Keesokan harinya, Pauline masih tetap dirawat di rumah sakit karena anak itu belum sembuh dan masih demam meskipun panasnya sudah sedikit menurun. Elizabeth duduk di sebuah kursi menemani Pauline yang tengah tertidur. Dan ia kini sendirian, Exel sudah dijemput oleh ajudan Evan petang tadi. Elizabeth mengembuskan napasnya panjang menekan perutnya. "Ya Tuhan, perutku sangat sakit. Aku lapar sekali," ucap Elizabeth membenamkan wajahnya di ranjang tempat Pauline tertidur. Wanita itu pikir Daniel akan ke sini hingga Elizabeth bisa menitip untuk membeli makanan, tapi ternyata Daniel ada urusan mendadak dan tidak bisa datang. Elizabeth merasa kebingungan. "Tidak mungkin aku meninggalkan Pauline sendirian di sini," gumamnya. Tiba-tiba pintu terbuka, Elizabeth mengangkat wajahnya cepat dan melihat laki-laki dengan balutan tuxedo hitam berjalan masuk ke dalam kamar inap Pauline. Elizabeth menatapnya sayu. "Evan?" Evan melangkah mendekat dan meletakkan beberapa paper bag besar di atas na
Sedangkan di rumah sakit, Daniel datang ke sana setelah Evan pergi sekitar setengah jam yang lalu. Laki-laki itu duduk berdua bersama Elizabeth menemani Pauline yang tengah tertidur. Di sana, Daniel memperhatikan Elizabeth yang diam melamun menatap ke arah putri kecilnya. "Elizabeth," panggil Daniel lirih. "Heem?" Wanita itu menoleh menatapnya. Daniel tersenyum tipis, laki-laki menghela napasnya panjang dan menatap Elizabeth lekat-lekat. "Bagaimana ke depannya nanti? Apa kau ingin bersamaku di sini, atau kau kembali pada Evan?" tanya Daniel, dia tidak tahan untuk tidak menanyakan ini pada Elizabeth. Elizabeth meresponnya dengan diam. Daniel tahu kalau wanita ini pasti sedang kebingungan untuk menempatkan posisinya. Daniel lantas meraih tangan Elizabeth dan menggenggamnya dengan hangat. "Elizabeth, kalau kau kembali dengan Evan ... aku tidak mau kau disakiti lagi. Itu semua bukan berarti aku melarangmu, tapi aku hanya takut kau disakiti." Elizabeth mengangguk. Wanita itu juga
Kondisi Pauline sudah jauh lebih baik hari ini, dokter pun mengizinkan Pauline untuk dibawa pulang. Di sana ada Evan dan Exel, mereka berdua memang datang lebih awal setelah kemarin dokter bilang pagi ini Pauline diizinkan pulang ke rumah. "Adik Pauline sekarang sudah sembuh," ujar Exel memakaikan topi rajut hangat pada Pauline. "Iya, sudah tidak disuntik-suntik lagi, Kakak," jawab Pauline sembari duduk di tepi ranjang dan mengayun-ayunkan kedua kakinya. Exel langsung menoleh pada sang Papa yang berdiri di sampingnya. "Adik lucu ya, Pa … pipinya besar seperti bakpao!" ujar Exel mengecup pipi Pauline. Evan mengangguk. "Iya Sayang." Exel terkekeh dengan ekspresi gemas adiknya. Dia kembali memeluk Pauline dan meletakkan dagunya di pundak Pauline. "Mama..." "Iya Sayang?" Elizabeth yang tengah merapikan barang-barang milik Pauline, wanita itu menoleh pada sang putri. "Pauline mau ikut dengan Papa dan Kakak," ujar anak perempuan itu menatap sang Mama. Lantas Elizabeth langsung me
Exel dan Elizabeth tengah makan siang bersama, di sana Pauline juga dengan manjanya dia meminta disuapi oleh sang Kakak. Tanpa keberatan sedikit pun, Exel menyuapi Pauline dan mereka sesekali tertawa bersama. "Ma, lihat ... adik habis semuanya!" seru Exel menunjukkan mangkuk kecil yang ia bawa. "Wahh, pintar sekali makannya habis," ujar Elizabeth menatap Pauline yang kini masih sibuk memakan ayam goreng punya Exel. "Itu punya Kakak, Sayang..." "Tidak papa, Ma. Buat Adik Pauline saja. Exel sama kentang goreng ini juga suka sekali, kok!" Anak laki-laki itu tersenyum hingga kedua matanya menyipit. Elizabeth membalas senyumannya Exel dan mengusap pucuk kepala anak laki-lakinya tersebut. "Tapi Mama tidak suka kalau adik rakus, Sayang..." Wanita itu beranjak dari duduknya dan mendekati Pauline. "Sayang, ini kan ayam gorengnya ada tiga. Di tangan Pauline masih ada satu, Kakak dikasih satu dong ... nanti kalau tidak dikasih, Kakak pulang terus tidak mau main sama Pauline lagi," ujar E
