Sedangkan di rumah sakit, Daniel datang ke sana setelah Evan pergi sekitar setengah jam yang lalu. Laki-laki itu duduk berdua bersama Elizabeth menemani Pauline yang tengah tertidur. Di sana, Daniel memperhatikan Elizabeth yang diam melamun menatap ke arah putri kecilnya. "Elizabeth," panggil Daniel lirih. "Heem?" Wanita itu menoleh menatapnya. Daniel tersenyum tipis, laki-laki menghela napasnya panjang dan menatap Elizabeth lekat-lekat. "Bagaimana ke depannya nanti? Apa kau ingin bersamaku di sini, atau kau kembali pada Evan?" tanya Daniel, dia tidak tahan untuk tidak menanyakan ini pada Elizabeth. Elizabeth meresponnya dengan diam. Daniel tahu kalau wanita ini pasti sedang kebingungan untuk menempatkan posisinya. Daniel lantas meraih tangan Elizabeth dan menggenggamnya dengan hangat. "Elizabeth, kalau kau kembali dengan Evan ... aku tidak mau kau disakiti lagi. Itu semua bukan berarti aku melarangmu, tapi aku hanya takut kau disakiti." Elizabeth mengangguk. Wanita itu juga
Kondisi Pauline sudah jauh lebih baik hari ini, dokter pun mengizinkan Pauline untuk dibawa pulang. Di sana ada Evan dan Exel, mereka berdua memang datang lebih awal setelah kemarin dokter bilang pagi ini Pauline diizinkan pulang ke rumah. "Adik Pauline sekarang sudah sembuh," ujar Exel memakaikan topi rajut hangat pada Pauline. "Iya, sudah tidak disuntik-suntik lagi, Kakak," jawab Pauline sembari duduk di tepi ranjang dan mengayun-ayunkan kedua kakinya. Exel langsung menoleh pada sang Papa yang berdiri di sampingnya. "Adik lucu ya, Pa … pipinya besar seperti bakpao!" ujar Exel mengecup pipi Pauline. Evan mengangguk. "Iya Sayang." Exel terkekeh dengan ekspresi gemas adiknya. Dia kembali memeluk Pauline dan meletakkan dagunya di pundak Pauline. "Mama..." "Iya Sayang?" Elizabeth yang tengah merapikan barang-barang milik Pauline, wanita itu menoleh pada sang putri. "Pauline mau ikut dengan Papa dan Kakak," ujar anak perempuan itu menatap sang Mama. Lantas Elizabeth langsung me
Exel dan Elizabeth tengah makan siang bersama, di sana Pauline juga dengan manjanya dia meminta disuapi oleh sang Kakak. Tanpa keberatan sedikit pun, Exel menyuapi Pauline dan mereka sesekali tertawa bersama. "Ma, lihat ... adik habis semuanya!" seru Exel menunjukkan mangkuk kecil yang ia bawa. "Wahh, pintar sekali makannya habis," ujar Elizabeth menatap Pauline yang kini masih sibuk memakan ayam goreng punya Exel. "Itu punya Kakak, Sayang..." "Tidak papa, Ma. Buat Adik Pauline saja. Exel sama kentang goreng ini juga suka sekali, kok!" Anak laki-laki itu tersenyum hingga kedua matanya menyipit. Elizabeth membalas senyumannya Exel dan mengusap pucuk kepala anak laki-lakinya tersebut. "Tapi Mama tidak suka kalau adik rakus, Sayang..." Wanita itu beranjak dari duduknya dan mendekati Pauline. "Sayang, ini kan ayam gorengnya ada tiga. Di tangan Pauline masih ada satu, Kakak dikasih satu dong ... nanti kalau tidak dikasih, Kakak pulang terus tidak mau main sama Pauline lagi," ujar E
Keesokan paginya, Elizabeth dan si kecil Pauline mengajak Exel dan untuk ikut bersamanya jalan-jalan untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Setelah pagi-pagi sekali Exel datang diantarkan ke rumah Elizabeth oleh Jericho, karena anak ini menangis mencari Mamanya. Dan kini Elizabeth mengajak dua anaknya tersebut berjalan ke toko bunga milik Bibinya yang berada tak jauh dari perumahan Elizabeth tinggal. "Ma, kita mau ke mana? Mama tidak mau istirahat duduk dulu?" tawar Exel mendongak menatap sang Mama. "Mama kan gendong Adik Pauline terus, capek kan?" Elizabeth tersenyum manis dengan perhatian yang Exel tunjukkan. "Tidak Sayang ... Mama tidak capek kok, dulu kan Mama juga sering gendong Kakak Exel dan jalan-jalan bersama. Kakak Exel, lupa ya?" Elizabeth sedikit membungkukkan badannya dan mengecup pipi anak laki-laki itu. "Aaa iya! Exel ingat!" seru anak itu sebelum dia tersenyum manis. "Ayo Mama, ayo cepat!" pekik Pauline, anak itu tangannya menunjuk-nunjuk ke depan sana. Eli
Matahari sudah hampir terbenam, Elizabeth menemani Pauline yang sedang bermain di teras depan rumah. Anak itu begitu kesenangan dengan banyak mainan baru yang Evan belikan untuknya. "Mama, Pauline mau bawa bonekanya masuk ke dalam rumah," ujar anak itu menyeret sebuah kereta mainannya. "Katanya tadi mau main di luar, Sayang?" Elizabeth menatap buah hatinya yang menggelengkan kepala. "Tidak jadi!" Anak itu menyeret kembali kereta mainannya masuk ke dalam rumah. Begitu Elizabeth hendak mengikutinya masuk ke dalam rumah, wanita itu menoleh ke arah luar saat mendengar suara klakson mobil. Elizabeth pun menoleh dan ia melihat mobil berwarna putih milik Daniel yang kini berhenti di depan rumah Elizabeth. "Daniel," ucap Elizabeth lirih. Nampak laki-laki dengan balutan tuxedo berwarna navy itu turun dari dalam mobilnya. Seperti biasa, dia selalu tersenyum pada Elizabeth dan berjalan mendekatinya. "Mana anak cantikku?" tanya Daniel pada Elizabeth sembari menaiki anak tangga teras.
