Nyatanya, Daniel dan Evan masih kukuh tidak melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Elizabeth. Kedua orang dewasa itu memasang wajah geram mereka. Elizabeth pun tidak bisa melepaskan tangannya. "Apa yang kalian lakukan?!" pekik Elizabeth kesal. Pauline yang berada dalam gendongan Elizabeth pun nampak ketakutan hingga anak itu menangis. Elizabeth menoleh pada Evan yang masih mencengkeram pergelangan tangannya. "Evan, lepaskan tanganku!" pekik Elizabeth. "Tidak. Aku tidak akan membiarkan istriku bersama pria lain! Ingat ... kita belum bercerai!" tegas Evan sekali lagi.Wajah marah Elizabeth terlihat jelas, rasanya ia sudah tidak memiliki kesabaran lagi. Wanita itu menarik tangannya dengan kuat meskipun tidak terlepas. "Kalau kau masih mengatakan kita tidak bercerai, maka ceraikan aku sekarang juga!" pekik Elizabeth berkaca-kaca menatapnya. Ekspresi Elizabeth yang marah dan bersedih, begitupun Pauline yang menangis keras dalam gendongan Elizabeth, anak itu ketakutan.Evan
Setelah semalam Elizabeth pulang terlalu malam saat cuaca sangat dingin, keesokan harinya Pauline demam tinggi. Anak perempuan itu kini tengah meringkuk di atas ranjang memeluk boneka beruang berwarna putih yang Exel belikan untuknya. "Sayang ... masih pusing, Nak?" tanya Elizabeth mendekati Pauline yang nampak lemas. "Iya Ma. Kepala Pauline mau pecah rasanya, Mama," jawab Pauline memegangi kepalanya. Elizabeth mengusap kening Pauline, wajahnya berubah cemas saat tahu suhu panas tubuh Pauline tidak turun-turun, padahal Elizabeth sudah merekatkan penurun panas di keningnya dan memberikan obat untuk Pauline. "Mama, sini..." Pauline menatap sayu Elizabeth dan menepuk-nepuk ranjang di sampingnya. Elizabeth pun duduk di sampingnya sebelum dia berbaring dan memeluk tubuh kecil sang buah hati.Saat demam, anak perempuannya itu sangat manja dan banyak maunya. Dia juga enggan ditinggal oleh Elizabeth, dan ingin terus menerus menempel pada sang Mama. "Pauline semalam dipeluk sama Papa,"
Pauline sangat senang karena ada Exel yang menemaninya dan mengajaknya bermain saat ia dirawat di rumah sakit.Bahkan malam ini, saat Evan kembali datang membawa beberapa makanan dan mainan untuk Pauline. Putri kecilnya itu sangat kesenangan. "Wahh, Om Baik bawa apa?" tanya anak itu, saat Evan meletakkan beberapa paper bag di atas nakas. "Papa membelikan makanan untuk Pauline, ada mainan juga," jawab Evan membuka salah satu paper bag dan menunjukkan mainan lucu pada putrinya. "Wahh, bagus! Pauline suka!" jawab anak perempuan itu menunjukkan mainannya pada sang Kakak. Exel pun juga tersenyum, dia duduk di atas ranjang bersama Pauline. Sesekali Exel mengecup pipi Pauline dan memeluknya tanpa mendapatkan protes dari sang Adik. Sedangkan Evan, laki-laki itu mendekati Elizabeth yang duduk di sofa. Evan juga duduk di sampingnya. "Kau sudah makan?" tanya Evan pada wanita itu."Aku tidak lapar," jawab singkat dari Elizabeth yang kini duduk lemas. "Jangan sampai kau ikut sakit, Elizabe
