Berhari-hari Evan tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan yang terbesar dalam hidupnya. Bodohnya Evan, dia tidak mencari tahu segala kebenaran tentang Elizabeth sejak dulu. Termasuk tentang sakit yang istrinya alami. Dan hari ini laki-laki itu tidak pergi ke kantornya, Evan merasa pusing yang berkepanjangan selama beberapa hari ini.Dokter pun kini datang untuk memeriksa kondisinya. "Tuan Evander, Tuan butuh istirahat yang cukup. Rasa sakit kepala yang Tuan alami karena tekanan pikiran dan stress yang Tuan alami. Dan mohon untuk tetap mengatur pola makan," ujar dokter itu menatap lekat pada Evan prihatin. "Baik dok," jawab Evan singkat. "Ini obat yang harus Tuan minum tiga kali sehari, Tuan." Dokter itu meletakkan sebuah obat di atas nakas. Evan pun hanya merespon dengan anggukan. Setelah itu barulah dokter berpamitan untuk pergi. Pintu kamar pun kembali tertutup rapat. Evan meraih beberapa bungkus obat dan menatapnya sejenak sebelum melemparkannya lagi. Laki-laki itu mendong
Setelah kembali dari apartemen Clarisa, sejak saat itu pula Melody nampak gelisah dan melamun cukup lama. Melody pening memikirkan ancaman yang Clarisa berikan padanya secara terang-terangan. 'Ya Tuhan, jangan sampai Clarisa membocorkan hal itu pada Evan dan Arshen, bisa-bisa Arshen akan mengusirku dan tidak akan memaafkanku sekalipun itu di masa lalu,' batin Melody penuh harap-harap cemas. Terang cukup lama dan kalutnya isi pikiran Melody, wanita itu kini hanya diam duduk di sofa sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangan suaminya yang berdiri di samping sofa meliriknya. "Selamat sore," sapa Arshen menoleh sekilas istrinya. Melody pun tetap diam dan wajahnya sangat gundah. "Ma?" Arshen memanggilnya lagi dan kali ini menatapnya dengan alis terangkat. Wanita itu langsung menoleh cepat dan kaget suaminya ada di sana. "Papa, kok sudah pulang?" tanya Melody dengan wajah gugup dia langsung berdiri."Sudah dari beberapa menit yang lalu. Dan kau diam saja saat aku memanggilmu." Ar
Keesokan harinya, keributan hebat terjadi di apartemen Clarisa saat hari masih pagi. Kedatangan Patricia dengan semua amarah dan kekesalannya pada Clarisa, wanita itu marah-marah menuntut Clarisa untuk melakukan sesuatu padanya setelah sebuah kasus besar menimpa Patricia tiba-tiba. "Kau harus bertanggung jawab dan mengakui kesalahanmu pada Evander, Clar! Aku tidak mau tahu!" seru Patricia berdiri di menatap Clarisa sembari mengusap keningnya frustrasi. Clarisa menatapnya dengan sorot menajam. "Kau gila, hah?! Mana mungkin aku menemui Evan!" "Tapi kau harus memikirkan aku yang terkena dampak akibat ulahmu! Lihat... Aku dipecat dari kantor tempatku bekerja dan banyak berita buruk di kantorku tentang aku!" teriak Patricia marah besar. Clarisa mengusap wajahnya kesal, dia tidak menduga akan menjadi masalah sampai sepanjang ini. "Ck! Aaahh! Kenapa bisa sampai seperti ini!" pekik wanita itu memukul meja di depannya. Patricia sangat sedih, pekerjaan satu-satunya yang sudah dia geluti
Semua bukti kejahatan Clarisa telah terkumpul satu demi satu. Penyesalan hebat Evan alami setelah dia menyadari kalau selama ini dia telah membiarkan orang yang jahat berlalu lalang dalam hidupnya dan mengusik istrinya. Evan kini terdiam di dalam ruangan yang biasanya sangat Elizabeth sukai. Laki-laki itu membuka-buka album foto dan bagian belakang ia melihat foto Elizabeth bersama keluarganya saat ia menikah dengan Evan. "Nenek Berta, dan Bibi Meria... Aku belum menghubungi mereka," gumam Evan berdecak mengusap wajahnya. "Apa yang telah aku lakukan! Bagaimana bisa aku sampai lalai seperti ini!" Saat itu juga Evan menyahut ponsel miliknya yang berada di atas meja. Evan mencoba menghubungi Bibi Meria, namun nomor itu tidak terhubung sama sekali. "Kenapa tidak bisa?" gumam Evan kebingungan. Dia mencoba lagi menghubungi nomor telepon rumah Nenek Elizabeth, namun sama, tidak bisa juga. Evan pun berjalan keluar dari ruangan itu. Ia berjalan mencari Jericho di lantai satu dan ajudann
