Seperti yang sudah diduga, berita tentang hubungan Elizabeth dan Evan pun tersebar luas dalam waktu yang sangat singkat. Elizabeth bahkan merasa takut untuk sekedar membuka ponselnya membaca berita yang beredar mengisukan dirinya mengkhianati Keluarga Winston. Semua ini membuat Elizabeth teringat pada kejadian di masa lalu. Di mana dulunya dia pernah diisukan berselingkuh dengan Daniel, dan kini dia kembali membawa-bawa nama keluarga Daniel dalam hal memalukan seperti ini. Pagi ini Elizabeth mendatangi keluarga Winston, dia dihubungi oleh Sisca untuk datang menemuinya. Bersama kedua orang tua Daniel, kini Elizabeth berada di ruang tamu dan mereka berdua nampak begitu cemas. "Apa-apaan ini Elize, kenapa banyak berita tersebar mengatakan kalau seorang laki-laki bernama Evander mengaku sebagai suamimu dan Papanya Pauline! Siapa dia, Nak?!" tanya Brian menatap Elizabeth dengan tatapan penuh tanda tanya. Elizabeth meremas jemarinya, tertunduk pasrah. Isi kepalanya sangat berisik hingga
Setelah beberapa hari Elizabeth tidak keluar rumah, berita di luar pun semakin menjadi-jadi. Tanpa sengaja pagi ini, Elizabeth membuka ponselnya dan dia membaca tentang kabar saham perusahaan milik Keluarga Winston yang kini merosot dan banyaknya perjanjian kerja sama dengan perusahaan tersebut yang dibatalkan. "Astaga..." Elizabeth menutup mulutnya tak percaya. "Ke-kenapa bisa menjadi seperti ini?" Wanita itu sangat terkejut dengan banyaknya berita yang sangat trending beberapa hari ini. Elizabeth menjatuhkan ponselnya di atas ranjang. Dia terduduk lemas memegangi dadanya. Elizabeth merasa tertekan dan bingung, menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian ini. "Bila sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Elizabeth putus asa. Ia meremas jemari tangannya, rasa bersalah dan menyesal menyeruak di dalam dada Elizabeth. Dia tidak bisa melakukan apapun dalam situasi seperti ini pada Keluarga Winston, keluarga yang paling banyak membantunya se
Evan menepati janjinya pada Elizabeth, sore ini dia berhasil membuat janji dengan seorang Brian Winston untuk bertemu di perusahaan besar milik laki-laki tua itu. Kedatangan Evan disambut penuh hormat sebagai tamu yang cukup disegani oleh Brian. Untuk sejenak, Brian menatap Evan dengan tatapan asing, mereka tak pernah bertemu sama sekali sebelumnya. "Selamat sore, Tuan Winston," sapa Evan membungkukkan badannya memberi hormat. "Selamat sore. Silakan duduk," balas Brian mempersilakan Evan untuk duduk di sebuah sofa abu-abu di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua pun duduk berhadapan. Brian mengerutkan keningnya menatap Evan, dia sekelebat seperti pernah melihat laki-laki ini. "Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya di sebuah pertemuan?" tanya Brian menatap Evan lekat-lekat. Evan tersenyum tipis. "Belum Tuan, kita belum pernah bertemu sebelumnya," jawab Evan, sebelum dia mengulurkan tangannya pada laki-laki tua itu. "Perkenalkan, saya Evander Collin. Saya pimpinan perusahaan Z
Keesokan paginya, Evan yang berada di kediamannya, menatap Jericho yang berdiri di hadapannya menyerahkan beberapa berkas dan dokumen penting. "Bagaimana, Jer? Apa kau sudah berhasil menghentikan penyebaran berita kemarin?" tanya Evan menatap ajudannya. "Sudah Tuan. Saya dan James semalam langsung mendatangi gedung tempat di mana berita itu dibuat, dan kami sudah berhasil dan bersepakat untuk menghentikan penyebaran beritanya." Laki-laki dengan balutan tuxedo berwarna navy itu pun mengangguk kecil. "Bagus," jawab Evan singkat. Di tengah perbincangannya dengan Jericho, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Di mana James berdiri di sana menatap Evan dan Jericho. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut. "Maaf mengganggu waktunya, Tuan. Saya baru saja mendapat telepon dari kantor, ada tamu penting pagi ini yang ingin menemui Tuan terkait kerja sama perusahaan," ujar James menatap Evan. Alis tebal Evan langsung terangkat salah satu. "Br
