Hari demi hari telah berganti, pagi ini Evan datang ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes DNA milik Pauline. Evan pun berada di dalam sebuah ruangan di mana dokter kini membacakan hasil pemeriksaan tersebut. "Bagaimana, dok?" tanya Evan saat dokter itu selesai membacanya. "Hasil pemeriksaan antara Pauline dan Tuan tertera sangat cocok, dan memiliki golongan darah yang sama," jawab dokter tersebut menatap Evan. Evan terpaku di tempatnya mendengar penjelasan yang dokter ucapkan mengenai tes DNA-nya dengan Pauline. Dada Evan seperti dihimpit batu besar. Dia tidak menyangka selama ini dirinya memiliki seorang putri yang tumbuh dan besarnya sama sekali tidak ia ketahui. Evan seketika dilingkupi perasaan bahagia yang tak terduga. "Artinya anak bernama Pauline ini, benar-benar anak saya, dok?!" Dokter pun mengangguk. "Benar, Tuan." Evan mengangguk cepat, ia meraih surat hasil tes DNA yang dokter berikan. "Baik dok, terima kasih untuk hasil tes ini. Kalau begitu ... saya permisi,"
Elizabeth menangis terduduk di lantai. Ia tidak bisa menahan rasa sakit dan amarah di dalam dadanya. Rasa sedih, takut, bingung, semuanya bercampur padu menjadi satu. Kebencian di hatinya pada Evan semakin menjadi-jadi. "Aku tidak butuh kehadiranmu lagi, Evan ... Demi Tuhan, aku dan putriku tidak membutuhkanmu lagi!" pekik Elizabeth menangis menundukkan kepalanya di lantai. Wanita itu menepuk-nepuk dadanya. Rasa sakit kejadian empat tahun lalu, mungkin akan dianggap sepele oleh orang yang tidak merasakannya. Tapi bagi Elizabeth, itu adalah luka terdalam yang sampai detik ini tidak ada obatnya. "Aku benci dia, Ya Tuhan ... aku benci dia!" Elizabeth yang menangis tersedu-sedu, hingga jatuh terduduk di lantai satu. Dia tidak tahu kalau keributannya dengan Evan sejak tadi dilihat oleh Pauline. Anak kecil itu berdiri di ujung atas tangga. Bocah dengan balutan sweater merah itu berjalan menuruni anak tangga sembari menyeret lengan boneka kecilnya. "Mama ... Mama kenapa?" tanya anak i
Satu minggu penuh Elizabeth tidak mengajak Pauline keluar rumah sama sekali. Kali ini ia benar-benar sangat ingin menghindari Evan, dari sudut mana pun. Namun, ternyata Pauline tidak betah dan anak itu merasa bosan terus menerus di dalam rumah, sehingga kini ia mengamuk dan berteriak marah-marah pada Elizabeth, meminta pergi jalan-jalan ke luar. "Ayo Ma ... Iiihh Mama lama-lama sekali! Pauline bosan di rumah, tahu! Pauline tidak suka di rumah!" teriak anak itu menggelegar di dalam rumah. "Sayang, ini sudah malam, Nak. Ini sudah jam setengah sembilan lebih," ujar Elizabeth pada si kecil. "Pokoknya Pauline mau jalan-jalan! Hihhh ... Mama kenapa nakal sekali! Pauline tidak sayang Mama lagi! Pauline tidak mau makan lagi pokoknya sampai besok!" Teriakan keras dari Pauline bersama dia yang berguling-guling di lantai menghentak-hentak kakinya. Elizabeth yang menemani anaknya yang sedang tantrum. Ia hanya bisa menunggu dan mengusap pucuk kepala Pauline berusaha agar anaknya kembali tena
Sementara Elizabeth, wanita itu kebingungan mencari Pauline ke mana-mana. Belum sampai lima menit dia meninggalkan anaknya hanya untuk memesan es krim, tapi Pauline sudah hilang entah ke mana!Elizabeth menangis dan berusaha menghubungi Daniel. Namun tidak bisa juga. Ia berjalan ke sana kemari mencari buah hatinya. "Di mana kau, Nak? Pauline...!" teriak Elizabeth. Wanita itu mengusap wajahnya frustrasi, menyadari kebodohannya. 'Tolong lindungi anakku, Ya Tuhan. Kumohon lindungi Pauline,' batin Elizabeth menangis. Elizabeth berjalan cukup jauh, dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Sampai akhirnya, wanita itu melihat beberapa orang di depan toko mainan, dan Elizabeth melihat sosok Pauline dalam gendongan seorang laki-laki yang mendekapnya erat. "Pauline," lirih Elizabeth dengan kedua matanya yang membola. "Ba-bagaimana bisa Pauline dengan Evan?!" Dengan langkah kakinya yang cepat, Elizabeth berjalan terburu-buru mendekati Evan dan Exel yang kini bersama Pauline duduk di sebuah bangku