Keesokan harinya, Pauline masih tetap dirawat di rumah sakit karena anak itu belum sembuh dan masih demam meskipun panasnya sudah sedikit menurun. Elizabeth duduk di sebuah kursi menemani Pauline yang tengah tertidur. Dan ia kini sendirian, Exel sudah dijemput oleh ajudan Evan petang tadi. Elizabeth mengembuskan napasnya panjang menekan perutnya. "Ya Tuhan, perutku sangat sakit. Aku lapar sekali," ucap Elizabeth membenamkan wajahnya di ranjang tempat Pauline tertidur. Wanita itu pikir Daniel akan ke sini hingga Elizabeth bisa menitip untuk membeli makanan, tapi ternyata Daniel ada urusan mendadak dan tidak bisa datang. Elizabeth merasa kebingungan. "Tidak mungkin aku meninggalkan Pauline sendirian di sini," gumamnya. Tiba-tiba pintu terbuka, Elizabeth mengangkat wajahnya cepat dan melihat laki-laki dengan balutan tuxedo hitam berjalan masuk ke dalam kamar inap Pauline. Elizabeth menatapnya sayu. "Evan?" Evan melangkah mendekat dan meletakkan beberapa paper bag besar di atas na
Sedangkan di rumah sakit, Daniel datang ke sana setelah Evan pergi sekitar setengah jam yang lalu. Laki-laki itu duduk berdua bersama Elizabeth menemani Pauline yang tengah tertidur. Di sana, Daniel memperhatikan Elizabeth yang diam melamun menatap ke arah putri kecilnya. "Elizabeth," panggil Daniel lirih. "Heem?" Wanita itu menoleh menatapnya. Daniel tersenyum tipis, laki-laki menghela napasnya panjang dan menatap Elizabeth lekat-lekat. "Bagaimana ke depannya nanti? Apa kau ingin bersamaku di sini, atau kau kembali pada Evan?" tanya Daniel, dia tidak tahan untuk tidak menanyakan ini pada Elizabeth. Elizabeth meresponnya dengan diam. Daniel tahu kalau wanita ini pasti sedang kebingungan untuk menempatkan posisinya. Daniel lantas meraih tangan Elizabeth dan menggenggamnya dengan hangat. "Elizabeth, kalau kau kembali dengan Evan ... aku tidak mau kau disakiti lagi. Itu semua bukan berarti aku melarangmu, tapi aku hanya takut kau disakiti." Elizabeth mengangguk. Wanita itu juga
Kondisi Pauline sudah jauh lebih baik hari ini, dokter pun mengizinkan Pauline untuk dibawa pulang. Di sana ada Evan dan Exel, mereka berdua memang datang lebih awal setelah kemarin dokter bilang pagi ini Pauline diizinkan pulang ke rumah. "Adik Pauline sekarang sudah sembuh," ujar Exel memakaikan topi rajut hangat pada Pauline. "Iya, sudah tidak disuntik-suntik lagi, Kakak," jawab Pauline sembari duduk di tepi ranjang dan mengayun-ayunkan kedua kakinya. Exel langsung menoleh pada sang Papa yang berdiri di sampingnya. "Adik lucu ya, Pa … pipinya besar seperti bakpao!" ujar Exel mengecup pipi Pauline. Evan mengangguk. "Iya Sayang." Exel terkekeh dengan ekspresi gemas adiknya. Dia kembali memeluk Pauline dan meletakkan dagunya di pundak Pauline. "Mama..." "Iya Sayang?" Elizabeth yang tengah merapikan barang-barang milik Pauline, wanita itu menoleh pada sang putri. "Pauline mau ikut dengan Papa dan Kakak," ujar anak perempuan itu menatap sang Mama. Lantas Elizabeth langsung me
Exel dan Elizabeth tengah makan siang bersama, di sana Pauline juga dengan manjanya dia meminta disuapi oleh sang Kakak. Tanpa keberatan sedikit pun, Exel menyuapi Pauline dan mereka sesekali tertawa bersama. "Ma, lihat ... adik habis semuanya!" seru Exel menunjukkan mangkuk kecil yang ia bawa. "Wahh, pintar sekali makannya habis," ujar Elizabeth menatap Pauline yang kini masih sibuk memakan ayam goreng punya Exel. "Itu punya Kakak, Sayang..." "Tidak papa, Ma. Buat Adik Pauline saja. Exel sama kentang goreng ini juga suka sekali, kok!" Anak laki-laki itu tersenyum hingga kedua matanya menyipit. Elizabeth membalas senyumannya Exel dan mengusap pucuk kepala anak laki-lakinya tersebut. "Tapi Mama tidak suka kalau adik rakus, Sayang..." Wanita itu beranjak dari duduknya dan mendekati Pauline. "Sayang, ini kan ayam gorengnya ada tiga. Di tangan Pauline masih ada satu, Kakak dikasih satu dong ... nanti kalau tidak dikasih, Kakak pulang terus tidak mau main sama Pauline lagi," ujar E