Saat masuk ke dalam rumah, Evan duduk di sebuah sofa dengan kedua anaknya yang asik bermain, mereka berdua duduk di atas alas lantai di ruang keluarga. Baik Pauline maupun Exel memiliki hobi yang sama, yaitu bermain puzzle. Keduanya pun terlihat kompak, mereka saling bercanda tawa satu sama lain. Elizabeth mendekati mereka, membawakan segelas susu untuk kedua anaknya. "Sayang, susunya Mama taruh sini ya," ujar Elizabeth pada mereka. "Iya Mama," jawab mereka kompak. Saat Elizabeth hendak pergi, tiba-tiba Pauline menahan lengan sang Mama. Anak itu berdiri sembari memegang botol susunya. "Mama duduk di sini sama Papa," ujar anak itu menarik Elizabeth untuk duduk di samping Evan. Elizabeth pun patuh, dia duduk di samping Evan dan membiarkan laki-laki itu merangkulnya di depan Pauline."Nah, iya ... seperti itu!" serunya tersenyum sembari mengacungkan jempolnya. Anak itu kembali bermain dengan Kakaknya kembali, Pauline berbaring di atas alas lantai yang hangat dan halus sembari m
Keesokan harinya, Elizabeth sudah menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia juga sudah mulai aktif untuk bekerja kembali. Di tengah badai yang menerpa, dia masih berdiri tegap seperti sosok Elize yang dikenal oleh semua orang. Dan pagi ini, Elizabeth membawa Pauline untuk ikut dengannya menghadiri pertemuan di sebuah perusahaan di bidang fashion milik rekan Elizabeth. "Pauline tidak boleh jalan ke luar sini, harus di dalam saja dengan Mama. Mengerti, Sayang?" seru Elizabeth pada si kecil yang digandengnya. "Iya Mama, tapi Pauline mau makan es krim stroberi, Mama..." "Iya nanti, Sayang. Nanti kalau meeting sudah selesai, kita beli es krim stroberi."Anak itu cemberut dan menghentikan langkahnya, dia menghentakkan kakinya di atas lantai dengan kesal. "Mama tidak asik!" protes Pauline mendongak menatap Elizabeth. Sang Mama pun menatapnya dengan tatapan lelah. "Kalau Pauline mengamuk, Mama tinggal di sini," ujar wanita itu pada si kecil. "Iya, iya Mama. Pauline tidak jadi marah!"
Seperti yang sudah diduga, berita tentang hubungan Elizabeth dan Evan pun tersebar luas dalam waktu yang sangat singkat. Elizabeth bahkan merasa takut untuk sekedar membuka ponselnya membaca berita yang beredar mengisukan dirinya mengkhianati Keluarga Winston. Semua ini membuat Elizabeth teringat pada kejadian di masa lalu. Di mana dulunya dia pernah diisukan berselingkuh dengan Daniel, dan kini dia kembali membawa-bawa nama keluarga Daniel dalam hal memalukan seperti ini. Pagi ini Elizabeth mendatangi keluarga Winston, dia dihubungi oleh Sisca untuk datang menemuinya. Bersama kedua orang tua Daniel, kini Elizabeth berada di ruang tamu dan mereka berdua nampak begitu cemas. "Apa-apaan ini Elize, kenapa banyak berita tersebar mengatakan kalau seorang laki-laki bernama Evander mengaku sebagai suamimu dan Papanya Pauline! Siapa dia, Nak?!" tanya Brian menatap Elizabeth dengan tatapan penuh tanda tanya. Elizabeth meremas jemarinya, tertunduk pasrah. Isi kepalanya sangat berisik hingga