Dua hari sudah Evan di Prancis, laki-laki itu memutuskan pagi ini untuk kembali pulang ke Berlin.Namun, Evan saat ini masih menyempatkan waktunya untuk menemani sang Mama. Ia menyuapi Mamanya dengan penuh kesabaran, dan Melody yang bertanya-tanya di mana Exel sejak tadi. "Di mana Exel? Kenapa Exel tidak terlihat sejak tadi? Kau ke manakan anakmu itu?" tanya Melody masih dengan tatapan kosongnya. "Exel di Berlin, Ma. Kalau Mama sudah sembuh nanti, Papa akan mengajak Mama ke Berlin," ujar Evan tersenyum mengusap lengan sang Mama. Melody hanya diam bersandar dan dia mengunyah makanannya dengan sangat pelan. Hati Evan merasa sangat sedih saat ia melihat kondisi Mamanya yang sekarang. Mamanya memang sudah tidak mengamuk-ngamuk lagi seperti dulu, namun dia masih banyak melamun dan kadang masih suka bertanya-tanya tentang Elizabeth. Apalagi tubuh Melody yang kini kurus membuat Evan tak sampai hati meninggalkan Mamanya. "Makan yang banyak ya, Ma ... biar Mama cepat sembuh," ujar Evan m
Sesampainya di rumah sakit, Evan pun langsung mendapatkan perawatan. Namun laki-laki itu masih belum juga sadar. Elizabeth menemaninya sejak tadi di dalam sebuah ruangan, dia terus menangis sembari menggenggam tangan Evan dan terus menerus berdoa. "Cepatlah bangun, Evan ... jangan membuat aku takut, kumohon segeralah bangun," ujar Elizabeth meletakkan keningnya di atas punggung tangan Evan yang dia genggam. Elizabeth tak bisa menghentikan tangisannya, wanita itu takut terjadi sesuatu hal buruk pada Evan, bayangan Elizabeth semisal Evan mengalami penyakit yang tidak-tidak membuatnya ketakutan. Bagi Elizabeth, cukup dia yang dulu sakit keras. Jangan siapapun lagi, termasuk Evan. Jangan sampai Papa dari anaknya ikut sakit seperti ini. "Kenapa pemeriksaannya lama sekali," ucap Elizabeth menoleh ke arah pintu kaca buram di belakangnya. Elizabeth kembali menatap Evan yang terbaring tak sadarkan diri. Elizabeth mengusap kening laki-laki itu. "Aku akan tetap di sini menunggumu sampai k
Setelah operasi selesai, Elizabeth pun diberitahu oleh dokter bila operasi yang Evan jalani berjalan dengan lancar. Dan kini Elizabeth duduk di luar sebuah ruangan, menunggu Evan untuk segera sadar sebelum dia dipindahkan di kamar rawat inapnya. Elizabeth berdiri di depan dinding kaca menatap ke dalam sana, merasa sedikit lega karena operasinya berjalan lancar.Saat Elizabeth melamun menatap Evan dari luar, tiba-tiba saja lamunan Elizabeth buyar saat dia mendengar suara Pauline dan Exel memanggilnya. "Mama…!" "Mamaku...!" Elizabeth menoleh cepat, dia melihat Pauline dan Exel berlari ke arahnya. Anak-anak itu langsung memeluknya dengan erat saat sudah bersama sang Mama. Termasuk Pauline yang sangat erat merengkuh leher Elizabeth. "Mama ke mana saja? Kenapa Mama tidak pulang?" tanya Pauline merengek dalam gendongan Elizabeth. "Mama kan harus menjaga Papa, Sayang. Papa sedang sakit, Nak," jawab Elizabeth mengajak kedua anaknya itu duduk di sebuah bangku panjang di depan sana. "P
Suhu udara yang hangat di dalam sebuah ruangan yang beraroma obat-obatan membuat Evan perlahan-lahan membuka kedua matanya yang terasa begitu berat. Pandangan laki-laki itu mengedar di dalam sebuah ruangan bernuansa serba putih bersih di mana ia berada saat ini. 'Aku masih di rumah sakit ... apa yang terjadi?' batin Evan, kepalanya masih terasa pening, juga perutnya terasa begitu kaku. Evan merasakan punggung tangan kanannya terasa berat. Saat ia menggerakkan lehernya untuk menoleh, laki-laki itu menemukan Elizabeth yang tertidur menggenggam tangannya dan meletakkan kepalanya di lengan Evan."Elizabeth," lirih Evan terkejut, tak percaya. “Kenapa dia tertidur di sini?” Seperti mimpi baginya melihat Elizabeth saat ia bangun dari tidurnya. Evan pun menyentuh pucuk kepala wanita itu dengan sangat pelan dan lembut. ‘Dengan posisi duduk dan tertidur seperti ini, pasti punggungnya terasa sakit dan pegal,’ batin Evan, namun dia juga tidak tega membangunkannya. Sentuhan lembut ujung jar