Keesokan paginya, Elizabeth dan si kecil Pauline mengajak Exel dan untuk ikut bersamanya jalan-jalan untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Setelah pagi-pagi sekali Exel datang diantarkan ke rumah Elizabeth oleh Jericho, karena anak ini menangis mencari Mamanya. Dan kini Elizabeth mengajak dua anaknya tersebut berjalan ke toko bunga milik Bibinya yang berada tak jauh dari perumahan Elizabeth tinggal. "Ma, kita mau ke mana? Mama tidak mau istirahat duduk dulu?" tawar Exel mendongak menatap sang Mama. "Mama kan gendong Adik Pauline terus, capek kan?" Elizabeth tersenyum manis dengan perhatian yang Exel tunjukkan. "Tidak Sayang ... Mama tidak capek kok, dulu kan Mama juga sering gendong Kakak Exel dan jalan-jalan bersama. Kakak Exel, lupa ya?" Elizabeth sedikit membungkukkan badannya dan mengecup pipi anak laki-laki itu. "Aaa iya! Exel ingat!" seru anak itu sebelum dia tersenyum manis. "Ayo Mama, ayo cepat!" pekik Pauline, anak itu tangannya menunjuk-nunjuk ke depan sana. Eli
Setelah siang tadi Exel mengajak Hauri untuk pergi ke pantai berdua dengannya setelah fitting baju pengantin. Malam ini, Exel mengajaknya pergi bersamanya. Exel kali ini memenuhi undangan teman-temannya untuk datang ke acara makan malam, dan ia mengajak Hauri karena kondisi Hauri saat ini tampak baik-baik saja dan dia juga tidak mengeluh pusing atau yang lainnya. Mereka berdua kini masuk ke dalam sebuah restoran mewah di mana semua teman-teman Exel tampak menunggunya di sana. "Exel, akhirnya datang juga..." Keilan menjabat tangan Exel, kemudian juga pada Hauri. "Kemarin malam kenapa tidak datang, heh?!" tanya Eithan merangkulnya. "Sorry, aku menemani istriku," ujar Exel menoleh pada Hauri sebelum ia menatap teman-temannya. "Perkenalkan, ini calon istriku, mamanya Miko Hauri." Semua teman-temannya di sana, termasuk Heiner dan Lafenia menatap ke arah Hauri yang berdiri di belakang Exel. Senyuman mereka seolah menyambut kedatangan Hauri di sana dengan senang hati. "Hai, salam kena
Keesokan paginya, Hauri pergi bersama Exel ke butik milik Elizabeth. Di sana, mereka berdua diminta untuk memilih baju pengantin mana yang akan dipakai di acara pernikahan mereka beberapa hari lagi. Tampak Hauri kebingungan memilih gaun mana yang serasi untuknya. Gadis cantik berambut sepundak itu berdiri mendongak menatap macam-macam gaun pengantin yang terpajang di dalam lemari kaca. 'Mama Elizabeth sangat hebat, memiliki butik sebesar ini,' batin Hauri terkagum-kagum. Gadis itu masih berdiam diri menatap gaun pengantin di hadapannya saat ini. "Pasti ini sangat mahal dan berat, semuanya dipenuhi hiasan mutiara yang berkilau, dan motif kainnya juga sangat cantik," ujar Hauri tersenyum manis. "Hauri mau mencoba yang ini, Sayang?" Suara Elizabeth yang tiba-tiba muncul membuat Hauri tersentak kaget. Gadis itu menatapnya dan menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak, Ma. Gaunnya terlihat sangat berat," ujar gadis itu. Elizabeth menatap gaun di hadapannya itu dan mengangguk. "Iya
