungan. Dia panik, menyesal, dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. "Ya! Dan hal ini berbuntut panjang! Elizabeth, istri Evander sampai meninggal gara-gara kecelakaan, karena pesan yang aku kirim," kata Patricia. “Dia pasti langsung bergegas ke hotel setelah aku mengirim pesan sialan itu!” Wajah Patricia begitu menyesali perbuatannya. Dia tidak menyangka bila sampai sejauh ini hingga membuat nyawa seseorang terenggut. Semua ini karena Clarisa yang mengajaknya bersekongkol, sampai akhirnya Patricia pun akan terseret dalam masalah yang besar ini. "Aku tidak mau tahu Clarisa, aku tidak ingin disalahkan untuk masalah yang bersangkutan dengan Evander!" seru Patricia menatap Clarisa yang panik. "Bagaimana kau bisa berkata begitu, hah?! Kita melakukan kesalahan ini bersama-sama!" peki
Berhari-hari Evan tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan yang terbesar dalam hidupnya. Bodohnya Evan, dia tidak mencari tahu segala kebenaran tentang Elizabeth sejak dulu. Termasuk tentang sakit yang istrinya alami. Dan hari ini laki-laki itu tidak pergi ke kantornya, Evan merasa pusing yang berkepanjangan selama beberapa hari ini.Dokter pun kini datang untuk memeriksa kondisinya. "Tuan Evander, Tuan butuh istirahat yang cukup. Rasa sakit kepala yang Tuan alami karena tekanan pikiran dan stress yang Tuan alami. Dan mohon untuk tetap mengatur pola makan," ujar dokter itu menatap lekat pada Evan prihatin. "Baik dok," jawab Evan singkat. "Ini obat yang harus Tuan minum tiga kali sehari, Tuan." Dokter itu meletakkan sebuah obat di atas nakas. Evan pun hanya merespon dengan anggukan. Setelah itu barulah dokter berpamitan untuk pergi. Pintu kamar pun kembali tertutup rapat. Evan meraih beberapa bungkus obat dan menatapnya sejenak sebelum melemparkannya lagi. Laki-laki itu mendong
Setelah kembali dari apartemen Clarisa, sejak saat itu pula Melody nampak gelisah dan melamun cukup lama. Melody pening memikirkan ancaman yang Clarisa berikan padanya secara terang-terangan. 'Ya Tuhan, jangan sampai Clarisa membocorkan hal itu pada Evan dan Arshen, bisa-bisa Arshen akan mengusirku dan tidak akan memaafkanku sekalipun itu di masa lalu,' batin Melody penuh harap-harap cemas. Terang cukup lama dan kalutnya isi pikiran Melody, wanita itu kini hanya diam duduk di sofa sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangan suaminya yang berdiri di samping sofa meliriknya. "Selamat sore," sapa Arshen menoleh sekilas istrinya. Melody pun tetap diam dan wajahnya sangat gundah. "Ma?" Arshen memanggilnya lagi dan kali ini menatapnya dengan alis terangkat. Wanita itu langsung menoleh cepat dan kaget suaminya ada di sana. "Papa, kok sudah pulang?" tanya Melody dengan wajah gugup dia langsung berdiri."Sudah dari beberapa menit yang lalu. Dan kau diam saja saat aku memanggilmu." Ar
Keesokan harinya, keributan hebat terjadi di apartemen Clarisa saat hari masih pagi. Kedatangan Patricia dengan semua amarah dan kekesalannya pada Clarisa, wanita itu marah-marah menuntut Clarisa untuk melakukan sesuatu padanya setelah sebuah kasus besar menimpa Patricia tiba-tiba. "Kau harus bertanggung jawab dan mengakui kesalahanmu pada Evander, Clar! Aku tidak mau tahu!" seru Patricia berdiri di menatap Clarisa sembari mengusap keningnya frustrasi. Clarisa menatapnya dengan sorot menajam. "Kau gila, hah?! Mana mungkin aku menemui Evan!" "Tapi kau harus memikirkan aku yang terkena dampak akibat ulahmu! Lihat... Aku dipecat dari kantor tempatku bekerja dan banyak berita buruk di kantorku tentang aku!" teriak Patricia marah besar. Clarisa mengusap wajahnya kesal, dia tidak menduga akan menjadi masalah sampai sepanjang ini. "Ck! Aaahh! Kenapa bisa sampai seperti ini!" pekik wanita itu memukul meja di depannya. Patricia sangat sedih, pekerjaan satu-satunya yang sudah dia geluti
Semua bukti kejahatan Clarisa telah terkumpul satu demi satu. Penyesalan hebat Evan alami setelah dia menyadari kalau selama ini dia telah membiarkan orang yang jahat berlalu lalang dalam hidupnya dan mengusik istrinya. Evan kini terdiam di dalam ruangan yang biasanya sangat Elizabeth sukai. Laki-laki itu membuka-buka album foto dan bagian belakang ia melihat foto Elizabeth bersama keluarganya saat ia menikah dengan Evan. "Nenek Berta, dan Bibi Meria... Aku belum menghubungi mereka," gumam Evan berdecak mengusap wajahnya. "Apa yang telah aku lakukan! Bagaimana bisa aku sampai lalai seperti ini!" Saat itu juga Evan menyahut ponsel miliknya yang berada di atas meja. Evan mencoba menghubungi Bibi Meria, namun nomor itu tidak terhubung sama sekali. "Kenapa tidak bisa?" gumam Evan kebingungan. Dia mencoba lagi menghubungi nomor telepon rumah Nenek Elizabeth, namun sama, tidak bisa juga. Evan pun berjalan keluar dari ruangan itu. Ia berjalan mencari Jericho di lantai satu dan ajudann