Selama beberapa hari ini Elizabeth masih berdiam diri di rumah bersama Pauline. Sekalipun berita di media sosial sudah surut, bahkan sudah tidak ada lagi pesan notifikasi yang menghujatnya di media sosial. Elizabeth merasa sedikit lega, meskipun dia tidak tahu apakah ini semua Evan yang mengatasinya, atau dari Keluarga Winston sendiri?Elizabeth yang kini tengah melamun memikirkan hal itu pun, tiba-tiba lamunannya buyar saat ia mendengar suara Pauline. "Mama...!" teriak anak itu memanggilnya. "Iya Sayang, ada apa, Nak?" Elizabeth menoleh pada Pauline yang berjalan ke arahnya membawa ponsel milik Elizabeth. "Kenapa, Sayang?""Tadi bunyi, pasti dari Papa Daniel," ujar anak itu. Kening Elizabeth mengerut, dia mengangkat tubuh Pauline dan duduk memangkunya. Setelah Elizabeth mengecek siapa yang telah menghubunginya, dan ternyata benar dengan apa yang Pauline katakan, kalau yang menghubunginya benar-benar Daniel. "Daniel, ada apa?" gumam Elizabeth. Belum ia menghubunginya balik, tap
Beberapa hari kemudian. Sudah cukup lama Pauline tidak bertemu dengan Evan dan Exel, lantaran permasalahan yang terjadi, dan juga mungkin karena Evan yang sibuk. Pauline kini tengah merajuk pada Elizabeth. Sejak bangun tidur dia terus mencari-cari Evan dan Exel sambil terus menangis."Pauline mau sama Papa dan Kakak sekarang!" teriak anak perempuan itu duduk di atas ranjang kamarnya. "Papa masih sibuk, Sayang ... nanti Mama telfon Papa," ujar Elizabeth mendekati putrinya. "Sekarang Pauline mandi, terus sarapan dulu." "Tidak mau! Tidak mau mandi, tidak mau sarapan! Tidak mau segalanya! Huhhh ... Mama nakal! Mama jahat banget sih!" teriak anak itu menangis di atas ranjang, kedua kakinya menendang apapun yang ada di dekatnya. "Papa tidak mau ajak Kakak ke sini kalau Pauline tidak mau mandi!" seru Elizabeth mendekati si kecil. Bukannya menurut, anak itu semakin mengencangkan suara tangisannya. "Pauline tidak sayang lagi, Pauline mau sayang Papa saja! Mama bad! So bad!" teriak anak
"Pa, Exel tidak mau pulang ... Exel mau di sini saja tidur sama Mama dan Adik Pauline." Suara rengekan Exel membuat Elizabeth menoleh ke depan. Karena hari sudah malam, Evan yang niatnya berpamitan pulang pun urung, Exel dan Pauline sama-sama merengek padanya di sana. "Papa tidak boleh bawa Kakakku pulang, Kakaknya Pauline tidak boleh dibawa pulang, Papa!" pekik anak perempuan menatap Evan dengan wajah sedihnya. "Sayang, tapi besok Kakak ada jam sekolah privat. Besok siang Papa antarkan Kakak ke sini, okay?" Evan membungkukkan badannya mengusap pucuk kepala Pauline. "Tidak boleh! Pauline mau nangis saja malam ini!" teriak anak itu menghentak-hentak kakinya di atas lantai sambil memeluk Exel. Elizabeth menghampiri mereka ke depan. Dia memperhatikan Pauline yang menangis dan memegangi tubuh Exel, memeluknya erat-erat. Akan semakin melelahkan bila sampai Evan membawa Exel pulang dan meninggalkan Pauline yang menangis. Evan menatap Elizabeth yang kini muncul di antara mereka. Wanita
Beberapa hari berlalu, Elizabeth sudah mulai menjalani hari-harinya seperti biasa lagi. Berita yang sempat beredar kemarin, kini telah menghilang sepenuhnya. Elizabeth kembali bekerja dan mengadakan pertemuan dengan beberapa teman designer-nya di sebuah rumah makan mewah, seperti biasa. Elizabeth hari ini juga membawa dua anaknya, Exel dan Pauline. Teman-teman Elizabeth tidak ragu menggodanya yang selama ini ternyata mempunyai suami yang hebat. Setelah mereka tahu dari berita yang muncul beberapa hari yang lalu tentang siapa sebenarnya sosok Elizabeth. "Aku pikir dari awal kau adalah istrinya Daniel Winston, tapi ternyata aku salah! Ternyata suamimu seorang CEO tampan dari Prancis! Oh My God, Elize!" seru Adelaide menepuk keningnya. "Heem, kenapa kau dari dulu diam saja dan tidak mengatakan pada kamu kalau kau punya suami di luar negeri, Elize?" tanya Annete menatap Elizabeth. "Apa jangan-jangan dia takut suami tampannya dilirik oleh salah satu dari kita?" canda Polina sembari me