Nyatanya, Daniel dan Evan masih kukuh tidak melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Elizabeth. Kedua orang dewasa itu memasang wajah geram mereka. Elizabeth pun tidak bisa melepaskan tangannya. "Apa yang kalian lakukan?!" pekik Elizabeth kesal. Pauline yang berada dalam gendongan Elizabeth pun nampak ketakutan hingga anak itu menangis. Elizabeth menoleh pada Evan yang masih mencengkeram pergelangan tangannya. "Evan, lepaskan tanganku!" pekik Elizabeth. "Tidak. Aku tidak akan membiarkan istriku bersama pria lain! Ingat ... kita belum bercerai!" tegas Evan sekali lagi.Wajah marah Elizabeth terlihat jelas, rasanya ia sudah tidak memiliki kesabaran lagi. Wanita itu menarik tangannya dengan kuat meskipun tidak terlepas. "Kalau kau masih mengatakan kita tidak bercerai, maka ceraikan aku sekarang juga!" pekik Elizabeth berkaca-kaca menatapnya. Ekspresi Elizabeth yang marah dan bersedih, begitupun Pauline yang menangis keras dalam gendongan Elizabeth, anak itu ketakutan.Evan
Setelah semalam Elizabeth pulang terlalu malam saat cuaca sangat dingin, keesokan harinya Pauline demam tinggi. Anak perempuan itu kini tengah meringkuk di atas ranjang memeluk boneka beruang berwarna putih yang Exel belikan untuknya. "Sayang ... masih pusing, Nak?" tanya Elizabeth mendekati Pauline yang nampak lemas. "Iya Ma. Kepala Pauline mau pecah rasanya, Mama," jawab Pauline memegangi kepalanya. Elizabeth mengusap kening Pauline, wajahnya berubah cemas saat tahu suhu panas tubuh Pauline tidak turun-turun, padahal Elizabeth sudah merekatkan penurun panas di keningnya dan memberikan obat untuk Pauline. "Mama, sini..." Pauline menatap sayu Elizabeth dan menepuk-nepuk ranjang di sampingnya. Elizabeth pun duduk di sampingnya sebelum dia berbaring dan memeluk tubuh kecil sang buah hati.Saat demam, anak perempuannya itu sangat manja dan banyak maunya. Dia juga enggan ditinggal oleh Elizabeth, dan ingin terus menerus menempel pada sang Mama. "Pauline semalam dipeluk sama Papa,"
Pauline sangat senang karena ada Exel yang menemaninya dan mengajaknya bermain saat ia dirawat di rumah sakit.Bahkan malam ini, saat Evan kembali datang membawa beberapa makanan dan mainan untuk Pauline. Putri kecilnya itu sangat kesenangan. "Wahh, Om Baik bawa apa?" tanya anak itu, saat Evan meletakkan beberapa paper bag di atas nakas. "Papa membelikan makanan untuk Pauline, ada mainan juga," jawab Evan membuka salah satu paper bag dan menunjukkan mainan lucu pada putrinya. "Wahh, bagus! Pauline suka!" jawab anak perempuan itu menunjukkan mainannya pada sang Kakak. Exel pun juga tersenyum, dia duduk di atas ranjang bersama Pauline. Sesekali Exel mengecup pipi Pauline dan memeluknya tanpa mendapatkan protes dari sang Adik. Sedangkan Evan, laki-laki itu mendekati Elizabeth yang duduk di sofa. Evan juga duduk di sampingnya. "Kau sudah makan?" tanya Evan pada wanita itu."Aku tidak lapar," jawab singkat dari Elizabeth yang kini duduk lemas. "Jangan sampai kau ikut sakit, Elizabe
Keesokan harinya, Pauline masih tetap dirawat di rumah sakit karena anak itu belum sembuh dan masih demam meskipun panasnya sudah sedikit menurun. Elizabeth duduk di sebuah kursi menemani Pauline yang tengah tertidur. Dan ia kini sendirian, Exel sudah dijemput oleh ajudan Evan petang tadi. Elizabeth mengembuskan napasnya panjang menekan perutnya. "Ya Tuhan, perutku sangat sakit. Aku lapar sekali," ucap Elizabeth membenamkan wajahnya di ranjang tempat Pauline tertidur. Wanita itu pikir Daniel akan ke sini hingga Elizabeth bisa menitip untuk membeli makanan, tapi ternyata Daniel ada urusan mendadak dan tidak bisa datang. Elizabeth merasa kebingungan. "Tidak mungkin aku meninggalkan Pauline sendirian di sini," gumamnya. Tiba-tiba pintu terbuka, Elizabeth mengangkat wajahnya cepat dan melihat laki-laki dengan balutan tuxedo hitam berjalan masuk ke dalam kamar inap Pauline. Elizabeth menatapnya sayu. "Evan?" Evan melangkah mendekat dan meletakkan beberapa paper bag besar di atas na