Keesokan harinya, Elizabeth masih setia menemani Evan di rumah sakit dan merawatnya dengan sepenuh hatinya. Melakukan apapun yang Evan butuhkan dan memastikannya bisa istirahat dengan baik. Bahkan saat ini pun, Elizabeth hendak menyuapinya. Meskipun sedikit malu dan ragu, namun tidak ada siapapun di sana yang bisa merawat Evan kecuali Elizabeth sendiri. "Evan, sarapanmu sudah diantar. Aku suapi ya, setelah ini ada beberapa obat yang harus kau minum," ujar Elizabeth berjalan ke arahnya membawa sebuah piring. "Mana," ujar Evan mengulurkan tangannya. Alih-alih memberikan piring di tangannya, Elizabeth malah menarik tangannya dan menatap Evan dengan kedua alis berkerut. "Kau mau apa? Kau itu sakit, jadi biar aku yang menyuapimu. Tidak usah makan sendiri ... nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan bekas jahitan di perutmu," seru Elizabeth, sembari membantu Evan untuk duduk. "Kau hanya perlu patuh saja denganku, aku yang akan merawatmu sampai dokter mengizinkanmu pulang." Evan te
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, hari ini barulah Evan sudah diperbolehkan pulang. Kedatangannya disambut dengan sangat antusias oleh Pauline dan Exel yang sudah berhari-hari tidak berkumpul dengannya. Kedua anaknya itu memeluknya dengan erat dan manja. "Papa, Pauline sama Kakak kangen tahu," ujar Pauline mencebikkan bibirnya. "Papa jangan sakit-sakit lagi, kita tidak suka. Tidak ada yang mengajak kita jalan-jalan..." "Iya. Papa tidak boleh sakit lagi pokoknya. Kasihan kita, kasihan Mama juga pasti capek," ujar Exel, anak laki-laki itu menarik lengan Elizabeth dan diminta untuk duduk bersamanya. Elizabeth mengusap pucuk kepala Pauline dan Exel, ia tersenyum hangat menyadari kerinduan anak-anaknya pada Evan yang sudah berhari-hari tak berkumpul bersama. "Kalau Papa sudah sembuh, kita jalan-jalan ya, Pa ... kita pergi ke game zone!" seru Pauline mendongak menatap Evan. "Tentu saja, Papa akan mengajak anak-anak Papa pergi jalan-jalan bersama," jawab Evan mengecup pipi
Hari demi hari telah berlalu, Evan masih dalam masa pemulihan yang ternyata membutuhkan cukup banyak waktu pasca operasi. Elizabeth masih membantunya melakukan hal-hal kecil sekalipun, meski sesungguhnya dia bisa sendiri. Namun, Evan tidak mau Elizabeth menjauh dari sisinya. Dan pagi ini, Evan tengah bersama dengan Jericho di dalam kamarnya. Evan duduk di atas ranjang membaca beberapa berkas yang Jericho tunjukkan padanya. "Ini berkas penting untuk pembahasan meeting minggu ini, Jer ... kau harus datang ke sana mewakiliku," ujar Evan pada Jericho. Ajudannya itu mengangguk. "Baik Tuan. Tapi ... kalau boleh saya tahu, apa Tuan masih sakit?" tanya Jericho. "Kau pikir aku pura-pura?! Jahitan lukaku belum kering betul, aku tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, kau tahu! Lakukan saja semua pekerjaanmu, nanti kalau aku sembuh aku akan membantumu," ujar Evan menyerahkan kembali berkas yang ia bawa pada ajudannya tersebut. Sepasang mata Jericho memicing curiga. Tapi ia pun mengangguk