Dengan sengaja, Evan tidak mengantarkan Elizabeth dan Pauline pulang setelah berjalan-jalan. Melainkan, laki-laki itu mengajak mereka berdua pulang ke kediamannya. Evan ingin menunjukkan pada Elizabeth di mana tempat tinggalnya selama dia berada di Berlin bersama Exel. "Ayo Sayang, kita sudah sampai," ujar Evan mengangkat tubuh kecil Pauline dan dia turunkan dari dalam mobil. "Wahhh ... rumah Papa bagus!" seru anak itu mendongak menatap ke atas sana. Elizabeth pun juga menatap pemandangan taman sekitar rumah itu yang dipenuhi dengan tanaman hias. "Ma, Pauline mau tinggal di sini sama Papa dan Kakak ya, Ma," ucap Paulin mencekal tangan sang Mama. Elizabeth hanya tersenyum dan ia tidak memberikan jawaban apapun pada Pauline. Sebelum akhirnya Exel memanggil sang adik dari arah teras. "Pauline, ayo ikut. Kakak kenalkan dengan Binggo, anjing kecil punya Kakak," ajak Exel menarik lengan Pauline."Iya, Pauline mau!" Pauline dengan semangat berlari ke arah Exel. Dua anak itu berlari m
Sementara Evan, malam ini ia tidur memeluk putri kecilnya yang sudah terlelap dengan lena, begitu juga dengannya yang ikut terhanyut dalam alam mimpi. Namun, tiba-tiba saja Pauline terbangun. Anak itu membuka kedua matanya dan langsung duduk menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti sedang kebingungan dengan keberadaannya saat ini. Dia tidak di kamar Mamanya seperti biasanya. "Mama..." Pauline mulai merengek mencari Elizabeth. Anak itu menoleh menatap wajah sang Papa, lantas Pauline langsung memeluk leher Evan. "Papa, Pauline mau minum susu," ujar Pauline merengek-rengek, sebelum anak itu duduk kembali. Evan pun terbangun seketika saat mendengar suara kecil putrinya. "Ada apa, Sayang?" Evan langsung duduk menatap putri kecilnya yang diam sudah siap menangis. "Pauline mau minum susu, buatin..." Anak itu mengulurkan kedua tangannya. Evan pun bergegas turun dari atas ranjang, dia mengangkat tubuh kecil Pauline dan mengambil botol susu milik anak itu di atas nakas. Mereka berdua berj
Elizabeth terkejut saat bangun tidur. Dia menggerutu ketika menatap jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Mungkin karena semalam dia tidak kunjung bisa tidur, hingga membuatnya sampai bangun melebihi jam biasanya. "Ya ampun, tidak biasanya aku bangun jam segini," gerutu Elizabeth menuruni ranjang. Wanita itu menyelimuti Pauline dan Exel yang masih tertidur di sampingnya. Bahkan Pauline yang biasanya bangun awal pun juga kini belum bangun. Elizabeth berjalan ke kamar mandi sebentar, wanita itu membersihkan tubuhnya dan merapikan rambutnya. Sebelum ia melangkah keluar dan menemui Evan. "Kalau Pauline sudah bangun nanti, aku harus bergegas pulang," gumam wanita itu sembari berjalan menuruni anak tangga menuju ke lantai dasar. Tetapi rumah itu sangat sepi, tidak ada siapapun. Elizabeth berjalan di beberapa ruangan yang berada di lantai satu. Dia tidak mendapati Evan di manapun. "Evan..." Elizabeth memanggil nama suaminya dengan wajah gelisah. "Di mana dia? Apa dia sudah ke
Butuh beberapa jam perjalanan dari Jerman ke Prancis. Sesampainya di negaranya, Evan pun tidak pulang ke rumahnya, dia langsung menuju ke rumah sakit di mana Mamanya dirawat. Kedatangan Evan di rumah sakit malam ini membuat Arshen merasa tenang. Dapat dia lihat wajah cemas Evan saat berjalan masuk ke dalam ruangan di mana Mamanya dirawat. "Pa, bagaimana keadaan Mama?" tanya Evan menatap sang Papa yang bangkit dari duduknya. "Mamamu pingsan pagi tadi, Van. Papa langsung membawanya ke rumah sakit, Mamamu beberapa hari ini susah dibujuk untuk makan, malam pun juga tidak kunjung tidur, dia hanya diam saja. Papa tidak tega meninggalkannya ke mana-mana," ujar Arshen menjelaskan pada Evan. Evan mendekati sang Mama yang terbaring di atas ranjang, wanita itu nampak tertidur pulas. "Ya ampun, Ma ... kenapa Mama sampai kurus seperti ini?" Evan mengusap wajah sang Mama dan mengecup kening wanita itu. Sedangkan Arshen, dia duduk memperhatikan Evan. Dan Arshen menoleh ke arah pintu saat James
