Sementara Elizabeth, wanita itu kebingungan mencari Pauline ke mana-mana. Belum sampai lima menit dia meninggalkan anaknya hanya untuk memesan es krim, tapi Pauline sudah hilang entah ke mana!Elizabeth menangis dan berusaha menghubungi Daniel. Namun tidak bisa juga. Ia berjalan ke sana kemari mencari buah hatinya. "Di mana kau, Nak? Pauline...!" teriak Elizabeth. Wanita itu mengusap wajahnya frustrasi, menyadari kebodohannya. 'Tolong lindungi anakku, Ya Tuhan. Kumohon lindungi Pauline,' batin Elizabeth menangis. Elizabeth berjalan cukup jauh, dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Sampai akhirnya, wanita itu melihat beberapa orang di depan toko mainan, dan Elizabeth melihat sosok Pauline dalam gendongan seorang laki-laki yang mendekapnya erat. "Pauline," lirih Elizabeth dengan kedua matanya yang membola. "Ba-bagaimana bisa Pauline dengan Evan?!" Dengan langkah kakinya yang cepat, Elizabeth berjalan terburu-buru mendekati Evan dan Exel yang kini bersama Pauline duduk di sebuah bangku
Nyatanya, Daniel dan Evan masih kukuh tidak melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Elizabeth. Kedua orang dewasa itu memasang wajah geram mereka. Elizabeth pun tidak bisa melepaskan tangannya. "Apa yang kalian lakukan?!" pekik Elizabeth kesal. Pauline yang berada dalam gendongan Elizabeth pun nampak ketakutan hingga anak itu menangis. Elizabeth menoleh pada Evan yang masih mencengkeram pergelangan tangannya. "Evan, lepaskan tanganku!" pekik Elizabeth. "Tidak. Aku tidak akan membiarkan istriku bersama pria lain! Ingat ... kita belum bercerai!" tegas Evan sekali lagi.Wajah marah Elizabeth terlihat jelas, rasanya ia sudah tidak memiliki kesabaran lagi. Wanita itu menarik tangannya dengan kuat meskipun tidak terlepas. "Kalau kau masih mengatakan kita tidak bercerai, maka ceraikan aku sekarang juga!" pekik Elizabeth berkaca-kaca menatapnya. Ekspresi Elizabeth yang marah dan bersedih, begitupun Pauline yang menangis keras dalam gendongan Elizabeth, anak itu ketakutan.Evan
Setelah semalam Elizabeth pulang terlalu malam saat cuaca sangat dingin, keesokan harinya Pauline demam tinggi. Anak perempuan itu kini tengah meringkuk di atas ranjang memeluk boneka beruang berwarna putih yang Exel belikan untuknya. "Sayang ... masih pusing, Nak?" tanya Elizabeth mendekati Pauline yang nampak lemas. "Iya Ma. Kepala Pauline mau pecah rasanya, Mama," jawab Pauline memegangi kepalanya. Elizabeth mengusap kening Pauline, wajahnya berubah cemas saat tahu suhu panas tubuh Pauline tidak turun-turun, padahal Elizabeth sudah merekatkan penurun panas di keningnya dan memberikan obat untuk Pauline. "Mama, sini..." Pauline menatap sayu Elizabeth dan menepuk-nepuk ranjang di sampingnya. Elizabeth pun duduk di sampingnya sebelum dia berbaring dan memeluk tubuh kecil sang buah hati.Saat demam, anak perempuannya itu sangat manja dan banyak maunya. Dia juga enggan ditinggal oleh Elizabeth, dan ingin terus menerus menempel pada sang Mama. "Pauline semalam dipeluk sama Papa,"
Pauline sangat senang karena ada Exel yang menemaninya dan mengajaknya bermain saat ia dirawat di rumah sakit.Bahkan malam ini, saat Evan kembali datang membawa beberapa makanan dan mainan untuk Pauline. Putri kecilnya itu sangat kesenangan. "Wahh, Om Baik bawa apa?" tanya anak itu, saat Evan meletakkan beberapa paper bag di atas nakas. "Papa membelikan makanan untuk Pauline, ada mainan juga," jawab Evan membuka salah satu paper bag dan menunjukkan mainan lucu pada putrinya. "Wahh, bagus! Pauline suka!" jawab anak perempuan itu menunjukkan mainannya pada sang Kakak. Exel pun juga tersenyum, dia duduk di atas ranjang bersama Pauline. Sesekali Exel mengecup pipi Pauline dan memeluknya tanpa mendapatkan protes dari sang Adik. Sedangkan Evan, laki-laki itu mendekati Elizabeth yang duduk di sofa. Evan juga duduk di sampingnya. "Kau sudah makan?" tanya Evan pada wanita itu."Aku tidak lapar," jawab singkat dari Elizabeth yang kini duduk lemas. "Jangan sampai kau ikut sakit, Elizabe