Sudah satu minggu penuh, tak sehari pun Evan lalui tanpa Elizabeth di sampingnya, bahkan wanita itu selalu melakukan apapun yang Evan butuhkan, juga menemaninya siang dan malam. Hingga, Exel pun diam-diam sudah mulai iri dengan Papanya. Karena Mamanya selalu meluangkan waktunya untuk sang Papa, bukan untuknya dan adiknya. Sampai Exel merasa kesal pada Papanya. Bahkan saat ini, Exel cemberut saat dia melihat Evan tengah disuapi oleh Elizabeth dengan alasan kepalanya pusing tiba-tiba. "Mama kapan mau suapin Exel sama Adik? Kita berdua disuapi Bibi terus, giliran Papa saja disuapi sama Mama!" seru Exel menatap penuh permusuhan pada Evan. Elizabeth menoleh cepat begitu Exel berucap dengan wajah merajuk, di sampingnya ada Pauline yang asik makan sendiri. "Sayang—""Adik Pauline saja sampai makan sendiri. Kasihan tahu Adik Pauline, Mama..." Exel benar-benar kesal pada Papanya. Evan langsung terdiam dan menyudahi makannya saat itu juga. Elizabeth sendiri, dia langsung menatap lekat waj
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat
Pauline menuruti keinginan Alicia yang meminta jalan-jalan bersama Xander pagi ini. Meskipun situasi tampak canggung yang terjadi antara Xander dan Pauline saat ini, namun justru Pauline lah yang banyak diam, karena Xander sibuk berbincang dengan Alicia. "Papa, jadi lihat ikan lumba-lumba kan, Papa?" Anak perempuan kecil itu duduk di pangkuan sang Mama dan menoleh pada Xander yang tengah mengemudi. "Jadi dong, Sayang. Papa kan sudah janji dengan Alicia," jawab Xander terkekeh. "Asikk...! Nanti pulangnya kita beli es krim ya, Pa..." "Iya, Sayang." Xander tersenyum manis menatap wajah Alicia yang terlihat begitu berbinar berbunga-bunga. Anak perempuan itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mama. Pauline menoleh pada Xander yang kini tampak begitu bahagia. Ia tidak tahu banyak tentang laki-laki ini selama lima tahun terakhir. Hanya saja, setahu Pauline kalau Xander memang belum menikah atau memiliki pasangan. "Kau tidak sibuk kan, hari ini?" tanya Pauline memecah keheningan. "Sa
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Alicia tampak sudah bangun dan anak itu terlihat jauh sangat bersemangat. Pauline tidak tahu apa yang membuat anaknya begitu antusias, di sisi lain ia hanya pandai menebak kalau kemungkinan besar Xander lah yang membuat Alicia begitu senang."Mama ... ayo cepat, Alicia mau mandi!" pekik anak itu memanggil Pauline yang masih sibuk di dapur. "Mama...!" "Iya, Sayang sebentar!" Elizabeth terdengar menyahuti teriakan cucu kesayangannya. Sampai tak lama kemudian barulah Pauline muncul dan wanita muda itu naik ke lantai dua menemui si kecil yang langsung memasang wajah protes karena Mamanya terlalu lama. "Kenapa, Sayang? Tumben jam segini sudah bangun, hm?" Pauline langsung mengangkat tubuh Alicia dan mengecupi pipinya."Mama, Alicia mau mandi, terus ganti baju yang bagus warna merah muda!" serunya, antusias. "Alicia juga mau pakai sepatu yang merah muda, pakai jepit yang lucu, Mama..." Pauline terkekeh mendengarnya. "Memangnya Alicia mau ke mana, Saya