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat
Pauline menuruti keinginan Alicia yang meminta jalan-jalan bersama Xander pagi ini. Meskipun situasi tampak canggung yang terjadi antara Xander dan Pauline saat ini, namun justru Pauline lah yang banyak diam, karena Xander sibuk berbincang dengan Alicia. "Papa, jadi lihat ikan lumba-lumba kan, Papa?" Anak perempuan kecil itu duduk di pangkuan sang Mama dan menoleh pada Xander yang tengah mengemudi. "Jadi dong, Sayang. Papa kan sudah janji dengan Alicia," jawab Xander terkekeh. "Asikk...! Nanti pulangnya kita beli es krim ya, Pa..." "Iya, Sayang." Xander tersenyum manis menatap wajah Alicia yang terlihat begitu berbinar berbunga-bunga. Anak perempuan itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mama. Pauline menoleh pada Xander yang kini tampak begitu bahagia. Ia tidak tahu banyak tentang laki-laki ini selama lima tahun terakhir. Hanya saja, setahu Pauline kalau Xander memang belum menikah atau memiliki pasangan. "Kau tidak sibuk kan, hari ini?" tanya Pauline memecah keheningan. "Sa
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Alicia tampak sudah bangun dan anak itu terlihat jauh sangat bersemangat. Pauline tidak tahu apa yang membuat anaknya begitu antusias, di sisi lain ia hanya pandai menebak kalau kemungkinan besar Xander lah yang membuat Alicia begitu senang."Mama ... ayo cepat, Alicia mau mandi!" pekik anak itu memanggil Pauline yang masih sibuk di dapur. "Mama...!" "Iya, Sayang sebentar!" Elizabeth terdengar menyahuti teriakan cucu kesayangannya. Sampai tak lama kemudian barulah Pauline muncul dan wanita muda itu naik ke lantai dua menemui si kecil yang langsung memasang wajah protes karena Mamanya terlalu lama. "Kenapa, Sayang? Tumben jam segini sudah bangun, hm?" Pauline langsung mengangkat tubuh Alicia dan mengecupi pipinya."Mama, Alicia mau mandi, terus ganti baju yang bagus warna merah muda!" serunya, antusias. "Alicia juga mau pakai sepatu yang merah muda, pakai jepit yang lucu, Mama..." Pauline terkekeh mendengarnya. "Memangnya Alicia mau ke mana, Saya
Sementara di dalam kamar, Pauline panik saat ia terbangun dari tidurnya, wanita muda itu tidak menemukan putrinya. Padahal sudah jelas-jelas tadi saat ia tertidur, Alicia ada di sampingnya. "Ya ampun, ke mana Alicia malam-malam begini!" pekik Pauline kebingungan. Wanita muda bertubuh langsing itu berjalan membuka pintu kamar mandi, dan anaknya tidak ada. Pauline menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Buru-buru Pauline keluar dan ia berjalan ke lantai satu. Di sana sepi, hanya ada suara beberapa orang di ruang tamu. Sampai Pauline berjalan ke depan dan kemunculannya disambut oleh Papa dan Kakaknya, juga rekan-rekannya. "Pa ... Papa melihat Alicia?" tanya Pauline panik.Evan menunjuk ke arah depan dengan dagunya. Laki-laki itu tampak tidak ragu dengan Xander, apalagi saat Evan tahu, selama Pauline pergi, Xander masih setia sendiri dan dia bilang kalau suatu saat dia kukuh ingin menemukan Pauline. Evan benar-benar melihat kesungguhan itu, hingga ia tidak membuat jarak antara