Keesokan paginya, Elizabeth dan si kecil Pauline mengajak Exel dan untuk ikut bersamanya jalan-jalan untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Setelah pagi-pagi sekali Exel datang diantarkan ke rumah Elizabeth oleh Jericho, karena anak ini menangis mencari Mamanya. Dan kini Elizabeth mengajak dua anaknya tersebut berjalan ke toko bunga milik Bibinya yang berada tak jauh dari perumahan Elizabeth tinggal. "Ma, kita mau ke mana? Mama tidak mau istirahat duduk dulu?" tawar Exel mendongak menatap sang Mama. "Mama kan gendong Adik Pauline terus, capek kan?" Elizabeth tersenyum manis dengan perhatian yang Exel tunjukkan. "Tidak Sayang ... Mama tidak capek kok, dulu kan Mama juga sering gendong Kakak Exel dan jalan-jalan bersama. Kakak Exel, lupa ya?" Elizabeth sedikit membungkukkan badannya dan mengecup pipi anak laki-laki itu. "Aaa iya! Exel ingat!" seru anak itu sebelum dia tersenyum manis. "Ayo Mama, ayo cepat!" pekik Pauline, anak itu tangannya menunjuk-nunjuk ke depan sana. Eli
"Tinggalkan Evan! Karena sebentar lagi dia akan rujuk dengan mantan istrinya!" Tubuh Elizabeth tersentak kaget, kedua matanya melebar tak percaya mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh ibu mertuanya. Elizabeth Lawrence, wanita berusia dua puluh tiga tahun itu meremas gaun pesta berwarna biru yang dia pakai. "A-apa maksud Mama mengatakan hal itu?" tanya Elizabeth dengan suara tercekat. "Apa kau tidak sadar? Sejak awal menikah hingga detik ini, Evan tidak pernah mencintaimu!” kata wanita paruh baya yang berpakaian glamor itu. “Karena cinta sejati Evan hanya Clarisa!” Elizabeth terdiam dengan perasaan campur aduk. Ia ingin menyanggah, tapi lidahnya terasa kelu sebab ia tahu ibu mertuanya benar. Suaminya tidak pernah mencintainya. "Kau lihat di sana!” ujar Melodi—ibu mertuanya—ke arah sepasang manusia yang tengah bercengkerama akrab di tengah pesta. “Bukankah mereka tampak sangat serasi? Apa Evan pernah sehangat itu denganmu?” Elizabeth menelan ludah. Kata-kata itu menohok
Keesokan paginya... "Pakaikan baju baru untuk Exel, aku dan Clarisa akan mengajaknya pergi." Suara bariton berat dari Evander terdengar tegas pada Elizabeth yang tengah mendandani Exel pagi ini. Setelah semalaman tidak tidur di rumah, sekalinya pulang Evander kembali bersama Clarisa yang kini tengah menunggu di lantai satu. "Iya. Apa kau akan pulang di sore hari?" tanya Elizabeth sang suami. Sambil memakai tuxedo hitamnya, Evan menjawab, "Ya, agar Clarisa bisa puas bermain dengan Exel seharian." Elizabeth terdiam sejenak, merasa kini hari-harinya menjadi sangat menekan. Selain berkurangnya waktu bersama sang suami, Elizabeth mungkin akan sering kesepian karena Exel juga akan sering menghabiskan waktu dengan Clarisa. "Ma... ini Exel mau ke mana? Kok pakai baju baru?" Mungil suara Exel membuat Elizabeth tersenyum lembut, apalagi anak laki-lakinya itu cemberut menatapnya. "Exel hari ini ikut dengan Papa ya, Sayang. Ingat... tidak boleh nakal, tidak boleh nangis, dan tidak boleh
Pasca pingsan beberapa hari yang lalu, keadaan Elizabeth tidak kunjung membaik. Dia merasa tubuhnya semakin lemah, membuatnya bertanya-tanya apa yang terjadi karena tidak biasanya ia seperti ini. Dengan wajah yang tampak pucat, Elizabeth menopang tubuhnya dengan tangan yang bertumpu pada wastafel karena ingin muntah beberapa menit yang lalu. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya. Setelah mencuci wajahnya dengan air dingin, gadis itu keluar dari kamar mandi dan mendapati suaminya yang sudah tampak rapi. Elizabeth mendekati Evan yang tengah berdiri bercermin sembari memasang arlojinya. "Evan, apa hari ini kau ada waktu luang?" tanya Elizabeth mendongak menatapnya. "Tidak, hari ini jadwalku sangat padat," jawab Evan dingin seperti biasa. Elizabeth meraih tuxedo hitam milik Evan di tepian ranjang dan menyerahkannya dengan sangat perhatian. "Tadinya aku ingin meminta waktumu sebentar saja untuk menemaniku—" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar dengusan pelan dar