Udara dingin terasa menusuk, Hauri membuka kedua matanya pukul satu dini hari. Gadis itu menghembuskan napasnya panjang berusaha menyingkirkan lengan kekar Exel yang memeluknya dengan sangat erat. Exel selalu menolak tidur sendiri-sendiri, toh mereka akan menikah beberapa hari lagi, di sisi lain, Exel tidak tega bila dia terbayangkan Hauri sakit tiba-tiba saat sedang tidur sendirian. Hauri melepaskan satu tangan Exel dengan perlahan-lahan. Namun, justru pelukan itu semakin mengerat kuat. "Ya ampun, Exel ... lepaskan sebentar. Aku mau ke kemarin mandi," ujar Hauri memukuli lengan laki-laki itu. "Hehhh..." Exel menarik napasnya panjang dan melepaskan pelukannya. "Ayo, aku temani." "Nyalakan lampunya, aku takut gelap," ujar gadis itu. Exel segera menyalakan penerangan di dalam kamarnya. Hauri pun menyibak selimutnya cepat dan berjalan ke kamar mandi.Sedangkan Exel menunggu duduk di tepi ranjang dengan wajah mengantuknya. Sampai Hauri kembali keluar, gadis itu mendekati Exel dan H
Hari sudah gelap, Hauri berada di ruang makan dan menghabiskan makan malamnya sendirian di sana. Sejak siang, ia tertidur hingga bangun malam. Terus terang, Hauri sangat malu ia bangun terlambat, tetapi tidak ada yang melarang atau mengomelinya. Justru semua orang rumah itu meminta Hauri istirahat total. "Makan yang banyak, Sayang. Setelah itu obatnya diminum dan istirahat lagi di ruang tengah dengan Adik Pauline, biar tidak suntuk," ujar Elizabeth dari arah dapur. "Iya Ma," jawab Hauri. Elizabeth berjalan mendekat membawakan segelas air hangat untuk Hauri. "Minum air hangat saja ya, kata Exel tadi kau kedinginan," ujar Elizabeth sembari menyentuh kening Hauri yang terasa hangat. Gadis itu merasa sedih dan senang sekaligus saat dimanjakan oleh Elizabeth, kasih sayang dari sosok Mama yang selama ini Hauri rindukan. Elizabeth terdiam sejenak menatap makanan Hauri hanya tersisa sedikit. Wanita itu menyadari pasti Hauri berat menjalani kondisinya ini, mengalami penurunan nafsu maka
Akhirnya Hauri bisa bernapas lega setelah sekian lama. Ia dan Exel bergegas pulang, namun selama sepanjang perjalanan menuju rumah, Hauri hanya diam saja. Hal ini membuat Exel bertanya-tanya. Apakah kekasihnya itu tidak papa?"Kenapa diam saja? Kau ingin membeli sesuatu?" tanya Exel menoleh. "Tidak. Aku hanya ingin cepat sampai di rumah dan segera meminum obat," jawabnya. "Jadwalnya sudah berlalu satu jam." "Oh astaga, Sayang! Aku benar-benar tidak ingat!" seru Exel menepuk keningnya. "Kenapa kau tidak bilang sejak di kantor?" Exel tampak merutuki kesalahannya sendiri karena melupakan hal itu. Hauri hanya tersenyum tipis. "Tidak papa. Kau kan juga sibuk, Lafenia juga terus menahanmu pulang, kan?" Meskipun tidak bernada tinggi, tapi terasa sakitnya dari kata-kata yang Hauri lontarkan barusan. Juga ekspresi gadis itu yang sulit untuk Exel tebak, apakah dia senang marah, atau tidak. "Maaf ya, Sayang ... aku yang salah," ujar Exel mengusap pucuk kepala Hauri. "Tidak papa, Exel."