Hari sudah malam, Pauline tertidur nyenyak memeluk Alicia. Tetapi anak kecil itu belum juga terlelap. Alicia memeluk botol susunya dan diam menatap ke arah langit-langit kamarnya sambil mengoceh sendiri. "Mama capek, Alicia nakal terus, jadi Mama bobo cepat-cepat..." Anak itu mengerucutkan bibirnya. "Alicia mau punya Papa yang baik, biar seperti Kakak kembar. Emmm, Papanya Alicia pergi jauh dibawa Tuhan," ocehnya dengan mata lebarnya yang mengerjap. Anak bertubuh mungil dengan balutan piyama hangat berwarna ungu muda itupun perlahan-lahan merangkak turun dari atas ranjang. Alicia berjalan membawa botol susunya dan keluar dari dalam kamar, setelah ia tahu pintu kamar tidak ditutup rapat. Dengan langkah kecilnya, anak itu berjalan menuruni anak tangga. "Aduh ... aduh ... anak tangganya sangat banyak. Alicia harus hati-hati. Satu, dua, satu, dua!" seru anak itu dengan suara mungilnya. Tampak di ruang tamu, beberapa orang laki-laki yang tengah berada di sana, sibuk membahas pekerja
Napas Pauline tercekat saat ia melihat sosok Xander berdiri di depannya dengan ekspresi yang sama kagetnya dengan Pauline. Belum lagi Alicia yang kini memeluk kaku Xander dan anak itu berisik terus meminta gendong. "Om, itu Mamaku, ayo ... Alicia mau gendong. Katanya kalau bertemu Alicia mau digendong lagi! Ayoo, gendong!" pekik Alicia berjinjit-jinjit mengulurkan tangannya pada Xander.Lamunan Xander buyar karena anak itu, ia menunduk dan tersenyum pada Alicia. "Iya, Sayang..." Xander langsung menggendong Alicia dan mengangkat tubuh mungil itu dalam pelukannya sebelum ia berjalan mendekati Pauline yang masih diam membeku di tempatnya. Alicia tersenyum lebar memeluk leher Xander dan menyandarkan kepalanya di sana. "Om, Alicia kok tahu kalau Alicia di sini?" tanya anak itu. "Tentu saja Om tahu, Sayang," jawab Xander. Pauline mengerjapkan kedua matanya dan napasnya terengah tiba-tiba. Ia tercengang melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Sejak kapan Alicia dekat dengan Xand
Sepulang dari jalan-jalan bersama Exel beberapa menit yang lalu, tampak Alicia begitu gembira. Anak itu mengoceh ini dan itu sambil menunjukkan mainannya pada sang Mama. Ditemani Elizabeth dan juga Evan yang bersama mereka sekarang. "Wahh ... banyak sekali mainannya, Sayang?" tanya Elizabeth mengecupi pipi cucunya. "Papa Exel sama Mama Tante yang belikan buat Alicia, Oma. Terus ini boneka panda dari Kakak Vano," ujar anak itu menata semua bonekanya di atas sofa ruang keluarga. "Persis sekali dengan Pauline saat masih kecil," sahut Evan. Elizabeth menoleh. "Oh ya, Pa?" "Iya, Sayang." Pauline terkekeh geli, sampai akhirnya Alicia menarik lengan sang Mama. "Mama ayo tidur, Alicia mau tidur sama Mama," seru anak itu. "Ayo, Maa...!" Evan menatap putrinya. "Sudah, sudah, cepat anak Alicia tidur, Nak," ujarnya. "Iya, Pa." Pauline memasukkan semua boneka-boneka milik Pauline ke dalam paper bag ukuran besar dan membawanya naik ke lantai dua. Alicia tampak sangat ceria dan banyak be
Sore harinya, Exel tidak mengingkari janji untuk mengajak Alicia pergi jalan-jalan dengannya. Bahkan setelah siang tadi Alicia bertemu Exel dan menganggap kalau Exel sungguh-sungguh seorang Papanya, sejak saat itu juga Alicia tidak mau diturunkan dari gendongan Exel. Untung saja, Si kembar tidak banyak protes setelah mereka berdua paham kalau sebenarnya Alicia tidak memiliki Papa. "Dad, kita makan malam di sana yuk, Dad!" ajak Varo menunjuk sebuah rumah makan Jepang. "Iya, Sayang. Jangan lari, Vano!" pekik Exel saat kedua anaknya turun dari dalam mobil. Hauri menoleh pada Alicia yang kini berjinjit meminta gendong pada Exel. "Alicia, mau gendong Mama Hauri?" tawar wanita itu. "Tidak mau. Alicia mau gendong Papa saja, Mama Tante" jawab anak itu. Alicia tidak mau memanggil Mama secara langsung pada Hauri, hingga ia juga menyematkan nama Tante di belakangnya, sampai menjadi Mama Tante. Mereka semua berjalan masuk ke dalam rumah makan tersebut dan memilih tempat yang pas. "Papa,