Selama beberapa hari ini Elizabeth masih berdiam diri di rumah bersama Pauline. Sekalipun berita di media sosial sudah surut, bahkan sudah tidak ada lagi pesan notifikasi yang menghujatnya di media sosial. Elizabeth merasa sedikit lega, meskipun dia tidak tahu apakah ini semua Evan yang mengatasinya, atau dari Keluarga Winston sendiri?Elizabeth yang kini tengah melamun memikirkan hal itu pun, tiba-tiba lamunannya buyar saat ia mendengar suara Pauline. "Mama...!" teriak anak itu memanggilnya. "Iya Sayang, ada apa, Nak?" Elizabeth menoleh pada Pauline yang berjalan ke arahnya membawa ponsel milik Elizabeth. "Kenapa, Sayang?""Tadi bunyi, pasti dari Papa Daniel," ujar anak itu. Kening Elizabeth mengerut, dia mengangkat tubuh Pauline dan duduk memangkunya. Setelah Elizabeth mengecek siapa yang telah menghubunginya, dan ternyata benar dengan apa yang Pauline katakan, kalau yang menghubunginya benar-benar Daniel. "Daniel, ada apa?" gumam Elizabeth. Belum ia menghubunginya balik, tap
Beberapa hari kemudian. Sudah cukup lama Pauline tidak bertemu dengan Evan dan Exel, lantaran permasalahan yang terjadi, dan juga mungkin karena Evan yang sibuk. Pauline kini tengah merajuk pada Elizabeth. Sejak bangun tidur dia terus mencari-cari Evan dan Exel sambil terus menangis."Pauline mau sama Papa dan Kakak sekarang!" teriak anak perempuan itu duduk di atas ranjang kamarnya. "Papa masih sibuk, Sayang ... nanti Mama telfon Papa," ujar Elizabeth mendekati putrinya. "Sekarang Pauline mandi, terus sarapan dulu." "Tidak mau! Tidak mau mandi, tidak mau sarapan! Tidak mau segalanya! Huhhh ... Mama nakal! Mama jahat banget sih!" teriak anak itu menangis di atas ranjang, kedua kakinya menendang apapun yang ada di dekatnya. "Papa tidak mau ajak Kakak ke sini kalau Pauline tidak mau mandi!" seru Elizabeth mendekati si kecil. Bukannya menurut, anak itu semakin mengencangkan suara tangisannya. "Pauline tidak sayang lagi, Pauline mau sayang Papa saja! Mama bad! So bad!" teriak anak
"Pa, Exel tidak mau pulang ... Exel mau di sini saja tidur sama Mama dan Adik Pauline." Suara rengekan Exel membuat Elizabeth menoleh ke depan. Karena hari sudah malam, Evan yang niatnya berpamitan pulang pun urung, Exel dan Pauline sama-sama merengek padanya di sana. "Papa tidak boleh bawa Kakakku pulang, Kakaknya Pauline tidak boleh dibawa pulang, Papa!" pekik anak perempuan menatap Evan dengan wajah sedihnya. "Sayang, tapi besok Kakak ada jam sekolah privat. Besok siang Papa antarkan Kakak ke sini, okay?" Evan membungkukkan badannya mengusap pucuk kepala Pauline. "Tidak boleh! Pauline mau nangis saja malam ini!" teriak anak itu menghentak-hentak kakinya di atas lantai sambil memeluk Exel. Elizabeth menghampiri mereka ke depan. Dia memperhatikan Pauline yang menangis dan memegangi tubuh Exel, memeluknya erat-erat. Akan semakin melelahkan bila sampai Evan membawa Exel pulang dan meninggalkan Pauline yang menangis. Evan menatap Elizabeth yang kini muncul di antara mereka. Wanita
Beberapa hari berlalu, Elizabeth sudah mulai menjalani hari-harinya seperti biasa lagi. Berita yang sempat beredar kemarin, kini telah menghilang sepenuhnya. Elizabeth kembali bekerja dan mengadakan pertemuan dengan beberapa teman designer-nya di sebuah rumah makan mewah, seperti biasa. Elizabeth hari ini juga membawa dua anaknya, Exel dan Pauline. Teman-teman Elizabeth tidak ragu menggodanya yang selama ini ternyata mempunyai suami yang hebat. Setelah mereka tahu dari berita yang muncul beberapa hari yang lalu tentang siapa sebenarnya sosok Elizabeth. "Aku pikir dari awal kau adalah istrinya Daniel Winston, tapi ternyata aku salah! Ternyata suamimu seorang CEO tampan dari Prancis! Oh My God, Elize!" seru Adelaide menepuk keningnya. "Heem, kenapa kau dari dulu diam saja dan tidak mengatakan pada kamu kalau kau punya suami di luar negeri, Elize?" tanya Annete menatap Elizabeth. "Apa jangan-jangan dia takut suami tampannya dilirik oleh salah satu dari kita?" canda Polina sembari me