Setelah dua hari berlalu tanpa ajudannya, Evan merasa semua pekerjaannya menjadi kacau. Bahkan pagi ini ia dibuat pusing dengan pekerjaan kantor yang sangat menumpuk. Evan memarahi dua asistennya yang terlambat mengerjakan beberapa pekerjaan penting yang akan dibahas siang nanti. "Bagaimana dengan materi meeting nanti kalau berkas yang kemarin saja belum kalian selesaikan!" amuk Evan pada dua laki-laki di depannya kini. "Maaf Tuan, sebenarnya itu bukan pekerjaan yang biasanya kami tangani," jawab salah satu dari mereka. "Apa katamu?! Jadi apa yang bisa kau kerjakan, hah?!" amuk Evan lagi. "Kalau sudah seperti ini, semua pekerjaan tidak akan ada habisnya!" “Ma-maaf, Tuan…”Evan mengacak rambutnya kesal, dia menatap beberapa berkas di hadapannya itu lagi. "Keluar kalian!" seru Evan mengusir dua karyawannya tersebut. Evan mengusap wajahnya dan duduk di kursi kerjanya, dia benar-benar merasa pusing, frustrasi dengan semua hal yang dia hadapi sekarang ini. Setelah Jericho pergi dan
Setelah mendatangi Jericho satu jam yang lalu, Evan pun kembali ke kantornya dengan ajudannya tersebut. Asgar menghubunginya untuk segera ke kantor karena ada Patricia yang kini datang dengan berani dia menunjukkan wajahnya pada Evan. Dan Evan pun, segera menemui wanita itu di dalam ruangannya. "Oh, Evan..." Suara lirih Patricia saat dia melihat Evan masuk ke dalam ruangan tunggu. Evan menatapnya tajam dan diam sebelum ia melangkah ke arah sofa mendekati wanita itu. "Apa yang membawamu datang ke sini?" tanya Evan dengan angkuh, sembari duduk menyilangkan satu kakinya. "Evan, pertama-tama aku ingin meminta maaf padamu karena kejadian waktu itu. Dan... Dan aku sangat menyesalinya!" ungkap Patricia dengan wajah sedih. "Aku tahu, kau pasti yang membuat aku dipecat dari kantor tempat aku bekerja, kan?"Dengan berani dia langsung bertanya akan hal itu. Dan respon yang Evan berikan hanyalah sebuah senyuman kecil yang licik. Wajah tampannya memiliki ekspresi yang tidak mudah diduga, di
Clarisa menangis dan masih terus melawan. Dia tidak terima Evan menyeretnya sampai ke tempat yang paling Clarisa takuti ini. Wanita itu benar-benar menunjukkan sisi aslinya di depan Evan. "Awas kau, Evan! Lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan padamu!" teriak Clarisa hendak menyerang Evan. Namun, dua petugas langsung menarik lengan Clarisa saat itu juga. "Bawa dia ke belakang!" perintah seorang polisi bawa bawahannya. "Tidak! Aku tidak mau! Kalian berdua, lepaskan aku!" teriak Clarisa saat kedua tangannya dibekuk ke belakang dan diminta berdiri. Saat dipaksa untuk diajak berjalan ke belakang, tiba-tiba saja Clarisa menghentikan langkahnya. Ia berdiri dengan napas naik turun dan kedua matanya yang berkaca-kaca penuh amarah menatap Evan. Dia bahkan tidak beranjak saat dua petugas mencoba menariknya untuk ikut ke belakang. "Asal kau tahu, Evan! Bukan aku saja yang menginginkan kepergian Elizabeth! Tapi Mamamu juga! Mamamu itu jauh lebih buruk dariku di belakangmu!” pekik Cla
Hujan turun sangat deras siang ini dan mendung hitam menggantung mengerikan di langit membuat dunia terasa hitam dan gelap. Evan baru saja kembali dari kediaman Mamanya, laki-laki itu berjalan lemah masuk ke dalam ruangan milik Elizabeth. Di sana, Evan mengambil foto milik istrinya. Evan tertunduk dan dadanya nyeri hingga giginya bergemeletuk diiringi suara tangis. "Elizabeth..." Evan terjatuh dan terduduk di sana memeluk foto istrinya. "Maafkan aku, maafkan orang-orang di sekitarku yang menyakitimu... Elizabeth, kembalilah." Evan mendongakkan kepalanya dan merasakan betapa hangatnya air mata yang mengalir di pipinya. Air mata dengan seribu penyesalan dari hatinya yang paling dalam. "Kenapa kau pergi secepat ini, Elizabeth. Bahkan saat aku belum mengatakan kalau aku sangat mencintaimu! Aku sangat mencintaimu, Elizabeth... !" pekik Evan memukul lantai dengan kepalan tangannya.Teriakan keras Evan menggema di dalam ruangan itu bersahutan dengan suara guntur di langit.Bahkan di bal