Keesokan harinya, Pauline masih tetap dirawat di rumah sakit karena anak itu belum sembuh dan masih demam meskipun panasnya sudah sedikit menurun. Elizabeth duduk di sebuah kursi menemani Pauline yang tengah tertidur. Dan ia kini sendirian, Exel sudah dijemput oleh ajudan Evan petang tadi. Elizabeth mengembuskan napasnya panjang menekan perutnya. "Ya Tuhan, perutku sangat sakit. Aku lapar sekali," ucap Elizabeth membenamkan wajahnya di ranjang tempat Pauline tertidur. Wanita itu pikir Daniel akan ke sini hingga Elizabeth bisa menitip untuk membeli makanan, tapi ternyata Daniel ada urusan mendadak dan tidak bisa datang. Elizabeth merasa kebingungan. "Tidak mungkin aku meninggalkan Pauline sendirian di sini," gumamnya. Tiba-tiba pintu terbuka, Elizabeth mengangkat wajahnya cepat dan melihat laki-laki dengan balutan tuxedo hitam berjalan masuk ke dalam kamar inap Pauline. Elizabeth menatapnya sayu. "Evan?" Evan melangkah mendekat dan meletakkan beberapa paper bag besar di atas na
Sedangkan di rumah sakit, Daniel datang ke sana setelah Evan pergi sekitar setengah jam yang lalu. Laki-laki itu duduk berdua bersama Elizabeth menemani Pauline yang tengah tertidur. Di sana, Daniel memperhatikan Elizabeth yang diam melamun menatap ke arah putri kecilnya. "Elizabeth," panggil Daniel lirih. "Heem?" Wanita itu menoleh menatapnya. Daniel tersenyum tipis, laki-laki menghela napasnya panjang dan menatap Elizabeth lekat-lekat. "Bagaimana ke depannya nanti? Apa kau ingin bersamaku di sini, atau kau kembali pada Evan?" tanya Daniel, dia tidak tahan untuk tidak menanyakan ini pada Elizabeth. Elizabeth meresponnya dengan diam. Daniel tahu kalau wanita ini pasti sedang kebingungan untuk menempatkan posisinya. Daniel lantas meraih tangan Elizabeth dan menggenggamnya dengan hangat. "Elizabeth, kalau kau kembali dengan Evan ... aku tidak mau kau disakiti lagi. Itu semua bukan berarti aku melarangmu, tapi aku hanya takut kau disakiti." Elizabeth mengangguk. Wanita itu juga
Kondisi Pauline sudah jauh lebih baik hari ini, dokter pun mengizinkan Pauline untuk dibawa pulang. Di sana ada Evan dan Exel, mereka berdua memang datang lebih awal setelah kemarin dokter bilang pagi ini Pauline diizinkan pulang ke rumah. "Adik Pauline sekarang sudah sembuh," ujar Exel memakaikan topi rajut hangat pada Pauline. "Iya, sudah tidak disuntik-suntik lagi, Kakak," jawab Pauline sembari duduk di tepi ranjang dan mengayun-ayunkan kedua kakinya. Exel langsung menoleh pada sang Papa yang berdiri di sampingnya. "Adik lucu ya, Pa … pipinya besar seperti bakpao!" ujar Exel mengecup pipi Pauline. Evan mengangguk. "Iya Sayang." Exel terkekeh dengan ekspresi gemas adiknya. Dia kembali memeluk Pauline dan meletakkan dagunya di pundak Pauline. "Mama..." "Iya Sayang?" Elizabeth yang tengah merapikan barang-barang milik Pauline, wanita itu menoleh pada sang putri. "Pauline mau ikut dengan Papa dan Kakak," ujar anak perempuan itu menatap sang Mama. Lantas Elizabeth langsung me
Exel dan Elizabeth tengah makan siang bersama, di sana Pauline juga dengan manjanya dia meminta disuapi oleh sang Kakak. Tanpa keberatan sedikit pun, Exel menyuapi Pauline dan mereka sesekali tertawa bersama. "Ma, lihat ... adik habis semuanya!" seru Exel menunjukkan mangkuk kecil yang ia bawa. "Wahh, pintar sekali makannya habis," ujar Elizabeth menatap Pauline yang kini masih sibuk memakan ayam goreng punya Exel. "Itu punya Kakak, Sayang..." "Tidak papa, Ma. Buat Adik Pauline saja. Exel sama kentang goreng ini juga suka sekali, kok!" Anak laki-laki itu tersenyum hingga kedua matanya menyipit. Elizabeth membalas senyumannya Exel dan mengusap pucuk kepala anak laki-lakinya tersebut. "Tapi Mama tidak suka kalau adik rakus, Sayang..." Wanita itu beranjak dari duduknya dan mendekati Pauline. "Sayang, ini kan ayam gorengnya ada tiga. Di tangan Pauline masih ada satu, Kakak dikasih satu dong ... nanti kalau tidak dikasih, Kakak pulang terus tidak mau main sama Pauline lagi," ujar E