Berada di dalam sebuah ruangan bersama dengan teman Exel, Hauri sangat merasa canggung. Ia bahkan bingung harus apa di sana. Berbeda dengan Heiner, ia memperhatikan Hauri dengan tatapan yang tak biasa dan dipenuhi rasa penasaran. "Hauri," panggil Exel pelan."Ya?" Hauri menoleh cepat. Ia merasa senang bila laki-laki itu mungkin mengajaknya berbincang. Heiner beranjak dari duduknya seketika dan mengambil remote penyejuk ruangan sembari menatapnya. "Sepertinya kau kedinginan, ya? Wajahmu terlihat pucat, dan kau sejak tadi meremas tanganmu," ujar Heiner. "Maaf ya, aku baru menyadari kalau ruangan ini terlalu dingin untukmu." "Ah, ya. Tolong kurangi suhu dinginnya," ujar Hauri. Heiner pun tersenyum tipis, laki-laki itu kembali duduk di sofa dan kali ini lebih dekat dengan Hauri. "Ngomong-ngomong, kau bukan berasal dari Eropa? Wajahmu terlihat berbeda dengan warga Eropa," ujar Heiner. "Iya. Papaku orang Prancis, Mamaku dari Jepang. Tapi aku besar di Prancis dan mengenal Exel di san
Sesampainya di kantor, semua orang terkejut melihat kedatangan Exel saat ini bersama seorang gadis yang tak lain adalah calon istrinya. Hauri langsung turun dari dalam mobil, gadis itu menatap sekitar di mana semua karyawan di kantor menatapnya dengan tatapan ramah. "Selamat siang, Pak ... selamat siang, Nona Hauri," sapa salah satu karyawan yang datang menyambut mereka. "Selamat siang," balas Hauri dengan ramah. Exel langsung dihampiri oleh Lafenia yang baru saja keluar dari dalam sebuah ruangan. "Pak Exel..." Lafenia mendekat membawa sebuah map berkas. Exel menoleh dan melihat gadis itu menghampirinya. "Di mana Tuan Gamaliel?" tanya Exel. "Ada di dalam ruangan tamu. Saya sudah meminta orang-orang menyiapkan beberapa minuman untuk tamu kita. Pak Gamaliel bersama dengan keponakannya yang seusia Bapak, dia pengusaha sukses juga," ujar Lafenia menjelaskan."Oke. Kita ke sana sekarang," ujar Exel.Saat laki-laki itu hendak berjalan, Exel menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh m
Hauri terlelap dalam pelukan Exel pagi ini. Dengan cahaya matahari yang hangat menyinarinya begitu sempurna, tampak Hauri terlihat sangat nyaman dan menikmati. Gadis ini selalu menggigil di saat-saat tertentu, hingga Elizabeth berpesan pada Exel untuk berangkat ke kantor lebih Awal, menyelesaikan meeting pagi, lalu pulang untuk mengajak Hauri menghangatkan badannya di bawah sinar matahari. "Apa dia tidak kepanasan?" gumam Exel lirih. Ia mengusap pipi Hauri yang terasa hangat. Namun dia terlihat begitu nyaman bahkan tidak merasa kepanasan. "Sayang, apa sudah cukup hangat?" tanya Exel berbisik. Hauri mengeratkan pelukannya dan menarik napasnya panjang. "Sudah, tapi aku tidak bisa membuka mataku. Aku sangat mengantuk sekali, Exel," bisik Hauri lirih. "Tutup saja matamu. Aku akan menggendongmu ke rumah," ujar Exel. Laki-laki itu tanpa berkomentar ini dan itu. Exel langsung mengangkat tubuh kecil Hauri dan membawanya masuk ke dalam rumah. Exel juga tampak biasa dan ia tidak pernah
Perkataan Pauline tadi sungguh mengusik benak Hauri kalau Exel benar-benar ingin mengajaknya menikah. Sungguh, Hauri memikirkan apakah laki-laki itu tidak menyesal nantinya? Bagaimana bila hal yang tidak-tidak terjadi? Memikirkan hal itu, Hauri tidak sadar ia melamun duduk di depan jendela kamar Exel sambil menyelimuti pundaknya dengan sebuah selendang dari kain flanel. "Sayang..." Suara Exel bersamaan dengan pintu terbuka, laki-laki itu menatap ke arah Hauri yang kini tampak terkejut dengan kedatangannya. Hauri tersenyum begitu hangat. "Hai," sapanya lembut. "Ada apa? Bukannya kau pergi ke kantor, ya?"Exel berjalan mendekat, laki-laki itu menekuk kedua lututnya di hadapan Hauri. Manik mata cokelat milik Exel menelisik wajah ayu Hauri yang tampak pucat. "Aku hanya meeting saja. Itu pun sudah selesai," jawabnya. "Aku ingin cepat pulang saja, rasanya ... apa mungkin karena aku selalu merindukanmu, Sayang?" Mendengar hal itu, Hauri memukul pelan lengan Exel dan terkekeh. Exel me