Sementara di dalam kamar, Pauline panik saat ia terbangun dari tidurnya, wanita muda itu tidak menemukan putrinya. Padahal sudah jelas-jelas tadi saat ia tertidur, Alicia ada di sampingnya. "Ya ampun, ke mana Alicia malam-malam begini!" pekik Pauline kebingungan. Wanita muda bertubuh langsing itu berjalan membuka pintu kamar mandi, dan anaknya tidak ada. Pauline menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Buru-buru Pauline keluar dan ia berjalan ke lantai satu. Di sana sepi, hanya ada suara beberapa orang di ruang tamu. Sampai Pauline berjalan ke depan dan kemunculannya disambut oleh Papa dan Kakaknya, juga rekan-rekannya. "Pa ... Papa melihat Alicia?" tanya Pauline panik.Evan menunjuk ke arah depan dengan dagunya. Laki-laki itu tampak tidak ragu dengan Xander, apalagi saat Evan tahu, selama Pauline pergi, Xander masih setia sendiri dan dia bilang kalau suatu saat dia kukuh ingin menemukan Pauline. Evan benar-benar melihat kesungguhan itu, hingga ia tidak membuat jarak antara
Hari sudah malam, Pauline tertidur nyenyak memeluk Alicia. Tetapi anak kecil itu belum juga terlelap. Alicia memeluk botol susunya dan diam menatap ke arah langit-langit kamarnya sambil mengoceh sendiri. "Mama capek, Alicia nakal terus, jadi Mama bobo cepat-cepat..." Anak itu mengerucutkan bibirnya. "Alicia mau punya Papa yang baik, biar seperti Kakak kembar. Emmm, Papanya Alicia pergi jauh dibawa Tuhan," ocehnya dengan mata lebarnya yang mengerjap. Anak bertubuh mungil dengan balutan piyama hangat berwarna ungu muda itupun perlahan-lahan merangkak turun dari atas ranjang. Alicia berjalan membawa botol susunya dan keluar dari dalam kamar, setelah ia tahu pintu kamar tidak ditutup rapat. Dengan langkah kecilnya, anak itu berjalan menuruni anak tangga. "Aduh ... aduh ... anak tangganya sangat banyak. Alicia harus hati-hati. Satu, dua, satu, dua!" seru anak itu dengan suara mungilnya. Tampak di ruang tamu, beberapa orang laki-laki yang tengah berada di sana, sibuk membahas pekerja
Napas Pauline tercekat saat ia melihat sosok Xander berdiri di depannya dengan ekspresi yang sama kagetnya dengan Pauline. Belum lagi Alicia yang kini memeluk kaku Xander dan anak itu berisik terus meminta gendong. "Om, itu Mamaku, ayo ... Alicia mau gendong. Katanya kalau bertemu Alicia mau digendong lagi! Ayoo, gendong!" pekik Alicia berjinjit-jinjit mengulurkan tangannya pada Xander.Lamunan Xander buyar karena anak itu, ia menunduk dan tersenyum pada Alicia. "Iya, Sayang..." Xander langsung menggendong Alicia dan mengangkat tubuh mungil itu dalam pelukannya sebelum ia berjalan mendekati Pauline yang masih diam membeku di tempatnya. Alicia tersenyum lebar memeluk leher Xander dan menyandarkan kepalanya di sana. "Om, Alicia kok tahu kalau Alicia di sini?" tanya anak itu. "Tentu saja Om tahu, Sayang," jawab Xander. Pauline mengerjapkan kedua matanya dan napasnya terengah tiba-tiba. Ia tercengang melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Sejak kapan Alicia dekat dengan Xand
Sepulang dari jalan-jalan bersama Exel beberapa menit yang lalu, tampak Alicia begitu gembira. Anak itu mengoceh ini dan itu sambil menunjukkan mainannya pada sang Mama. Ditemani Elizabeth dan juga Evan yang bersama mereka sekarang. "Wahh ... banyak sekali mainannya, Sayang?" tanya Elizabeth mengecupi pipi cucunya. "Papa Exel sama Mama Tante yang belikan buat Alicia, Oma. Terus ini boneka panda dari Kakak Vano," ujar anak itu menata semua bonekanya di atas sofa ruang keluarga. "Persis sekali dengan Pauline saat masih kecil," sahut Evan. Elizabeth menoleh. "Oh ya, Pa?" "Iya, Sayang." Pauline terkekeh geli, sampai akhirnya Alicia menarik lengan sang Mama. "Mama ayo tidur, Alicia mau tidur sama Mama," seru anak itu. "Ayo, Maa...!" Evan menatap putrinya. "Sudah, sudah, cepat anak Alicia tidur, Nak," ujarnya. "Iya, Pa." Pauline memasukkan semua boneka-boneka milik Pauline ke dalam paper bag ukuran besar dan membawanya naik ke lantai dua. Alicia tampak sangat ceria dan banyak be